Segala yang beraroma kemandegan, keajegan, dan kesempurnaan palsu harus disingkirkan jauh-jauh. Mari memperjuangkan gerakan hak-hak azasi manusia, kesetaraan hak kaum perempuan, pelestarian lingkungan hidup. Mari mengedepankan cinta-damai, keterbukaan serta toleransi.
Ajaran ‘timur’, buddhisme, vegetarian (menghindari makanan instan), mempraktekkan pengobatan alternatif, adalah hal baik yang bisa kita terima. Retornous a la nature, kembali kepada alam kata Jean-Jacques Rousseau (1712 - 1778) di Zaman Romantik harus didengungkan kembali.
Itu Bohemian.
Legenda orang-orang muda gelandangan di sudut-sudut malam kota besar barat, yang gemar bercommune dan mereka berbincang tentang seni avant-garde ataukah filsafat eksistensialisme.
Bohemian, seperti juga dari Nietzsche dalam Thus Spake Zaratuhstra :
“Hidup bebas masih terbuka bagi jiwa-jiwa yang besar. Sesungguhnya, dia yang menguasai sedikit adalah yang sedikit pula terkuasai: terberkatilah kemiskinan yang tidak berlebihan!”
* * *
Demikian halnya;
320 tahun sebelum Masehi.
Ada seseorang bernama Diogenes dari Sinope. Ia murid dari Antisthenes. Sementara Antisthenes adalah murid dari Socrates.
Melalui Socrates, Antisthenes mengembangkan filsafatnya di Atena dan diberi nama Gymnasium Kynosarges. Ajarannya yang utama, bahwa “Budi adalah satunya-satunya yang baik.” Di luar itu, tak ada lagi kesenangan hidup yang lain.
Itu diperoleh Antisthenes, tatkala ia mendengar Socrates berucap di depan sebuah kedai yang menjual bermacam-macam barang.
“Betapa banyak benda yang tak kuperlukan,” kata Socrates.
Antisthenes kemudian memahami, bahwa budi adalah kebahagiaan sejati. Dan itu tidak terletak pada kelebihan lahiriah, kemewahan materi, atau kekuasaan politik.