Mohon tunggu...
Eeduy Haw
Eeduy Haw Mohon Tunggu... -

seseorang yang tinggal di makassar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kehendak

28 Mei 2011   07:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:07 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bedanya, manusia ‘jenius’ kata Heidegger adalah Dasein, yakni ia yang terus-menerus hidup dengan mempertanyakan ‘Ada’-nya yang otentik. Sementara manusia ‘kebanyakan’ adalah das Man, ia yang memilih hidup tidak-otentik dengan membiarkan orang lain memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya.

Eksistensi das Man itu tidak ada (kosong). Sebab memutar roda hidupnya– cara berpakaian, cara bertutur, gaya hidup, berpikir, selera, sampai cara mengunyah sekalipun– dengan dituntun orang lain melalui norma atau konvensi sosial sesat.

‘Publik Figur’, iklan, mode, media massa, populerisme adalah ciri ‘manusia kebanyakan’ (das Man). Dia yang terinveksi ‘penyakit populer’ akan bertindak berdasarkan keinginan orang lain. Popularitas hanya akan memaksa orang untuk menipu diri sendiri. Senyum sana-senyum sini, meski hati sebenarnya sedang sedih.

Kemasyhuran dan popularitas adalah bodoh kata Schopenhauer. “Kepala-kepala orang lain merupakan tempat celaka untuk dijadikan rumah kebahagiaan sejati.” Kebahagian tidak datang dari orang lain. Itu justru tersimpan di dalam diri. Dan manusia ‘jenius’ (Dasein), setiap saat berusaha menggali di kedalaman nurani (moralitas).

Kehendak tentu saja adalah kehendak untuk hidup dan memaksimumkan kehidupan. Dan titik akhirnya, ia berpusat pada sistem reproduksi. Motif manusia melakukan hubungan seksual adalah strategi dari ‘kehendak’ demi memaksimumkan kehidupannya.
Benar kata Freud, bahwa “segala sesuatu didasarkan oleh libido”. Kehendak hidup (libido)-lah dasar dari setiap tindakan manusia.

Reproduksi alias melahirkan keturunan, semata-mata dorongan untuk menciptakan ‘reinkarnasi’ individual Sang Ayah dan/atau Sang Ibu. Di mata orang tua, anak adalah wujud diri yang baru. Orang tua sebenarnya memandang anak sebagai medium untuk menginjeksi dan mewariskan sifat-sifat (identitas) dirinya.

Perhatikan kecenderungan seorang Ayah, selalu menginginkan anak laki-laki. Perhatikan kecenderungan seorang Ibu, selalu mendambakan anak perempuan. Anak tak lebih dari strategi ‘kehendak’ lewat sistem reproduksi untuk mencoba membuat diri abadi.

Lagi kata Schopenhauer, menghancurkan hasrat bereporoduksi adalah kebajikan dan jalan untuk mengatasi kehendak. Orang-orang suci penganut tekun ajaran Budha (atau agama-agama ‘ortodoks’ lain), menolak untuk berhubungan dengan perempuan. Itu agar kemurniannya bisa terbebaskan dari nafsu kehendak. Bahkan di India, banyak yang menggembok alat kelamin demi menjaga hasrat seksualnya tidak bertingkah macam-macam.

Sifat yang dibenci kehendak adalah ‘kekalahan’. Bagi kehendak, kekalahan adalah representasi dari kematian. Sementara kematian musuh utama dari kehendak. Kehendak tidak menyukai kekalahan, sebab kekalahan sama saja menghambat pertumbuhan (pencapaian) kehendak. Kekalahan adalah negasi dari ‘kehendak untuk hidup’.

Seperti aturan dalam pertarungan ‘Gladiator’ (tawanan perang, politik, kriminal, budak-budak) di Colloseum Romawi. Kematian bagi ‘Sang Pecundang’, kehidupan bagi ‘Sang Pemenang’.

Bagi kehendak, hanya ada dua yang mungkin di dunia ini; Menang atau Kalah (Hidup atau Mati). Oposisi biner seperti ini adalah ‘metafisika semu’ yang diciptakan ‘kehendak’ guna mempertahankan eksistensinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun