Setelah runtuhnya otoritas gereja di Abad Pertengahan, hampir tanpa kecuali, semua pemikiran yang kemudian berkembang menempatkan nalar (rasio) sebagai hakikat jiwa. Satu yang paling terkenal adalah ungkapan Rene Descartes ‘cogito ergo sum’– eksistensi manusia adalah aku yang berpikir.
Akal, atau intelek, atau rasio, atau kesadaran, atau dan seterusnya, dianggap sebagai titik tolak dalam menjelaskan relitas. “Hanya kerja akal-lah yang paling bisa dipercaya,” katanya.
Arthur Schopenhauer (1788–1868) menepis semua anggapan itu. Menurutnya, hakikat jiwa manusia bukanlah rasio. Rasio hanya berada dipermukaannya saja. Dibawah rasio, sesungguhnya ada representasi dari kehendak (will). Dialah yang mengontrol kesadaran.
Kadang-kadang, rasio memang seolah mengendalikan kehendak. Tapi itu sifatnya hanya membantu keinginan ‘kehendak’ bisa tercapai. “Untuk sebuah benda yang tidak diinginkan, kita punya alasan rasional mengapa kita tidak menginginkan benda tersebut. Tetapi, kita bisa membuat dalih atau pembenaran yang seakan-akan rasional, demi sebuah benda yang sangat kita inginkan.”
Pendeknya, rasio adalah ‘alat’ bagi kehendak.
Tujuan serta sikap manusia pun bukan terletak di dalam rasio. Melainkan di dalam kehendak. Bahasa sehari-hari menunjukkan dengan tepat, bahwa watak manusia ada pada hati bukan pada kepala.
‘Hati yang baik’ lebih mendalam dan lebih bisa dipercaya ketimbang ‘pikiran yang jernih’. Agama menjanjikan pahala bagi kesucian hati (moralitas), tapi belum tentu untuk keunggulan kepala (rasio/intelek).
Manusia yang berebut makanan, hubungan seksual, atau tingkah laku anak-anak pada umumnya, bukan mengandalkan proses berfikir sebelumnya. Sumber perbuatan mereka adalah dorongan kehendak setengah sadar untuk hidup.
Manusia kelihatannya saja ditarik dari depan. Yang sebenarnya, mereka didorong dari belakang. Manusia mengira dibimbing oleh apa yang terlihat oleh indera (tahap awal kerja rasio). Kenyataannya mereka didorong oleh instink-instink alamiah (kehendak/hasrat) yang dirasakannya.
Kehendak bagi Schopenhauer adalah Id bagi Sigmund Freud (1856–1890).
Dikatakan, bahwa manusia memiliki tiga sub sistem yang berinteraksi dalam kepribadiannya. Id, Ego, dan Superego.
Id adalah bagian jiwa yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia. Id adalah pusat instink (hawa nafsu), yang oleh Freud dipisahkan menjadi dua macam. Yakni (1) Libido– instink reproduktif yang menjadi energi konstruktif dalam kelangsungan hidup manusia; (2) Thanatos– instink destruktif dan agresif.
Libido merupakan instink kehidupan, seperti yang terlihat pada manusia yang berebut makan, hubungan seksual, ataukah tingkah anak kecil. Thanatos merupakan instink kematian, seperti yang dilakukan Kurt Cobain (vokalis Nirvana) pada 8 April 1994, menembakkan sebutir peluru ke kepala sendiri.
Meski Id melahirkan kehendak, namun ia belum mampu untuk merealisasikan keinginannya secara mandiri. Untuk itu, Ego dibutuhkan agar proyek kehendak Id bisa terealisasi.