Pak Wijaya Kusuma, dosen di salah satu universitas di Kalimantan Barat, nyaris tewas dibunuh isterinya menggunakan pisau dapur. Â
Bermula ketika istri tercintanya minta penjelasan siapa perempuan yang baru datang ke kediamannya.
Dengan penuh keterbukaan Wijaya menjelaskan bahwa perempuan yang dimaksud istrinya itu adalah Sofiah, mahasiswanya yang tengah dibimbingnya dalam menyelesaikan skripsi.
Isteri Wijaya,  sebut saja Maimunah, tidak percaya bahwa Sofiah benar-benar mahasiswa meski ia sendiri mendengar isi pembicaraan antara Wijaya dan Sofiah  di ruang tamu. Semua membicarakan menyangkut materi bahan skripsi.
Seolah Wijaya dibuat stres lantaran penjelasannya tak kunjung dapat diterima. Ia tetap saja dituduh berbohong dan minta kepadanya untuk mengaku saja. Seusai ke dapur, Maimunah kembali minta penegasan Wijaya untuk mengakui telah berselingkuh.
Dengan menyebut beberapa kali atas nama Tuhan, penjelasan Wijaya tak dapat diterima. Malah isterinya mengajak berduwel sambil menghunuskan pisau dapur ke arahnya.
Dan, sontak, Pak Wijaya mundur. Lalu keluar rumah sambil minta tolong kepada para tetangga agar isterinya yang tengah kalap dapat diredakan.
Jauh sebelumnya, Pak Wijaya juga sering merasa heran ketika bersama isteri keluar ke mall atau ke kediaman anggota keluarga. Istrinya, yang duduk disamping ketika menyetir mobil sering memperhatikan gerakan dirinya.
Ketika keluar dari garasi, Â isterinya marah jika ia bertegur sapa dengan seseorang. Lebih marah lagi jika Wijaya menegur seorang wanita, apakah ia seorang nenek atau anak gadis. Pokoknya, marah tanpa alasan.
Awalnya, Wijaya menganggap sebagai sesuatu yang wajar. Maklum, Â wanita yang jadi istrinya itu tengah temperamental karena datang bulan. Atau, cemburu. Bisa saja ingin menunjukan dirinya sayang kepada dirinya.
Namun mengapa semua terjadi sekarang. Dulu, Maimunah tenang. Anteng dan pendiam, pikirnya.
**
Pak Joko nyaris mengalami kecelakaan ketika mengendari mobilnya. Pasalnya, sang istri, Siti, yang duduk di kursi depan mendampingi dirinya meminta dengan cara paksa agar mempercepat kecepatan mobil.
Siti dengan suara meninggi minta kepada sang suami untuk menekan pedal gas lebih tinggi. Alasannya, jangan sampai mobil di belakang dapat menyalip. Jangan sampai mobil berwarna putih mendekat. Apa lagi mendekat di belakang.
Malah Siti mendesak sang sopir, suaminya itu, dapat menyalip mobil-mobil yang ada di hadapannya.
Awalnya, permintaan itu dituruti. Namun beberapa saat kemudian istrinya menjadi histeris karena mobil tak mampu melejit ke depan. Pak Joko harus memperhitungkan mobil dari arah depan agar tak terjadi kecelakaan.
Namun Siti, sang isteri, makin marah permintaannya tak dituruti. Lalu, ia tiba-tiba jongkok. Duduk di depan jok dan meraba pedal gas sambil menekan.
Tentu saja Pak Joko jadi kalang kabun menyaksikan tingkah sang istri yang merasa aneh. Lalu, ia berbelok dan menepi untuk menenangkan tingkah laku sang istri yang terlihat aneh.
Apa yang terjadi. Di tepi jalan, pasangan suami isteri itu berkelahi. Siti tampil lebih agresif dan memukul sang suami hingga mulutnya mengeluarkan darah.
Warga sekitar berkerumun menyaksikan atraksi perkelahian suami dan isteri yang kemudian ditangani pihak berwajib. Beruntung pos polisi tidak terlalu jauh dari tempat kejadian.
**
Abang Manap bingung menghadapi adiknya, Mumun, sering marah-marah tanpa sebab.
Ketika istri Bang Manap - Â sebut saja Saodah - menggelar pengajian di rumah, Mumun marah karena jemaah membaca surat Yasin. Di hadapan orang banyak, Mumun minta kegiatan pengajian bubar.
Para ibu, emak-emak, yang rutin ikut pengajian terheran-heran. Mereka berkesimpulan Mumun tengah kesurupan. Setan yang ada di tubuhnya marah ketika jemaah membaca surat Yasin.
Maklum surat itu diyakini oleh para ibu-ibu pengajian sering dibaca kala orang tengah mengadapi sakratul maut. Atau dibacakan sebagai doa kala seseorang tengah sakit agar cepat sembuh.
Setelah kejadian itu, Bang Manap minta bantuan seorang ustaz. Kesimpulannya, Mumun diberi air doa agar pengaruh buruk yang ada di tubuhnya segera kabur. Enyah dan ia kembali sembuh seperti semula.
Untuk saat itu, Mumun kembali baik. Namun beberapa hari kemudian ia kumat. Penyakit anehnya datang.  Ia sering  berceloteh seorang diri di tepi jalan. Kesimpulan orang sekitar, Mumun gila.
Dan, sambil menahan rasa malu, Bang Manap pergi ke dokter. Mumun disertakan. Sayang, Bang Manap salah tempat. Ia mendatangi dokter umum. Disarankan agar Bang Manap membawa Mumun ke psikolog atau psikiater.
"Paling bagus, ya ke rumah sakit jiwa," pinta sang dokter muda itu.
**
Jangan dikira membawa orang sakit jiwa ke psikolog atau psikiater dapat dilakukan dengan mudah.
Namanya saja sakit jiwa. Bila kita mengetahui tanda-tanda sakit jiwa pada diri seseorang, mungkin orang banyak menyebutnya mudah dilakukan. Â Penulis sebut mungkin. Sebab, realitasnya sangat sukar lantaran orang yang bersangkutan sulit untuk diyakini bahwa dirinya punya kelainan pada jiwanya.
Semakin orang bersangkutan punya pendidikan tinggi, semakin sulit pula diyakini bahwa ia menderita sakit jiwa. Dirinya merasa lebih pandai daripada seorang profesor sekalipun.
Kesulitan bertambah berat lagi karena psikiater tak bisa dimintai bantuan untuk mengunjungi sang pasien.
Umumnya, psikiater minta agar anggota keluarga membawa pasien sakit jiwa ke ruang prakteknya.
Sekali lagi, ya namanya orang sakit jiwa, Â kala psikiater menjelaskan tentang penyakit, sang pasien tak bisa menerima. Nah, biasanya, seusai berobat, sang pasien mengamuk lantaran dirinya dianggap sebagai orang gila.
Keadaan tambah parah karena pasien tak mau meminum obat yang diberikan psikiater.
**
Beranjak dari kasus-kasus yang diungkap di atas, sudah semestinya psikiater dan psikolog didorong untuk turun ke lapangan. Melakukan tindakan jemput bola. Mengapa harus demikian? Ya, lantaran tak semua warga memahami gejala seseorang terkena penyakit jiwa.
Adanya orang gila berkeliaran di jalan-jalan adalah cerminan bahwa anggota keluarga tidak peduli. Bisa jadi disebabkan tekanan ekonomi, rasa malu dan ketidaktahuan cara menanganinya. Maka, jadilah orang penyakit jiwa compang-camping keluyuran di jalan. Bahkan ada di antaranya mengenakan pakaian tak senonoh.
Penjelasan atau sosialisasi mengenai gejala orang terkena penyakit jiwa kepada publik masih tergolong minim. Kalau ada anggota keluarga terserang penyakit jiwa, anggota keluarga cenderung membawanya ke dukun. Sebab, si penderita dikesankan terkena 'guna-guna'.
Penanganan orang sakit jiwa tak bisa sendiri. Dilepaskan tanggung jawabnya kepada anggota keluarga. Sekali lagi, namanya sakit jiwa, sang pasien tak paham obat apa yang harus dikonsumsi setiap hari.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada beberapa obat yang harus dikonsumsi secara sembunyi pasien penyakit jiwa.
Seluruh anggota keluarga perlu memahami prihal ini. Ingat, orang punya sakit korengan bisa dilihat seberapa besar tingkat kesembuhannya. Namun tidak demikian dengan penyakit jiwa, sulit ditebak. Suatu saat, pada momentum tak menyenangkan, kumatnya meledak.
Penulis punya pengalaman mengunjungi pondok rehabilitasi mental An-Nur di Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga, Jawa Tengah. Pondok itu diasuh oleh KH Supono Mustajab yang sekaligus membimbing Sumanto, pemakan mayat manusia.
Penulis dapati Sumanto tak kunjung dijemput anggota keluarganya meski sudah mengalami perbaikan pada penyakitnya. Sumanto sudah bisa baca Surat Yasin. Hebat.
KH Mustajab dengan kerelaannya mau juga merawat orang sakit jiwa lantaran tidak terpilih sebagai anggota legislatif. Anggota keluarga mengirim ke situ, tapi beberapa bulan berikutnya tak mau mengongkosi untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari.
Maka jadilah sang kiai merogoh kantong sendiri lebih dalam untuk menghidupi para orang tak waras itu.
Salam berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H