Kesulitan bertambah berat lagi karena psikiater tak bisa dimintai bantuan untuk mengunjungi sang pasien.
Umumnya, psikiater minta agar anggota keluarga membawa pasien sakit jiwa ke ruang prakteknya.
Sekali lagi, ya namanya orang sakit jiwa, Â kala psikiater menjelaskan tentang penyakit, sang pasien tak bisa menerima. Nah, biasanya, seusai berobat, sang pasien mengamuk lantaran dirinya dianggap sebagai orang gila.
Keadaan tambah parah karena pasien tak mau meminum obat yang diberikan psikiater.
**
Beranjak dari kasus-kasus yang diungkap di atas, sudah semestinya psikiater dan psikolog didorong untuk turun ke lapangan. Melakukan tindakan jemput bola. Mengapa harus demikian? Ya, lantaran tak semua warga memahami gejala seseorang terkena penyakit jiwa.
Adanya orang gila berkeliaran di jalan-jalan adalah cerminan bahwa anggota keluarga tidak peduli. Bisa jadi disebabkan tekanan ekonomi, rasa malu dan ketidaktahuan cara menanganinya. Maka, jadilah orang penyakit jiwa compang-camping keluyuran di jalan. Bahkan ada di antaranya mengenakan pakaian tak senonoh.
Penjelasan atau sosialisasi mengenai gejala orang terkena penyakit jiwa kepada publik masih tergolong minim. Kalau ada anggota keluarga terserang penyakit jiwa, anggota keluarga cenderung membawanya ke dukun. Sebab, si penderita dikesankan terkena 'guna-guna'.
Penanganan orang sakit jiwa tak bisa sendiri. Dilepaskan tanggung jawabnya kepada anggota keluarga. Sekali lagi, namanya sakit jiwa, sang pasien tak paham obat apa yang harus dikonsumsi setiap hari.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada beberapa obat yang harus dikonsumsi secara sembunyi pasien penyakit jiwa.
Seluruh anggota keluarga perlu memahami prihal ini. Ingat, orang punya sakit korengan bisa dilihat seberapa besar tingkat kesembuhannya. Namun tidak demikian dengan penyakit jiwa, sulit ditebak. Suatu saat, pada momentum tak menyenangkan, kumatnya meledak.