Seorang warga, mengeluh kepada para pengurus RT mengenai kesulitan yang dihadapi dalam hal mengurus kelengkapan surat yang berkaitan dengan kematian orangtuanya.
Warga paruh baya ini mengungkapkan rasa jengkelnya lantaran dari pihak Puskesmas tak mengeluarkan surat kematian. Sementara jenazah sudah disholatkan dan segera diberangkan ke pemakaman.
"Perlu apa lagi, bukankah dokter sudah mendatangi kediamannya memeriksa jenazahnya?" ia melontarkan keluhannya di hadapan orang yang tengah takziyah.
Usut punya usut, ternyata orangtua anak muda itu wafatnya di kediaman isteri muda. Lalu, jenazahnya dibawa ke kediaman isteri pertama.
Dikabarkan, pihak Puskesmas minta data kependudukan almarhum, seperti foto copy kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK) dan akte kelahiran. Sayang, data sebagaimana disebut itu tak dapat dipenuhi semua. Terutama akte kelahiran.
Apa pasalnya?
Pihak Puskesmas tak berani dengan cepat mengeluarkan surat kematian lantaran yang bersangkutan wafat di daerah lain. Meski itu terjadi masih di satu provinsi (Jakarta), Â pihak kelurahan perlu koordinasi dan mencari tahu prihal kematiannya.
Patutnya, surat kematian yang dimintakan si pemuda tadi diarahkan pada Puskesmas terdekat. Tepatnya, di Puskesmas yang berada satu wilayah dengan orangtua yang wafat. Jadi, sungguh tidak tepat, wafatnya di wilayah isteri muda tetapi minta keterangannya di Puskesmas wilayah isteri pertama.
Hal lain, yang jadi hambatan, yang bersangkutan tak memiliki akte kelahiran. Kita tahu, orang tua (dulu) yang lahir di bawah tahun 1960-an, kebanyakan tak memiliki akte kelahiran. Apa lagi ketika itu sistem data pengadministrasian penduduk belum serapi seperti sekarang. Kalaupun ada yang memiliki, ya kebanyakan dalam bentuk surat kenal lahir.
**
Sudah sepekan ini penulis mondar-mandir ke kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Timur. Apa pasal, ya tentu tak jauh-jauh ikut membantu isteri mengurus data kependudukan.
Hal ini berawal dari temuan pihak imigrasi. Dijumpai nama Sulistyowati pada paspor yang rusak akibat kena banjir tertulis Sulistyowati tetapi pada KTP, KK dan akte kelahiran tertulis Sulistyowaty. Pihak imigrasi minta agar nama yang tertera pada KTP, KK dan akte kelahiran disamakan, ekornya menggunakan huruf "i". Bukan "y".
"Mudah kok ngurusnya, bu?" pesan petugas imigrasi.
Realitasnya, tak semudah membalikan sebelah telapak tangan. Butuh waktu. Sebab, akte kelahiran yang baru dibuat baru saja dikeluarkan Dukcapil Jakarta Timur melalui kelurahan domisili penulis.
Nah, untuk mengubah huruf "y" menjadi "i" perlu dukungan data lain, seperti ijazah dari SD,SMP, SMA hingga strata dua. Pada lembar ijazah tertulis dengan huruf akhir "i". Â Nah, dari sinilah pihak Dukcapil menyandarkan data pendukungnya.
Untuk mengurus perubahan nama, butuh waktu 10 hari. Sebetulnya, bisa singkat waktunya. Tapi lantaran kesalahan berawal dari penulisan di akte kelahiran itu lalu merembet ke perubahan nama di KTP dan KK.
Untuk urusan ini, pihak Dukcapil minta surat pernyataan dari yang bersangkutan, ditandatangi di atas materai Rp6000 dan data pendukung lainnya. Akte kelahiran yang baru diterbitkan pihak Dukcapil dilampirkan.
Tak ada pilihan lain dan tak mungkin melakukan unjuk rasa seorang diri untuk memprotes pelayanan di Dukcapil Jakarta Timur. Kesalahan sudah datang dari sononya. Mengapa disebut kesalahan dari sononya, karena para orang tua "jadul" dulu belum memiliki kesadaran menulis ejaan nama anaknya dengan benar.
Di Jakarta saja, ketika penulis ikut antre membayar iuran listrik, terdengar nama aneh seperti Pak Tanggal, lalu oleh petugas PLN diplesetkan jadi Pak Janggal. Pak Ribut dipanggil Berisik. Ada orang dipanggil Pak Allah, lantas disusul kelimat berikutnya dengan ucapan yang memanggilnya Astagfirullah.
Itu terjadi karena pemberian nama kepada anak tak disertai kesadaran bahwa nama mengandung doa dan membawa konsekuensi pada data kependudukan bagi anak di masa datang.
**
Dari berbagai kasus data kependudukan yang penulis jumpai di kantor Dukcapil Jakarta Timur, baru-baru ini, umumnya warga mengurus perubahan nama, salah penulisan sejak awal, penyesuaian nama yang tertulis di ijazah dengan KK dan KTP.
Kita pun jadi prihatin. Kalangan pendidik masih banyak yang salah menulis nama murid pada ijazah dan rapot. Pokoknya, asal terdengar sama. Misalnya, untuk nama Edy seperti penulis ini, banyak yang ditulis Edi, Edhy, Eddie.Â
Wah, pokoknya tak standar untuk nama yang satu ini. Karena itu, jika seorang anak dipanggil dengan nama itu, dari jauh suaranya terdengar sama tetapi yang dimaksud orangnya tentu lain.
Ini tentu harus menjadi perhatian bersama.
Nah, sekarang ini di berbagai kelurahan di Jakarta tengah digencarkan pendataan penduduk bagi warganya. Terutama perubahan pembuatan KK dan akte kelahiran. Tidak dipungut bayaran. Bahasa kerennya, gratis.
Sayang, sosialisasinya minim. Namun penulis beruntung, melalui WA grup RT, didapati informasi pelayanan (jemput bola) pengurusan KK dan akte kelahiran. Karena itu, penulis anjurkan, luangkan waktu untuk mendatangi dan mengurusnya di kantor kelurahan.Â
KK yang lama perlu diganti dengan KK yang baru. Ciri khas KK yang baru di DKI Jakata adalah tidak lagi ditandatangani bapak atau ibu lurah, tetapi berupa barcode. Yang menandatangi KK adalah Ketua RT dan kepala keluarga. Keren, kan?
Demikian pula untuk akte kelahiran. Bisa diurus secepatnya.
Sementara bagi warga yang memiliki perbedaan nama antara yang tertulis dengan KTP dan Ijazah, bisa diselesaikan di Dukcapil. Di sini bukan mengubah nama pada ijazah, tetapi menyesuaikan nama yang tertera pada KK dan akte kelahiran.
Lalu, apa pentingnya dengan surat kematian bagi anggota keluarga?
Hindari cara fikir bahwa setelah kematian dan jenazah sudah dimakamkan, maka urusan selesai. Tidak demikian.
Surat kematian banyak manfaat dan keperluannya dikemudian hari. Antara lain mencegah data almarhum disalahgunakan. Hal lain, untuk kepentingan data kependudukan, mengurus Ahli Waris, mengurus Pensiunan (bagi pensiunan), mengurus klaim Asuransi.
Bagi duda/janda, ya untuk melaksanakan perkawinan kembali. Hehehe, banyak, kan?
**
Kompas.com mewartakan, sebanyak 40 persen  anak Indonesia telah memiliki akta kelahiran. Itu artinya masih banyak anak di Tanah Air belum tercatat identitas dirinya, tak memiliki status kewarganegaraan.
Tentu saja seorang bocah yang tidak memiliki akta kelahiran sangat berpotensi  identitasnya untuk dipalsukan guna berbagai kepentingan. Risiko lainnya,  anak memiliki akta kelahiran menjadi sasaran empuk perdagangan anak.
Untuk itulah pembuatan akta kelahiran dimaksudkan melindungi anak, menghargai dan mengakui status anak, penting dilakukan orangtua. Inilah hak anak yang harus dipenuhi mengingat lagi anak yang tidak memiliki akte kelahiran tidak tercatat dalam kependudukan, ia tidak punya posisi hukum.
Orangtua pun berkewajiban untuk mengingatkan anaknya agar menulis namanya sendiri sesuai dengan akte kelahiran. Dari penulisan nama yang tepat, sesuai dengan ejaan huruf dan katanya, akan memudahkan bagi si anak dalam pengurusan dokumen di kemudian hari, seperti KTP, Paspor, dan dokumen lainnya sesuai nomor induk kependudukan.
Salam berbagi.Â
Sumber bacaan satu dan dua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H