Mengenai hal ini penulis pernah berdiskusi dengan Staf Ahli Menteri Agama Bidang Kerukunan Antarumat Beragama, H. Abdul Fatah.
Ada beberapa poin yang perlu diseriusi oleh anggota dewan (yang baru) dengan harapan ke depan produk undang-undang yang dihasilkan tepat mengenai sasaran.
Ada beberapa faktor yang bisa menjadi potensi konflik antarumat pemeluk agama.
Yaitu (1) ketiadaan turunan dari peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur pelayanan hak-hak konstitusional umat beragama di luar agama yang enam. Maka, tak heran ada umat yang belum terlayani dengan baik.
Hal ini juga tak lepas dari adanya terhadap penafsiran terhadap isi UU PNPS No.1/1965 terkait pelayanan umat dari agama-agama di luar lima agama yang menyatakan "Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 mereka dibiarkan apa adanya.
Kalimat dibiarkan adanya itu pada masa Orde Baru ditafsirkan bahwa agama-agama di luar agama yang lima dibolehkan hidup berkembang, namun tidak harus diberi bantuan atau dilayani. Ini memberi kesan kebijakan yang ambigu atas pelayanan hak-hak sipil umat beragama.
Kemudian (2) sikap keberangaman yang eksklufif, tidak toleran, dan diiringi dengan kekerasan terhadap keberadaan pemeluk agama lain. Kita paham bahwa setiap agama mengandung ajaran yang mengklaim hanya ajaran agamanya sajalah yang benar (truth claim).
Ditambah lagi setiap agama merasa berkewajiban menyebarkan kebenaran yang diyakini. Jika berhasil, pahala ganjarannya.
Penyebaran ini menjadi krusial jika sekelompok penganut agama melakukannya secara tidak etis, misalnya menyebarkan agama kepada pemeluk agama lain. Dari sinilah timbul ketegangan dan berpotensi menjadi konflik sosial.
Hal lain yang ikut mewarnai adalah (3) berkembangnya paham dan gerakan keagamaan radikal. Kebebasan beragama memang dijamin dalam konstitusi sejauh tidak merugikan pihak lain. Namun jika paham tersebut menjadi sebuah gerakan yang mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, maka sesuai UU, negara wajib mencegahnya.