Terlebih dewasa ini, tuntutan hak-hak warga negara atas pelayanan keagamaan yang adil oleh negara semakin meningkat. Dulu, pelayanan keagamaan hanya terbatas pada agama: Islam, Katolik, Kristen, Buddha dan Hindu. Setelah era Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pelayanan umat ditambah dengan Khonghucu.
Patut disyukuri bahwa ideologi bangsa, Pancasila, melalui "Ketuhanan Yang Maha Esa" memberi ketegasan bahwa negara tidak boleh membatasi  pelayanan umat beragama.
Apa lagi konstitusi kita menegaskan adanya hak kebebasan beragama dan beribadat setiap warga negara.
Lebih menarik lagi kebebasan beragama juga diatur dalam Pasal 22 UU No.39/1999 tentang HAM yang menegaskan bahwa negara wajib menjamin kebebasan beragama dan beribadat setiap warga negara.
Lebih tegasnya, setiap umat beragama yang ada di Indonesia (tidak hanya enam agama) berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan yang sama dari negara.
Hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, mencatat 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam. Â Disusul sebanyak 6,96% Kristen, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.
Namun jika kita lihat Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Jelas saja hal ini bertentangan dengan HAM.
Beranjak dari hal itu, kini aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui pula sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017.
Sayangnya, banyaknya agama maupun aliran kepercayaan tersebut realitasnya memiliki potensi konflik antarumat pemeluk agama-agama. Mengapa?
**