Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan Pontianak Ngidam Kereta Api Hitam

1 Oktober 2018   19:55 Diperbarui: 1 Oktober 2018   20:15 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa artinya kereta api hitam, kata Al Somad, suatu saat pada kesempatan lain.  Al Somad pun menduga-duga yang bukan-bukan. Mungkinkah yang dimaksud kereta api hitam adalah rangkaian orang berpakaian hitam, barisan hantu yang ada di kota ini. Maklum, Pontianak adalah kota yang lahir diawali dengan cara pengusiran para hantu kuntilanak oleh pasukan Al Qadri kala hendak membangun keraton di Batu Layang.

"Ah, tidak. Bukan itu. Pikir saja yang positif," Al Somad mencoba meluruskan pikirannya yang ngelantur.

**

Al Somad sudah membulatkan tekad. Ia akan mengajak istrinya ke Jakarta untuk melihat kereta api. Izin kerja selama sepekan sudah disampaikan ke pimpinan di kantornya. Jawaban yang diberikan berbunyi setuju, mengingat lagi saat itu musim perkawinan di wilayah kerjanya berkurang. Jadi, bisa ditangani rekan kerjanya yang lain.

"Alhamdulillah. Abi sudah diizinkan selama sepekan tak kerja. Jadi, waktunya bisa dimanfaatkan ke Jakarta. Untuk memenuhi permintan Umi, lihat kerta api," mendengar keterangan sang suami tercinta seperti itu, Salmah nampak gembira. Ia melempar senyum yang beberapa bulan ini tak nampak di wajahnya.

Sudah tentu tujuan utama adalah ke Jakarta, ke stasion Gambir. Setelah melihat kereta api, istrinya bisa melihat Monumen Nasional alias Monas dengan tugu menjulang di atasnya berupa emas.

"Ah, betapa senangnya nanti Salmah," Al Somad berkata dalam hati seusai membeli tiket pesawat untuk ke Jakarta.

Dengan perlengkapan pakaian secukupnya untuk bermalam di Jakarta di kediaman familinya di kawasan Cikini, Al Somad bersama istrinya, Salmah menaiki pesawat dengan harga tiket promo. Murah tapi tidak menyusahkan ketimbang naik kapal laut yang membuat istri mabuk selama di perjalanan laut.

"Begini repotnya kalau pemerintah tidak memperhatikan kota kita," Salmah membuka pembicaraan di dalam pesawat.

"Kok, bisa begitu?" Al Somad balik tanya.

Lantas, Salmah berceloteh. Sudah tujuh puluhan tahun lebih negeri ini merdeka. Jalan raya di Pulau Jawa lebar dan panjang. Di sana, banyak jembatan dan mobil di atasnya. Di sini, di kota kita, jembatan yang lebar dan panjang bisa dihitung dengan jari. Di sana, jalan kereta api panjangnya dari ujung ke ujung sudah digunakan dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun