Sudah dua hari Salmah uring-uringan. Tidur salah, tidak tidur badan terasa lelah. Jika dipaksakan tidur, mata tak juga pejam. Keadaan makin tidak enak, duduk berdiam diri juga terasa pegal di pinggang. Berdiri dan berjalan keliling halaman rumah tak mungkin, bakal menambah beban. Lelah bertambah.
Sementara perut terus buncit. Terasa berat sih tidak. Cuma saja pergerakan kaki tidak terasa ringan lagi. Ketika hendak melangkah, badan terasa gontai. Mau minta tolong suami, yang muncul perasaan ingin memarahi. Soalnya, sudah dua bulan keingingannya tidak dipenuhi suami tercinta. Yaitu, permintaan melihat kereta api hitam.
Al Somad, sang suami meyakini Salmah tengah ngidam. Kata dokter, usia kandungannya sekitar dua bulan setengah. Al Somad merasakan keanehan pada istrinya, ketika usia kandungannya satu bulan, Salmah sering meminta dibelikan lontong. Lontong saja, seperti yang banyak dijual pedagang sate.
Awalnya, permintaan itu dituruti. Itu pun diupayakan dengan kerja keras luar biasa. Maklum pedagang yang menjual lontong tergolong langka. Kalau ada tukang sate, untuk membeli lontongnya saja tidak diperbolehkan. Karenanya, Al Somad harus membeli sate dan lontong secara terpisah. Lontong tidak boleh dipotong-potong. Diberikan ke istrinya, Salmah dalam keadaan utuh terbungkus daun pisang.
Pernah Al Somad membeli lontong yang dimasak menggunakan bahan pengganti daun pisang dengan pelastik. Ketika diberikan ke istrinya, dalam hitungan detik, lontong berhemburan dilempar istrinya. Salmah hanya minta lontong yang dibungkus mengenakan daun pisang.
"Kalau dibungkus dan dimasak menggunakan pelastik, ya bahaya," kata Salmah dengan suara tinggi.
"Abang tidak mengerti, ya? Â Memasak makanan dengan dibungkus pelastik seperti ini bisa menimbulkan penyakit kangker?" Salmah mengoceh sambil memegang perutnya.
Kalau istrinya tengah marah, Al Somad yang sehari-hari bekerja di Kantor Urusan Agama (KUA) itu tak bisa memberi perlawanan. Ia sadar betul, perempuan itu harus dimengerti. Bukan ditimpali ketika marah. Apa lagi ketika tengah hamil.
Tapi, ketika ia menyampaikan permintaan ingin melihat kereta api hitam, Al Somad bertambah bingung. Mana ada kereta api hitam di Pontianak. Untuk rel kereta apinya saja tidak ada. Apa lagi kereta api di sini dengan suara jas jus jus.
"Ah, istri tambah aneh!"
Al Somad, yang di kantornya sering memberi nasihat kepada para calon pengantin, sekarang ini tak bisa berbuat banyak. Dalam hati ia berucap, menasihati orang memang mudah. Tapi, ketika menghadapi kasus dirinya sendiri tak bisa berbuat banyak. Untuk menjawab pertanyaan istrinya saja tidak mampu.
"Abang mampu nggak, ajak umi melihat kereta api hitam?"
Kalau istrinya sudah bertanya seperti itu, Al Somad tak bisa menjawab iya atau tidak. Dan, karena tidak memperoleh jawaban, Salmah hanya bisa menangis di dalam kamar. Sementara Al Somad tidak berani mendekat. Nyalinya kecil. Seperti ayam jago keok menghadapi puluhan ayam betina yang mengelilingi. Diam seribu bahasa.
**
Jumat pagi setiba di kantor, Al Somad melamun di ruang kerjanya. Ia uring-uringan. Serba salah, apa yang hendak dikerjakan. Memindahkan map berisi berkas saja salah tempat.
Akhirnya ia berdiam diri. Duduk di atas kursi kerja bagai patung tengah menanti uang saweran. Rekan-rekan kerjanya yang melintas pun tak ditegur. Bahkan, ketika tutup gelas jatuh ke lantai Al Somad tak bereaksi. Ketika rekan-rekannya bicara, ia tak ambil bagian dalam obrolan itu.
"Pak, kok diam bagai patung," kata rekannya yang duduk di sebelah.
Al Somad hanya menoleh. Melempar senyum. Ia baru sadar, ini di kantor. Tempat kerja. Bukan untuk bermuram durja. Lantas, dengan kesadaran penuh, ia berdiri menuju kamar kecil.
Setelah balik ke tempat duduknya, ia menoleh ke arah rekannya sambil berucap. Katanya: "Aku binging nih, istriku lagi ngidam."
"Alhamdulillah. Istri ngidam harusnya disambut gembira. Bukan bermurah durja seperti tadi itu. Gembiralah bang. Kerja keras seperti biasa. Semua itu kan untuk didedikasikan untuk si cabang bayi," kata Mahmud seperti Pak Ngah, tetangganya ketika memberi nasihat.
"Iya, ngidam. Ngidam pingin lihat kereta api hitam. Itu aja sih," Mahmud bengong mendengar penjelasan lanjutan Al Somad.
"Aneh, ya!" hanya itu kata yang keluar dari mulut Mahmud, rekan kerjanya yang setia menemani baik kala Al Somad merasa senang dan susah. Sekarang Al Somad merasa kesulitan, istrinya ngidam ingin lihat kereta api hitam.
Apa artinya kereta api hitam, kata Al Somad, suatu saat pada kesempatan lain. Â Al Somad pun menduga-duga yang bukan-bukan. Mungkinkah yang dimaksud kereta api hitam adalah rangkaian orang berpakaian hitam, barisan hantu yang ada di kota ini. Maklum, Pontianak adalah kota yang lahir diawali dengan cara pengusiran para hantu kuntilanak oleh pasukan Al Qadri kala hendak membangun keraton di Batu Layang.
"Ah, tidak. Bukan itu. Pikir saja yang positif," Al Somad mencoba meluruskan pikirannya yang ngelantur.
**
Al Somad sudah membulatkan tekad. Ia akan mengajak istrinya ke Jakarta untuk melihat kereta api. Izin kerja selama sepekan sudah disampaikan ke pimpinan di kantornya. Jawaban yang diberikan berbunyi setuju, mengingat lagi saat itu musim perkawinan di wilayah kerjanya berkurang. Jadi, bisa ditangani rekan kerjanya yang lain.
"Alhamdulillah. Abi sudah diizinkan selama sepekan tak kerja. Jadi, waktunya bisa dimanfaatkan ke Jakarta. Untuk memenuhi permintan Umi, lihat kerta api," mendengar keterangan sang suami tercinta seperti itu, Salmah nampak gembira. Ia melempar senyum yang beberapa bulan ini tak nampak di wajahnya.
Sudah tentu tujuan utama adalah ke Jakarta, ke stasion Gambir. Setelah melihat kereta api, istrinya bisa melihat Monumen Nasional alias Monas dengan tugu menjulang di atasnya berupa emas.
"Ah, betapa senangnya nanti Salmah," Al Somad berkata dalam hati seusai membeli tiket pesawat untuk ke Jakarta.
Dengan perlengkapan pakaian secukupnya untuk bermalam di Jakarta di kediaman familinya di kawasan Cikini, Al Somad bersama istrinya, Salmah menaiki pesawat dengan harga tiket promo. Murah tapi tidak menyusahkan ketimbang naik kapal laut yang membuat istri mabuk selama di perjalanan laut.
"Begini repotnya kalau pemerintah tidak memperhatikan kota kita," Salmah membuka pembicaraan di dalam pesawat.
"Kok, bisa begitu?" Al Somad balik tanya.
Lantas, Salmah berceloteh. Sudah tujuh puluhan tahun lebih negeri ini merdeka. Jalan raya di Pulau Jawa lebar dan panjang. Di sana, banyak jembatan dan mobil di atasnya. Di sini, di kota kita, jembatan yang lebar dan panjang bisa dihitung dengan jari. Di sana, jalan kereta api panjangnya dari ujung ke ujung sudah digunakan dengan baik.
Malahan, katanya, di Jawa akan dibangun kereta api cepat. Nah, di Pontianak, jangankan lihat kereta apinya. Untuk melihat relnya saja tidak ada. Sungguh, ini pembangunan yang amat berat sebelah. Bisa jadi pemerintah berfikir negeri ini hanya Pulau Jawa doang. Otak pemimpin kemana larinya.
Jadi, pembangunan infrastruktur hanya untuk Jawa saja. Mentang-mentang warganya banyak. Kalau Pilpres suaranya banyak. Jadi, mungkin itu sebabnya siang-malam yang menyebabkan tak bisa tidur. Barang kali dorongan cabang banyi, pingin melihat kereta api hitam. Dengan suatu harapan, ke depan, pembangunan transportasi kereta api dapat terwujud di Kalimantan, pulau terbesar kedua setelah Papua.
Pembangunan infrastuktur bermacam-macam. Jalan raya, bandara, pembangunan perumahan dan kerata api. Biayanya, ya mahal. Pontianak harus dapat bagian. Bukan memberi bagian kepada koruptur. Lihat ketika koruptor bekerja, bangunanya banyak yang mangkrak. Abang kalau mau lihat itu, bisa lihat di kawasan Ambalang, Bogor sana.
Al Somad manggut-menggut seperti kerbau dicucuk hidungnya. Ia mengiyakan cerita istrinya yang kali ini terlihat tidak lagi merasa sebel dengan dirinya.
**
Salmah menangis menyaksikan kereta api wara-wiri di Stasion Kereta Api Gambir Jakarta. Menangis bukan lantaran gembira melihat kereta api kali pertama dalam hidupnya. Selama ini ia melihat kereta api paling-paling lewat film di layar kaca, melalui WAG dari teman-temannya. Atau gembar di buku sekolahan kala masih kecil.
Salmah kecewa meski yang ia saksikan kereta api, tapi bukan kereta api yang diinginkan. Ia hanya ingin melihat bagian kepala kereta api berwarna hitam pekat.
"Abang salah. Kereta apinya berwarna hitam," kata Salmah yang disambut jidat berkeringat Al Somad.
Somad tak habis pikir. Kereta macam mana lagi. Semua kereta dari berbagai jurusan sudah dilihatnya di stasiun kereta api ini. Namun ia pun tak putus asa. Ada petugas KA yang berdiri seorang diri, lalu didekati dan diajak ngobrol sambil menanyakan tentang kepala kereta api hitam. Kereta macam apa itu?
"Hahahaha," si petugas tertawa keras kala ditanyai tentang kereta berkepala hitam.
"Itu namanya lokomotif. Kalau mau lihat, bapak bisa pergi ke Ambarawa. Di sana ada museum KA?"
Mendapat penjelasan itu, Al Samad gembira. Tapi itu hanya sebentar. Sebab, setelah dipikir, lokasinya jauh. Ongkosnya mahal. Ya, bagi seorang Al Samad yang mengandalkan gaji sebagai seorang penghulu, ya jelas 'kedodoran kantong". Apa lagi mengaku-ngaku dirinya pengulu, ia paling takut. Pasalnya, sebutan miring kepada penghulu masih melakat, sebagai penerima dana gratifikasi.
"Tapi, kalau mau melihat lokomotif saja, mudah. Di Jakarta ada, tempatnya di TMII," sang petugas menjelaskan.
Mendapat penjelasan itu, Al Somad bergegas keluar bersama istri yang tengah mengandung itu. Ia kembali menghibur istrinya sambil bercerita bahwa kereta yang dimaksud ada di TMII. Kembali lagi istrinya nampak gembira. Mukanya tak lagi cemberut. Bahkan mau bercerita, yang katanya ingin naik kereta itu sambil makan roti.
Betul saja, sesampai di TMII di museum KA istrinya mengelus kepala lokomotif dengan lembaran-lembaran tisut. Lantas, lembaran itu dimasukan ke tas.
"Ini akan disimpan. Nanti, kalau anak ini brojol, ngelap ingusnya pakai tisu ini," Al Somad tertawa meski penjelasan istrinya itu sangat irasional.
Dan, kereta api berlokomotif itu bergerak. Berkeliling TMII dengan suara lonceng teng teng teng sepanjang perjalanan. Al Somad merasa puas. Pokoknya, istri gembira. Perempuan memang ingin dimengerti. Itu saja. Titik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H