Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Hari Santri sebagai Momentum Menyukseskan Kerja BPJPH

22 Oktober 2017   21:35 Diperbarui: 27 Oktober 2017   10:32 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang santri, sebut saja Habdi, sudah dua hari kerjanya 'wara-wiri' dari tempat tidur ke kamar kecil. Dalam dua hari itu ia tak beraktifitas di luar rumah dan badannya pun susut. Bisa jadi antara dua hingga tiga kilogram tubuh badannya berkurang lantaran tak punya nafsu makan, kecuali minum air putih melulu.

Obat antimampet agar tidak diare berkelanjutan sudah diminum. Dokter pun menyediakan waktu datang ke kediamannya untuk memeriksa tubuh dan kesehatannya. Semua disimpulkan baik: tekanan darah, kolesterol dan asam urat pun dalam kategori normal. Dokter juga memberikan obat kepadanya sesuai pemahaman ilmunya.

Tapi, lagi-lagi, santri ini tetap saja 'rajin' ke toilet. Hampir tiap jam berkunjung ke kamar kecil dan yang keluar dari dubur cuma berupa air kotor dan bau. Di hari kedua, ia tak berdaya lagi ke kamar kecil. Tenaga sudah terkuras habis. Habdi tergolek di tempat tidur.

Ia pun menangis seorang diri. Introspeksi. Banyak menyebut nama Tuhan sambil minta ampunan kepada Allah. Gitulah kondisinya kala didera penyakit. "Jangan-jangan ada kesalahan yang diperbuat. Kepada orang terdekat, isteri dan anak. Bahkan kepada gurunya, sang kiai tempatnya menimba ilmu," katanya dalam hati.

Setelah menyampaikan permintaan maaf kepada isteri dan anaknya, ia segera buru-buru menyampaikan berita kepada guru kesayangannya, sang kiai. Melalui telepon ia beceloteh bahwa dirinya tengah sakit diare. Diawali kata pembuka permintaan maaf kepada guru, lalu ia bercerita prihal penyakit yang menderanya selama itu.

"Makannya tak hati-hati. Ada yang mengandung babi," jawab sang kiai dengan nada suara lembut melalui saluran telepon selulernya.

"Ah, kok bisa. Gimana bisa makan babi," tanya Habdi dengan nada kaget dan penasaran.

Lalu, sang kiai minta Habdi untuk merenungkan dirinya. Dimana saja ia makan ketika tengah berada di luar kota. Apakah pernah makan di rumah makan, di pinggir jalan atau kaki lima. Makan di restoran atau minum yang menurut ajaran agama dilarang keras.

Dengan cepat, masih di saluran telepon, sang santri itu mengaku pernah makan di warung kecil. Di tepi jalan kawasan pinggir kota Pontianak. Ingatannya pun tertuju kepada makanan mie khas daerah itu.

"Iya, pernah. Makan mie di situ yang enak," jawab Habdi.

Lantas ia memberi penjelasan bahwa warung tempat dia makan tak menjual babi bagi umat Islam. Menu makanan daging babi dikhususkan bagi non-muslim. Karena itu, Habdi merasa yakin tak mengonsumsi babi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun