"Kalau abang pake pemanis, guna-guna untuk berdagang, aye nggak setuju. Itu musyrik. Nggak dibenarkan agama. Dosa kita nggak bakal diampuni Tuhan. Abang kan belajar agama," kata Salmah kembai dengan nada tinggi.
Lalu, Toing terdiam. Sebab, jika suara isterinya sudah meninggi seperti  itu sebagai pertanda sedang marah. Kalau orang sedang marah, ditimpali, dan terus menerus diajak berdialog nggak bakal nyambung. Cuma hasilnya membangkitkan marah dan marah.
Sudah setengah jam Tiong berdiam diri. Tak satu pun kata meluncur dari bibirnya yang dihiasi kumis melintang seperti jawara Betawi. Namun sayangnya tampil bagai ayam sayur. Demikian pula Salmah diam, merasa lelah celotehnya tidak direspon sang suami tercinta.
Toing pun mendapat peluang untuk bicara. Lantas, ia berinisiatif mengemukakan pendapatnya. "Abang bicara kalimatnya belum putus. Tapi cepat dipotong. Untuk memancing pelanggan datang, cafe perlu dioleh secara profesional," kata Bang Toing.
Mendengar kata-kata Bang Toing dengan suara lembut, amarah Salmah jadi reda. Ia nampak terkaget cafe perlu dikelola secara profesional. Maklum Salmah pendidikannya nggak sampai sekolah lanjutan atas. Ia hanya sampai sekolah dasar, setelah itu ikut masuk pondok pesantren di Sukabumi. Bisa jadi, jika bicara soal ilmu agama, dapat dipastikan lebih menguasai ketimbang Toing.
"Propesional itu, apa itu bang?" tanyanya.
"Bukan propesional, tapi profesional. Maksudnya, orang yang mengelola cafe kita nanti harus ahli benar-benar. Kalau cafe ada ahlinya, pandai masak, bisa maju nanti? katanya yang disambut senyum Salmah.
"Selain itu, kita pun harus pandai memahami isu aktual. Bahkan isu bisa digoreng dengan baik. Bukan seperti kelompok Saracen," kata Toing.
Mendengar kalimat ini, Salmah terdiam. Ia nampak merengut, cemberut. Namun mulutnya tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Â Â
***
Tak disangka, esok harinya di pagi yang indah, Salmah bersama kakak iparnya, Bahudin, sudah berada di kantor polisi terdekat. Salmah dan Bahudin tengah menunggu antre untuk melapor prihal suaminya.