Cerpen | Goreng Pepesan Kosong
Kekesalan Mpok Salmah seolah sudah memuncak. Kepala terasa digoreng seperti nasi goreng. Sebab, suaminya, Toing yang sudah memasuki pensiun dan banyak begadang di berbagai warung kopi punya niat menjual nasi goreng.
Seperti juga kebanyakan kalangan warga kelas menengah ke atas, bang Toing ingin warungnya dikelola seperti sebuah cafe. Lengkap dengan fasilitas wireless fidelity atau sebutan pupulernya WiFi, kopi khas Betawi hingga nasi goreng.
Jika warung kopi saja dengan menjual nasi goreng, ditambah lagi dengan fasilitas WiFi mungkin Mpok Salmah masih bisa menerima. Yang dikhawatirkan adalah kebiasaan Bang Toing kalau sudah begadang mampu sampai menjelang Subuh. Kalau berjualan setiap hari seperti itu, kapan sehatnya Bang Toing.
"Badan dibawa untuk hidup melulu begadang, bisa remuk. Orang yang pensiun apa lagi, tinggal tuanya. Bau tanah sudah pasti," kata Mpok Salmah kepada Bang Toing, ketika kedua orang tua beranak dua ini berembuk tentang rencana membuka warung kopi.
"Ini bukan warung kopi biasa, tapi cafe. Pake bahasa modern dong," pinta Toing kepada isteri tercintanya.
Sekarang ini, ia melanjutkan, mengelola cafe sedang ngetren. Lagi pula, laris. Bukan hanya orang tua dan anak-anak muda, semua orang dari berbagai strata sosial menyukai kuliner di cafe. Biar di situ cuma dijual kopi doang ditambah nasi goreng, kentang goreng, pasti semua oran senang menikmatinya.
Apalagi ada fasilitas WiFi, ada internet, ada televisi yang bisa menyuguhkan pertandingan sepakbola dari luar negeri. Bahkan berita terhangat bisa diperoleh.
Para penggila bola atau gibol bakal hadir di cafe kalau kita kelola dengan baik.
"Pokoknya buka cafe. Orang di situ juga bisa mendapatkan berita paling aktual," kata Bang Toing penuh semangat. Mpok Salmah Cuma bisa bengong, karena suaminya banyak menggunakan istilah asing.
"Tapi, harus diingat Bang. Abang itu badannya ceking. Ngerokok melulu seperti kepala kereta api tempo doeloe. Lokomotif, kepala kereta item ngeluarin asep melulu nggak ada berhentinya," jawab Mpok Salmah.
***
Tekad Bang Toing menjual nasi goreng di cafe sudah bulat. Lahan sudah ada, lokasinya persis di tepi jalan raya ramai. Tinggal ia memikirkan tata letak parkir mobil, yang diperkirakan dapat menampung minimal sepuluh kendaraan roda empat dan dua puluh kendaraan roda dua alias motor. Soal ini nampaknya bisa teratasi. Tinggal persoalan izin.
Namun sebelum prihal izin itu diajukan, ia harus merundingkan lagi tentang menu gorengan. Prihal ini, yang paling ahlinya adalah Salmah. Toing merasa yakin apa pun yang diolahnya, dimasak, hasilnya terasa enak di lidah sang suami.
"Udah lah bang, jangan dipikiran. Soal kape, aye dukung. Asal abang bisa mengatur diri. Jangan begadang melulu. Panggil anak muda lain, jadikan pelayan. Beres, kan?" ujar Salmah sambil menatap mata sang suami.
"Bukan kape, tapi cafe," kata Toing membetulkan kalimat isterinya.
"Iye. Itu bisa diatur. Tapi soal menu gorengan itu?" kata Toing.
"Abang nggak percaya kemampuan aye? Abang nggak yakin kualitas masakan aye? Abang masih juga meragukan kecantikan aye walau sudah beranak dua?" tanya Salmah sambil berkacak pinggang dan manja.
"Soal itu, abang nggak menyangsikan. Nggak ragu. Pokoknya serba enak dan lagi juga tampang isteri abang nggak berubah. Tetap cantik," kata Toing tanpa bermaksud memuji isterinya yang memang cantik.
Salmah kembali duduk, dekat kursi suaminya. Nada suaranya tak lagi tinggi. Lembut seperti ketika tengah pacaran ketika mereka berdua, dua puluh lima tahun lalu. Tak ada yang berubah dalam perjalanan rumah tangga mereka. Cuma badan terlihat tua karena memang tidak ada obat penghalau tua.
"Jadi, maunya abang gimana?" tanya Salmah lembut.
"Abang berharap mengerti, untuk memancing pelanggan datang ke cafe perlu....". Â Belum usai kalimat pembicaraan suaminya itu selesai, Salmah sudah memotong.
"Kalau abang pake pemanis, guna-guna untuk berdagang, aye nggak setuju. Itu musyrik. Nggak dibenarkan agama. Dosa kita nggak bakal diampuni Tuhan. Abang kan belajar agama," kata Salmah kembai dengan nada tinggi.
Lalu, Toing terdiam. Sebab, jika suara isterinya sudah meninggi seperti  itu sebagai pertanda sedang marah. Kalau orang sedang marah, ditimpali, dan terus menerus diajak berdialog nggak bakal nyambung. Cuma hasilnya membangkitkan marah dan marah.
Sudah setengah jam Tiong berdiam diri. Tak satu pun kata meluncur dari bibirnya yang dihiasi kumis melintang seperti jawara Betawi. Namun sayangnya tampil bagai ayam sayur. Demikian pula Salmah diam, merasa lelah celotehnya tidak direspon sang suami tercinta.
Toing pun mendapat peluang untuk bicara. Lantas, ia berinisiatif mengemukakan pendapatnya. "Abang bicara kalimatnya belum putus. Tapi cepat dipotong. Untuk memancing pelanggan datang, cafe perlu dioleh secara profesional," kata Bang Toing.
Mendengar kata-kata Bang Toing dengan suara lembut, amarah Salmah jadi reda. Ia nampak terkaget cafe perlu dikelola secara profesional. Maklum Salmah pendidikannya nggak sampai sekolah lanjutan atas. Ia hanya sampai sekolah dasar, setelah itu ikut masuk pondok pesantren di Sukabumi. Bisa jadi, jika bicara soal ilmu agama, dapat dipastikan lebih menguasai ketimbang Toing.
"Propesional itu, apa itu bang?" tanyanya.
"Bukan propesional, tapi profesional. Maksudnya, orang yang mengelola cafe kita nanti harus ahli benar-benar. Kalau cafe ada ahlinya, pandai masak, bisa maju nanti? katanya yang disambut senyum Salmah.
"Selain itu, kita pun harus pandai memahami isu aktual. Bahkan isu bisa digoreng dengan baik. Bukan seperti kelompok Saracen," kata Toing.
Mendengar kalimat ini, Salmah terdiam. Ia nampak merengut, cemberut. Namun mulutnya tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Â Â
***
Tak disangka, esok harinya di pagi yang indah, Salmah bersama kakak iparnya, Bahudin, sudah berada di kantor polisi terdekat. Salmah dan Bahudin tengah menunggu antre untuk melapor prihal suaminya.
Sebelumnya memang Salmah diam-diam berdiskusi dengan Bahudin tentang rencana suaminya membuka cafe, dengan menu beragam gorengan. Termasuk menggoreng isu, seperti kelompok Saracen yang banyak diberitakan lewat layar kaca.
Atas dorongan Bahudin, Salmah melaporkan suaminya. Sebab, keyakinan Salmah, jika sudah berada di kelompok Saracen, itu berarti Bang Toing masuk sindikat penyebar rasa benci, berita bohong. Keyakinan itu makin menguat lagi, setelah pensiun Bang Toing setiap malam begadang di warung kopi. Itu tidak bisa dibiarkan. Sebab, itu masuk perbuatan zalim.
"Sialakan bapak dan ibu masuk," panggil seorang polisi yang banyak melayani pengaduan masyarakat.
Setelah kedua tamu polisi itu duduk, Mpok Salmah sudah berceloteh. Mulutnya nyerocos seperti petasan cabe rawit. Padahal pak polisi di pos yang biasa melayani pengaduan masyarakat itu belum mengajukan pertanyaan.
"Suami saya mau ikut-ikutan buka cafe. Katanya, di situ mau mengoreng isu. Pasti laku seperti nasi goreng dan kentang goreng. Yang datang pasti banyak. Ia juga nyebut kaya Saracen. Saya takut, pak polisi," kata Salmah yang disambut anggukan kepala Bahudin.
"Boleh saya bertanya kepada ibu?" tanya sang polisi.
"Iya. Tadi kan udah diceritakan," kata Mpok Salmah.
"Iya. Tapi saya kan belum bertanya?" kata sang polisi.
Kemudian sang polisi minta identitas pelapor dan menanyai pekerjaan sehari-hari Mpok Salmah. Termasuk identitas Bang Toing sebagai orang yang dilaporkan.
"Jadi, kesimpulannya, Bang Toing mau jualan gorengan isu dan gorengan lainnya yang ibu takutkan," kata polisi.
"Iya, pak. Takut sekali," katanya.
"Sekarang sudah ada cafenya? Sudah ada pelanggannya?" tanya polisi.
"Belum pak," jawabnya singkat.
Pak polisi lalu menjelaskan bahwa laporan yang disampaikan itu tidak bisa diproses lebih lanjut. Sebab, ini laporan tidak jelas maksudnya. Hanya pepesan kosong.
"Yang digoreng juga tidak ada," katanya.
"Ibu pasti lebih tahu apa itu pepesan kosong," katanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H