***
Tekad Bang Toing menjual nasi goreng di cafe sudah bulat. Lahan sudah ada, lokasinya persis di tepi jalan raya ramai. Tinggal ia memikirkan tata letak parkir mobil, yang diperkirakan dapat menampung minimal sepuluh kendaraan roda empat dan dua puluh kendaraan roda dua alias motor. Soal ini nampaknya bisa teratasi. Tinggal persoalan izin.
Namun sebelum prihal izin itu diajukan, ia harus merundingkan lagi tentang menu gorengan. Prihal ini, yang paling ahlinya adalah Salmah. Toing merasa yakin apa pun yang diolahnya, dimasak, hasilnya terasa enak di lidah sang suami.
"Udah lah bang, jangan dipikiran. Soal kape, aye dukung. Asal abang bisa mengatur diri. Jangan begadang melulu. Panggil anak muda lain, jadikan pelayan. Beres, kan?" ujar Salmah sambil menatap mata sang suami.
"Bukan kape, tapi cafe," kata Toing membetulkan kalimat isterinya.
"Iye. Itu bisa diatur. Tapi soal menu gorengan itu?" kata Toing.
"Abang nggak percaya kemampuan aye? Abang nggak yakin kualitas masakan aye? Abang masih juga meragukan kecantikan aye walau sudah beranak dua?" tanya Salmah sambil berkacak pinggang dan manja.
"Soal itu, abang nggak menyangsikan. Nggak ragu. Pokoknya serba enak dan lagi juga tampang isteri abang nggak berubah. Tetap cantik," kata Toing tanpa bermaksud memuji isterinya yang memang cantik.
Salmah kembali duduk, dekat kursi suaminya. Nada suaranya tak lagi tinggi. Lembut seperti ketika tengah pacaran ketika mereka berdua, dua puluh lima tahun lalu. Tak ada yang berubah dalam perjalanan rumah tangga mereka. Cuma badan terlihat tua karena memang tidak ada obat penghalau tua.
"Jadi, maunya abang gimana?" tanya Salmah lembut.
"Abang berharap mengerti, untuk memancing pelanggan datang ke cafe perlu....". Â Belum usai kalimat pembicaraan suaminya itu selesai, Salmah sudah memotong.