Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Raja Lenong dan Bengek Raden Kanjeng Ajisakti

9 Oktober 2016   20:40 Diperbarui: 9 Oktober 2016   20:43 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, pertunjukan kesenian Betawi Lenong (Dok.Majalah Betawi.com)

Budin dan Bengek ribut di bawah panggung. Budin menyebut rekannya, Bengek tidak cocok mengambil peran sebagai raja. Alasannya, perawakannya cebol juga suaranya kecil melengking. Tidak ada pada bagian tubuh pemuda itu dapat mendukung dirinya untuk berperan sebagai raja. Tetapi keinginan Bengek tampil memerankan raja tak dapat dihalangi oleh seluruh pemain lenong.

Bang Budin: Suara elu harusnya nggak begitu. Nggak mendukung jadi raja.

Bengek: Udah, yang penting meriah.

Budin: Tampilan raja, harus berwibawa. Bukan kayak tikus, apa lagi cecurut.

Bengek: Lu, nggak liat. Baju gue mentereng, pas. Gue bikin sendiri di tukang jahit. Lu mau bikinan orang lain baju kayak gue tampil seperti raja?

Budin tak bisa berkata-kata lagi. Terlebih jika sudah menyangkut biaya untuk kelengkapan permaianan lenong. Apa lagi membuatkan baju berjubah ala raja entah zaman apa.

Dalam kelompok lenong itu, hanya Budin yang berani menegur Bengek. Teman-teman lainnya memilih diam. Toh, mereka pikir tampil sebagai raja cuma di pentas, sebagai raja lenong. Bukan raja sesungguhnya. Cuma permainan hiburan.

Lagi pula, pikir teman-temannya, bila kemauan Bengek dihalangi bisa jadi makan gratis sewaktu-waktu tidak ada lagi. Maklum saja, Bengek tergolong anak orang gedongan, anak orang kaya karena orang tuanya menjadi pejabat di salah satu instansi.

Hari-hari berikutnya Budin makin jengkel. Ia makin tak disukai teman-temannya. Apa yang diinginkan tak dapat dukungan dari teman-temannya. Tampilan lenong di atas panggung ceritanya di berbagai tempat itu-itu saja. Tidak ada cerita baru. Budin sempat mencurahkan isi hatinya kepada salah seorang rekannya agar dalam kelompok lenong itu ada seorang sutradara. Tidak seperti sekarang ini, peran setiap anggota kelompok lenong diatur Bengek. Kelompok itu telah didominasi oleh kemauan si cebol, Bengek.

Kelompok lenong itu, atas permintaan si cebol Bengek, kemudian diberi nama Leong Raja. Pada setiap pertunjukan, Bengek tampil memerankan sebagai rajanya.

*****

Budin tak lagi bergabung dengan kelompok Lenong Raja. Atas permintaan orang tuanya, ia harus tekun belajar. Pagi hari ia ngikut ngaji ke utadz Bang Ba’it di kawasan Pori Rawamangun, pada siang hari sekolahan di kawasan Pasar Enjo Pisangan.

Budin memang bukan berasal dari keluarga berkecukupan seperti si cebol Bengek. Pak Entong, orang tua Bengek, memang beken di Pisangan saat itu lantaran selain pejabat ia juga punya: toko material bangunan yang pada tahun 70-an tergolong langka, dan punya rumah kontrakan di berbagai tempat.

Pernah suatu saat Budin dijumpai salah seorang temannya dan memohon ikut bermain lenong lagi, tetapi permintaan itu ditolak secara halus.

“Gue nggak bisa ikut. Banyak kerjaan dan harus membantu orang tua,” kata Budin sambil ngeloyor, meninggalkan temannya di sebuah persimpangan jalan.

Sekitar sepekan berikutnya, giliran Bengek mendatangi Budin. Maksudnya pun sama dengan permintaan teman sebelumnya, meminta agar dia kembali dapat bergabung dalam seni Betawi Lenong Raja.

“Gue nggak bisa. Dikit lagi kan gue harus khataman Alquran. Belum lagi ujian sekolah. Dua bulan lagi,” ungkap Budin.

Bengek nampak sedikit kesal. Ia geram, tangannya mengepal. Tetapi ia kaget, menderngar temannya itu, Budin sudah pandai ngaji. Mau khatam pula. Tidak seperti dirinya. Belajar Alquran cuma di mushola dengan bimbingan marbotnya. Itu pun kalau lagi sholat berjamaah, ketika menyempatkan diri. Belajar ngaji sekenanya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu Bengek meninggalkan rekannya. Budin sebelumnya dalam kelompok lenong Raja memang jadi andalan. Ia dianggap pandai memerankan apa saja: sebagai jongos, pengawal raja hingga menjadi panglima perang dalam setiap lakon. Terlebih lagi Budin pandai pencak silat yang dipelajari dari orang tuanya.

*****

Si cebol Bengek tampil dengan pakaian kebesaran di atas panggung. Ia tampil lebih awal memperkenalkan diri kepada penonton. Dengan perawakan badan pendek, ia berusaha tampil diiringi para dayang, para gadis yang disewanya, agar menimbulkan kesan berwibawa.

Karena suaranya cempreng dan dipaksakan bersuara bernada bas, dengan dipaksakan suara ditahan di tenggorokan, bukan menimbulkan kesan wibawa. Justru menjadi sebaliknya, menjadi lucu. Penonton pun menjadi tertawa terpingkal. Bengek tak memahami tertawaan penonton itu diarahkan kepadanya, karena ia tampil lucu. Jauh dari kesan wibawa yang diinginkannya.

Tampilan si cebol Bengek seperti itu membawa pengaruh kepada teman-temannya. Setiap pemain lenong yang harus membawa peran tertentu tidak bisa ditampilkan secara maksimal. Pasalnya, penonton melontarkan cemoohan. Bahkan ada di antaranya melempari kacang dan benda-benda lainnya ke atas panggung, sehingga mengganggu jalannya pertunjukan.

Akhirnya, pertunjukan tak dapat dilanjutkan karena rekan-rekan si cebol Bengek tak sanggup menghadapi cemoohan yang dirasakan sangat menyakitkan hati itu.

Bengek merasa murka. Bukan lagi di atas pentas, tetapi sekali ini marah di luar panggung. Di luar dari singgasananya. Di hadapan publik, khususnya warga di kampung kelahirannya itu, ia ingin beken seperti orang tuanya karena kekayaannya. Bengek terobsesi seperti orang tuanya Pak Entong yang punya toko bangunan material itu. Padahal usianya masih bau kencul, sekitar tujuh belas tahunan.

Kini karir cebol Bengek hancur di dunia persilatan lonong. Namun teman-temannya tetap setia menjadi pengikut. Sebabnya, ia punya uang cukup.   Sayangnya, ia tidak terlalu ngotot dengan biaya yang besar itu seharusnya dapat digunakan untuk menyelesaikan pendidikannya. Ia malah asyik dengan dirinya sendiri banyak dikelilingi teman-temannya, yang mudah diatur bagai seekor kerbau dicucuk hidungnya. Kemana si cebol Bengek pergi, teman-temannya mudah untuk diajak ikut serta.

*****

Budin kaget bukan kepalang. Ia menyaksikan rekannya Bengek dalam sebuah pertunjukan sulap dengan didampingi rekan-rekannya ketika aktif menjadi pemain lenong. Si cebol Bengek masih setia dengan pakaian kebesarannya 10 tahun silam. Pakaian berjubah dan sorban di kepala disertai aksesoris mengkilap. Dengan pakaian kebesaran layaknya seorang raja itu, ia terlihat mahir memainkan benda yang nampak dan dalam sekejap hilang dari pandangan mata.

Termasuk mengubah penampilan lembaran kertas menjadi uang.

Penampilan Bengek sebagai tukang sulap yang disaksikan Budin tidak sekali saja. Setiap Bengek tampil ia tonton. Jadwal penampilan Bengek sebagai pesulap di berbagai tempat dapat ketahui dari iklan radio dan suratkabar. Bengek kini makin beken saja. Ia pun sudah mengubah nama menjadi Raden Kanjeng Ajisakti, seperti yang diumumkan setiap kali tampil melalui pembawa acara.

Meski si cebol Bengek sudah beken dengan panggilan Raden Kanjeng Ajisakti, Budin menahan diri untuk tidak buru-buru menemuinya walau ada kesempatan seusai pertunjukan. Budin berfikir mengapa temannya yang berperawakan pendek itu senang sekali mengenakan pakaian kebesaran. Bengek sepertinya kini menemukan dirinya; punya pengikut setia, tampil dengan pakaian ‘megah’ dan populer.

Yang menarik Budin,  mengapa ia rajin menyaksikan pertunjukan rekannya itu, adalah setiap kali tampil sebelum naik ke atas panggung – Raden Kanjeng Ajisakti itu membakar menyan di panggung. Alasan si pesulap, untuk menimbulkan kesan magis kepada penonton.

Budin lambat laun tak tahan menyaksikan rekannya. Pasalnya, ia menilai rekannya itu, Bengek yang mengubah nama menjadi Raden Kanjeng Ajisakti itu sudah manjauhi ajaran agama yang dipeluknya. Ia menduga-duga bahwa Bengek sudah memilih jalan sesat seperti Dimas Kanjeng yang menipu banyak orang dengan melipatgandakan uang, menarik pengikutnya dengan aroma agama. Kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi hingga kini masih jadi sorotan publik dan menjadi buah bibir di seantero Nusantara.

Berbekal alasan itulah, usai pertunjukan sulap, Budin berusaha menemui rekannya itu. Sayangnya, ketika berjumpa, Bengek mengaku tak kenal dengan Budin. Bahkan ketika disebut Bengek pernah menjadi Raja Lenong dan ia menjadi anggota kelompoknya, Bengek bersikeras tak pernah mengenal nama Budin.

Budin pun diusir. Rekan-rekannya pun secepatnya mendorong tubuh Budin agar cepat keluar dari ruang ganti pakaian. Budin tak kuasa menahan sedih. Rupanya, Bengek masih menyimpan dendam, seperti ketika ia meminta Budin untuk ikut kelompoknya lagi, namun ditolak.

Di perjalanan menuju  tempat parkir, Budin belum juga melepaskan rasa sedih atas peristiwa yang baru dialami. Masih dalam suasana sedih, tiba-tiba empat orang muda berperawakan badan besar dan menyeramkan menjumpainya. Tanpa bertanya bak bik bu lagi, leher Budin dipiting. Tiga orang lainnya mengayunkan tinju ke perut dan muka. Beruntung, Budin dapat mengatasi karena pernah belajar silat.

Pitingan di leher cepat dilepaskan. Namun dua pukulan sempat mendarat di perutnya. Budin memberi perlawanan sengit. Lawan-lawannya bisa dilumpuhkan, mereka terkapar di jalan beraspal.

Tak lama, beberapa anggota Satpam setempat datang dan mengamankan para penyerang Budin. Ketika diperiksa sebelum diserahkan ke polisi, keempatnya mengaku sebagai orang suruhan cebol Bengek.

Anggota kelompok Bengek diringkus polisi . Tak berapa lama, sang ketua si cebol Bengek Raden Kanjeng Ajisakti itu juga ikut ditangkap bersama sejumlah barang haram narkoba di tasnya. Ia ternyata pengguna dan pengedar narkoba di kalangan anak muda. 

Dan, menghadapi kenyataan itu, Budin pun cuma sanggup mengucap: Astaghfirullah, memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa. Moga-moga rekannya itu dapat diampuni Allah.

Oleh Edy Supriatna Sjafei

Jakarta, 9 Oktober 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun