Budin tak lagi bergabung dengan kelompok Lenong Raja. Atas permintaan orang tuanya, ia harus tekun belajar. Pagi hari ia ngikut ngaji ke utadz Bang Ba’it di kawasan Pori Rawamangun, pada siang hari sekolahan di kawasan Pasar Enjo Pisangan.
Budin memang bukan berasal dari keluarga berkecukupan seperti si cebol Bengek. Pak Entong, orang tua Bengek, memang beken di Pisangan saat itu lantaran selain pejabat ia juga punya: toko material bangunan yang pada tahun 70-an tergolong langka, dan punya rumah kontrakan di berbagai tempat.
Pernah suatu saat Budin dijumpai salah seorang temannya dan memohon ikut bermain lenong lagi, tetapi permintaan itu ditolak secara halus.
“Gue nggak bisa ikut. Banyak kerjaan dan harus membantu orang tua,” kata Budin sambil ngeloyor, meninggalkan temannya di sebuah persimpangan jalan.
Sekitar sepekan berikutnya, giliran Bengek mendatangi Budin. Maksudnya pun sama dengan permintaan teman sebelumnya, meminta agar dia kembali dapat bergabung dalam seni Betawi Lenong Raja.
“Gue nggak bisa. Dikit lagi kan gue harus khataman Alquran. Belum lagi ujian sekolah. Dua bulan lagi,” ungkap Budin.
Bengek nampak sedikit kesal. Ia geram, tangannya mengepal. Tetapi ia kaget, menderngar temannya itu, Budin sudah pandai ngaji. Mau khatam pula. Tidak seperti dirinya. Belajar Alquran cuma di mushola dengan bimbingan marbotnya. Itu pun kalau lagi sholat berjamaah, ketika menyempatkan diri. Belajar ngaji sekenanya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu Bengek meninggalkan rekannya. Budin sebelumnya dalam kelompok lenong Raja memang jadi andalan. Ia dianggap pandai memerankan apa saja: sebagai jongos, pengawal raja hingga menjadi panglima perang dalam setiap lakon. Terlebih lagi Budin pandai pencak silat yang dipelajari dari orang tuanya.
*****
Si cebol Bengek tampil dengan pakaian kebesaran di atas panggung. Ia tampil lebih awal memperkenalkan diri kepada penonton. Dengan perawakan badan pendek, ia berusaha tampil diiringi para dayang, para gadis yang disewanya, agar menimbulkan kesan berwibawa.
Karena suaranya cempreng dan dipaksakan bersuara bernada bas, dengan dipaksakan suara ditahan di tenggorokan, bukan menimbulkan kesan wibawa. Justru menjadi sebaliknya, menjadi lucu. Penonton pun menjadi tertawa terpingkal. Bengek tak memahami tertawaan penonton itu diarahkan kepadanya, karena ia tampil lucu. Jauh dari kesan wibawa yang diinginkannya.