“Sebagai ibukota negara, Jakarta harus dibuat khusus dari kota lainnya. Lebih khusus lagi, Gubernur dan Wagub DKI tidak dipilih rakyat, dipilih Presiden saja. Biar nggak ada yang berantem-berantem lagi. Bila Gubernur ditunjuk Presiden, maka dapat menghemat anggaran,” ujarnya ketika membuka rapat revisi Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 di Balaikota Jakarta, Selasa (22/7/2014).
Di sinilah letak tidak logis, tidak rasional, dan inkonsistensinya Ahok. Dia menolak wacana Pilkada oleh DPRD dengan dalih menegakkan dan membela demokrasi. Di sisi lain Gubernur nonmuslim yang sibuk keluar masuk pesantren dan masjid untuk kampanye terselubung ini, justru mengusulkan Gubernur DKI langsung dipilih oleh Presiden. Kalau demokrasi yang dijadikan ukuran, siapa pun bakal sepakat penunjukan gubernur oleh Presiden sama dengan menjagal demokrasi.
“Saya tidak akan masuk ke PDIP. Saya tidak akan masuk parpol hingga akhir jabatan di DKI,” ucap Ahok, sessat setelah keluar dari Gerindra. Keren, sepertinya. Mungkin saja banyak masyarakat jadi tersihir oleh kata-kata ajaib itu.
Tapi, lidah memang tak bertulang. Faktanya, hari-hari ini dia sibuk memompa publik dengan opini, bahwa Megawati dan PDIP telah mendukung dia sebagai Cagub DKI periode 2017-2022. Ternyata alasan keluar dari Gerindra, karena dia sedang mengincar tiket dari Megawati untuk Pilkada DKI tahun 2017. Ahok juga sadar betul, bahwa untuk mengantongi restu Mega, dia harus mendaftar jadi anggota PDIP. Padahal, sesaat setelah keluar dari Gerindra, dia menyatakan tidak akan bergabung dengan PDIP.
Sampai di sini, apakah Ahok telah mengkhianati publik dengan statement tidak bakal masuk parpol sampai akhir jabatan gubernurnya?
Sejarah kemudian menunjukkan Ahok menjatuhkan diri dalam pelukan Golkar, Hanura, dan Nasdem. Khusus terkait Golkar, dia bahkan bisa bermelodrama, dengan mengatakan dirinya bagian dari sejarah Golkar. Agar lebih dramatis lagi, Gubernur yang rajin menggusur warga miskin ini bahkan mengklaim masih menyimpan foto diri dan orangtuanya yang menjadi tokoh Golkar di tempat kelahirannya. Ck ck ck…
Kalau ada Parpol yang paling unik dan lucu, mungkin Golkar-lah adanya. Golkar sempat dikhianati karena loncat ke Gerindra. Toh partai yang pernah memerintah sepanjang Orde Baru 32 tahun berkuasa ini tidak merasa risih mendukung Ahok di Pilkada DKI. Begitu pula dengan Hanura yang kepanjangannya adalah Hati Nurani Rakyat. Entah dimana hati nurani para petinggi Hanura, saat Ahok dengan ganas menggusur ribuan rumah rakyat di sejumlah titik di DKI. Rakyat bukan hanya kehilangan rumah, tapi mereka juga kehilangan pekrjaan dan sumber penghasilan.
Sebelum Ahok menjatuhkan diri dalam pelukan Golkar, Hanura, dan Nasdem, dia didukung para relawannya yang menyebut diri sebagai Teman Ahok (TA). Gerilya dan kerja keras mereka menghasilkan klaim, berhasil mengumpulkan 1 juta KTP. Belakangan terbukti, bahwa kalim itu adalah bluffing semata. Setelah diverifikasi, banyak KTP yang tidak valid. Milik orang mati lah, membeli dari konter penjualan hand phone, kerjasama dengan oknum kelurahan, dan lain-lain. Itulah sebabnya, beberapa waktu lalu popular meme Kapok Ahoks sebagai antithesis Teman Ahok.
Apakah Ahok mengkhianati relawan Teman Ahok?
Sekadar melawan lupa. Ahok pernah dengan gagah mengatakan akan maju lewat jalur independen. Sebab, kalau lewat Parpol dia harus bayar mahar Rp100 miliar-Rp200 miliar. Dia bahkan pernah ‘mengultimatum’ DPP PDIP, agar segera menetapkan Bakal Calon Gubernurnya dalam tempo sepekan.
Masih dalam rangka melawan lupa, dia juga mencoba menyeret Jokowi ketika kesandung kasus dengan pengembang. Ucapannya yang terkenal saat itu adalah, Jokowi tidak mungkin jadi presiden tanpa bantuan pengembang.