Bicara DKI memang tidak hanya soal Jakarta semata. Ibukota ini menjadi amat penting, terutama dikaitkan dengan posisi RI-1. Rasanya, itulah pula yang ada dalam benak Prabowo. Dia merasa kalau Ahok yang diusung partainya sukses jadi Wagub DKI, maka jalan mencalonkan diri sebagai Cawapres di 2014 bakal terbentang luas.
Itulah sebabnya Prabowo sangat serius. Bukan cuma dukungan partai sebagai kendaraan formal, Hasjim Djojohadikusumo, adik Prabowo menggelontorkan duit yang lumayan besar. Gosip yang beredar menyebutkan, angkanya tidak kurang dari Rp80 miliar.
Sayangnya rencana tinggal rencana. Skenario indah yang dirajut Prabowo buyar. Ketika Pilpres berlangsung, Ahok nyaris tidak melakukan apa-apa untuk memenangkan Prabowo. Tidak diketahui persis alasannya. Mungkin karena mantan bosnya, Joko Widodo, ikut bertarung memerebutkan kursi Presiden melawan orang yang sudah mengusung dan membiayai kemenangannya di DKI. Lalu, Jokowi menang. Prabowo kalah!
Apakah pada titik ini Ahok mengkhianati Prabowo?
Sebetulnya, yang namanya menang dan kalah adalah perkara biasa. Maksud saya, normal dan wajar saja. Sepertinya inilah yang menjadi jawaban mengapa Prabowo tidak uring-uringan karena kekalahannya.
Tapi begitulah Ahok. Baginya tidak bekerja habis-habisan memenangkan Prabowo sebagai Capres sepertinya belum cukup. Dia kemudian menyatakan keluar dari Gerindra. Surat pengunduran dirinya dikirim pada Rabu, 10 September 2014. Surat itu diantar staf pribadinya ke kantor DPP Gerindra.
Apakah pada titik ini Ahok mengkhianati Gerindra?
Sebenarnya tidak ada yang salah ketika Ahok keluar dari Gerindra. Toh hak setiap orang untuk masuk atau keluar dari Parpol. Mungkin juga, hak setiap orang untuk menjadi kutu loncat. Paling banter, ukuran yang bisa dipakai adalah perkara etika semata. Etiskah orang menjadi ‘kutu loncat’? Sayangnya, soal etis dan etika sudah lama menjadi barang langka yang nyaris punah di ranah politik negeri ini.
Tidak rasional dan inkonsisten
Barangkali publik masih ingat, Ahok mengedepankan ketidaksetujuannya saat Gerindra mendukung RUU Pilkada DPRD. Namun belakangan alasan ini terbukti tidak lebih dari jualan politik Ahok yang tidak proporsional dan tidak rasional belaka. Bahkan, alasan ini juga sangat kontradiktif dan inkonsisten.
Pasalnya, beberapa bulan sebelumnya lelaki yang hobi mengumbar amarah ini mengusulkan, agar UU Nomor 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) direvisi. Salah satu poin yang diusulkan yaitu terkait pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di DKI Jakarta. Dia minta agar kepala daerah khusus di ibukota negara tidak lagi dipilih oleh rakyat, melainkan dipilih Presiden. Statusnya pun dinaikkan jadi setingkat menteri.