Megawati telah setuju mengusung Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok pada Pilkada DKI 2017. Begitulah opini yang dicoba dipompakan ke benak publik dalam beberapa hari terakhir. Seperti sebuah koor, media-media mainstream memainkan berita ini sebagai komoditas seksi. Berhari-hari. betubi-tubi.
Benarkah demikian? Wallahu a’lam. Hanya Allah yang tahu. Tapi satu hal yang pasti, hingga kini belum secuil pun pernyataan Megawati mengarah ke sana. Apakah Ahok ge-er alias gede rumongso? Atau, ini memang bagian dari penggiringan opini terhadap warga dan elit Jakarta?
Bagaimana dengan Joko Widodo? Mantan Walikota Solo yang kini menjadi Presiden Republik Indonesia ini memang belum bersuara apa pun soal ini. Namun sejumlah peristiwa yang terjadi beruntun beberapa waktu lalu, sepertinya mengirimkan sinyal, bahwa Jokowi mendukung Ahok.
Tidak ada, atau paling tidak belum ada, bukti, bahwa Jokowi cawe-cawe dalam sejumlah kasus hukum yang menyeret Ahok. Skandal pembelian Sumber Waras, kasus pembelian lahan di Cengkareng, aliran dana pengembang pada kasus reklamasi, dan lainnya. Semuanya seperti membentur tembok tebal dan tinggi. Ahok tetap melenggang riang.
Pada kasus Sumber Waras, misalnya. Bagaimana mungkin temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang adanya kerugian negara sebesar Rp191 miliar lebih bisa ‘dianulir’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Badan antirasuah yang diharapkan jadi benteng terakhir pemberantasan korupsi itu, justru menyatakan tidak ada perbuatan melawan hukum dalam kasus Sumber Waras.
Sinyal yang lebih kuat dipancarkan pada kasus Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Rakyat yakin benar, Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli harus terpental karena menghentikan reklamasi Pulau G secara permanen. Dalam perlawanannya terhadap keputusan Menko itu, Ahok sempat menyatakan Jokowi tidak akan menjadi Presiden tanpa bantuan pengembang. Tidakkah ini saling terkait? Hmm…
Bekali-kali berkhianat?
Tapi terlepas dari semua itu, harus diakui Ahok memang seru. Gubernur yang doyan memaki siapa saja ini punya rekam jejak politik yang ‘menakjubkan.’ Bekali-kali berkhianat? Wah, saya tidak berani bilang begitu. Kutu loncat? Itu pasti.
Konon, kata orang, di ranah politik tidak ada lawan dan teman sejati. Yang ada hanyalah kepentingan. Pakem ini berlaku hampir kepada siapa saja. Tak terkecuali dengan Ahok. Mungkin karena menggenggam dogma itu, maka sejarah politik Ahok dijejali dengan kisah gonta-ganti kendaraan dan pendukung. Loncat dari satu Parpol ke Parpol lain. Memohon kepada satu patron lalu meninggalkannya begitu saja setelah hajatnya terpuaskan. Terpuaskan? Eh, seperti ga juga, ya. Lagian mana ada manusia yang bisa puas, apalagi jika menyangkut kekeuasaan?
Lelaki kelahiran Belitung Timur itu mulai beredar di jagad politik saat jadi anggota DPRD (2014-2009) Kabupaten Belitung Timur. Waktu itu dia bernaung di Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) besutan ekonom Sjahrir atau yang oleh kawan-kawan dekatnya biasa disapa Ciil.
Rupanya antena kekuasaan Ahok yang punya nama Cina Zhōng Wànxué makin panjang saja. Dia pun memutuskan bertarung memerebutkan kursi Bupati Belitung Timur. PPIB masih jadi kendaraannya. Tapi kali ini ditambah dengan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) dan beberapa partai kecil lainnya. Ternyata Ahok menang. Jadilah dia Bupati Belitung Timur untuk masa tugas 2005-2010 .