Bagaikan koor, mereka juga mendesak agar RR, begitu dia biasa disapa, maju bertarung memperebutkan kursi DKI-1. Orang-orang ini yakin, gubernur yang sekarang bukan saja kejam dan arogan, tapi juga sangat kuat. Itulah sebabnya dibutuhkan lawan yang seimbang, yang mampu mengalahkannya. Dan, mereka melihat hanya RR lah sosok itu.
Bagaimana dengan Rizal Ramli sendiri? Sejauh ini dia menyatakan belum terpikir untuk maju. Dia masih ingin menjalani hobi membaca buku dan menikmati lukisan yang nyaris tak disentuhya selama 11 bulan menjadi Menko. Kendati bisa merasakan penderitaan warga yang terzalimi, dia tidak terpancing menjadikan berbagai empati dan dukungan itu untuk kepentingan politiknya. Bahkan, malam itu, RR sama sekali tidak berkampanye. Dia tidak menyinggung-nyinggung soal kemungkinannya maju jadi gubernur.
Lalu, tentang doa pahit yang dilantunkan Suleman dan warga tadi?
“Saya tahu, doa tersebut karena bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara merasa terzalimi, sedih, dan putus asa. Tapi, kalau boleh saya sarankan, kita tidak usah berdoa seperti itu. Maaf, itu doa tentang keburukan. Kita serahkan saja kepada Allah Yang Maha Kuasa. Biarkan Dia yang menghukum para penguasa yang telah menzalimi rakyatnya. Allah tidak tidur,” katanya dengan mata yang tergenang... (*)
Jakarta, 8 Agustus 2016
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democacy Studies (CEDeS)