Malam itu, selepas isya, Ahad, 7 Agustus 2016, ratusan warga menyesaki area bekas reruntuhan rumah dan bangunan lain. Mereka duduk di puluhan kursi lipat yang disediakan panitia. Ratusan lain tersebar, di sekitar kursi. Ada yang duduk di bongkahan puing-puing. Ada juga yang nangkring di atas sisa tembok yang ‘tertinggal lolos’ dari becho, alat berat penghancur rumah warga. Sebagian lain duduk lesehan beralas terpal plastik, juga di atas puing-puing.
Ya, malam itu warga Kampung Akuarium menggelar acara nobar, alias nonton bareng film dokumenter berjudul Kedok Palsu Revitalisasi. Film besutan Tengok Indonesia yang digawangi sinaes muda Johanes dan kawan-kawan belianya itu bercerita tentang derita warga Kampung Akuarium akibat penggusuran yang mereka sebut tidak berhati nurani.
Sebelum film diputar, untaian doa ‘mengerikan’ itu tadi yang bergema. Doa yang dipimpin ustadz Suleman, seorang tukang jahit yang kehilangan rumah dan mata pencariannya.
“Saya tahu, doa ini doa yang tidak pantas. Doa ini tidak akan dibacakan para ulama atau kyai. Tapi, karena saya bukan ustadz, ulama apalagi kyai, maka saya bacakan doa ini. Saya menyebutnya sebagai doa pahit. Sebab, kepada siapa lagi kami harus mengadu? Kami sudah bicara dengan banyak pihak, termasuk kepada partai yang paling besar. Tapi semuanya membisu. Maka biarkan kami mengadu kepada Allah Yang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa-doa. Semoga Allah menghukum penguasa zalim yang menggusur kampung dan sumber penghasilan kami. Semoga Allah menghukum penguasa kejam tak berhati nurani dengan hukuman yang seberat-beratnya. Aamiin,” ujar Suleman dalam pengantar doanya.
Maka, jadilah suasana malam itu begitu mencekam. Hanya ada doa yang diaminkan warga dengan gemuruh. Sepertinya dengan doa itu, warga berusaha menggedor pintu langit, agar lebih leluasa menyapa sang penguasa semesta alam raya, Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Doa kian terasa khusyu’ karena disampaikan dengan sepenuh jiwa dari seluruh warga. Doa yang diiringi dengan derai air mata dan sesenggukan isak tangis yang saling bersahutan.
Puncak kejahatan
Malam itu juga hadir Ratna Sarumpaet. Perempuan pekerja seni yang juga dikenal sebagai aktivis ini sudah berpekan-pekan bergabung dengan warga Kampung Akuarium. Mengenakan setelan merah darah, Ratna menyatakan, tiap kali menginjakkan kakinya di Kampung Akuarium, dia merasa sedang menapaki bekas-bekas puncak kejahatan.
“Betapa tidak, ada Gubernur yang menggusur rakyatnya. Gubernur yang mengejek, menghina, dan terus-menerus mengintimidasi rakyatnya. Ini adalah kezaliman, puncak kejahatan. Kita tidak butuh gubernur yang menyatakan rakyatnya adalah sampah. Lewat film dokumenter ini, kita ingin menagih janji Presiden Jokowi saat kampanye di sini, bahwa tidak akan ada penggusuran dan penistaan terhadap warga Kampung Akuarium, warga Luar Batang, Tanah Merah, dan perkampungan lain yang menjadi korban,” papar Ratna dengan lengkingan khasnya.
Film berdurasi sekitar 40 menit itu memaparkan betapa menderitanya warga yang menjadi korban gusuran. Gambar-gambar diambil dengan angel yang pas. Ada puing-puing, tumpukan barang-barang seadanya yang berhasil diselamatkan dari lokasi reruntuhan. Ada anak-anak yang kehilangan keceriaan. Juga ada deretan bangunan megah yang tak ber-IMB (izin mendirikan bangunan) nun di pulau-pulau hasil reklamasi sana.
Mereka, warga Kampung Akuarium, yang telah tinggal lebih dari 30 tahun, terpaksa kehilangan rumah tinggal dan pekerjaan. Ironisnya lagi, tidak ada serupiah pun uang pengganti. Bahkan, tidak ada dialog dan musyarawah sebelumnya. Sama sekali! Yang ada hanya Surat Peringatan (SP) satu, dua, dan... bongkar! Ratusan tentara dilibatkan. Ratusan polisi diterjunka. Ratusan Sapol PP dikerahkan. Puluhan alat berat merangsek, menghancurkan...
“Waktu penggusuran terjadi, saya tenang-tenang saja. Soalnya, pak lurah dan pak camat mengatakan, yang digusur cuma warga bantaran kali. Ternyata, semua warga di sini digusur. Saya benar-benar kaget, karena sama sekali tidak sempat mengeluarkan barang-barang,” ujar seorang warga di film itu.