Film dibuka dengan paparan rencana revitalisasi versi Pemda DKI Jakarta berujud proyek ambisius membangun Giant Sea Wall. Tampilan animasi proyek itu, menggambarkan kelak, Jakarta, akan menjadi kota canggih dan modern yang mampu membetot minat investor memembenamkan dananya. Tapi, tidak ada secuil pun tayangan, adegan bahkan dialog tentang rencana penggusuran.
Selanjutnya, layar tancap berwarna putih ukuran sekitar 3x8 m dengan dua tiang bambu di kanan kirinya itu menampilkan sepasang nelayan,suami istri yang sudah mulai uzur. Mereka berada di atas perahu, dengan ikan hasil tangkapan yang hanya beberapa ekor. Itu pun ukurannya sama sekali tidak bisa disebut besar.
“Dia bilang, sudah tidak ada ikannya di sini. Kan, dia yang bikin ikannya jadi ga ada. Dulu, sebelum reklamasi, saya bisa dapat ikan banyak. Tidak perlu melaut jauh-jauh. Lagian, ngapain juga jauh-jauh, olok-olokin bensin aja,” kata si istri.
Sekadar catatan saja, ‘dia’ yang dimaksud adalah gubernur. ‘Dia’ ini pula yang muncul dalam doa yang pahit di awal tulisan ini dengan kata ganti orang ketiga tunggal, ‘nya’ pada kalimat “Ya Allah, matikanlah hatinya, matikanlah akalnya, matikanlah matanya, matikanlah telinganya, matikanlah tangannya, matikanlah kakinya, dan matikanlah badannya.” Ya, dia dan nya itu semua terpulang kepada sang gubernur. Sedangkan olok adalah bahasa Betawi yang maknanya boros.
Episode penderitaan baru
Kendati banyak kelemahan di sana-sini, film karya para pemula ini lumayan berhasil menggambarkan derita pada warga korban gusuran. Mereka bukan saja kehilangan rumah tinggal, tetapi juga pekerjaan.
Sebagian dari mereka memang direlokasi ke rumah susun alias rusun. Tapi, itu justru membuka episode penderitaan baru. Warga harus membayar sewa sebesar Rp300.000/bulan untuk tiap unit berukuran 6x4. Status mereka adalah para penyewa, yang setiap saat bisa dan sah saja terusir. Padahal, sebelumnya, ketika di Kampung Akuarium, rumah milik mereka rata-rata di atas 60m2. Bahkan ada yang punya rumah 150m2 dengan tiga kamar tidur, dua kamar mandi, ruang tamu yang lapang, dan masih ada teras untuk bermain anak-anak.
Buat sebagian kita, Rp300.000 mungkin angka yang tidak berarti. Namun bagi warga eks gusuran, jumlah itu terasa amat besar. Pasalnya, mereka juga harus membayar listrik sekitar Rp300.000, membeli air minum dan keperluan mandi cuci kakus (MCK), dan berbagai kebutuhan mendasar lainnya.
Tragisnya, sebagian besar penghuni justru tidak lagi bekerja dan tak punya penghasilan. Kalau pun kembali bekerja di lokasi semula, penghuni harus kembali merogoh kocek untuk biaya transportasi yang sama sekali tidak murah. Beberapa penghuni mencoba meneruskan usaha dagang kecil-kecilan. Tapi karena pasarnya terbatas dan daya beli yang nyaris nol, maka hasilnya jauh dari memadai.
“Di Akuarium, saya dagang air galon dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Omsetnya sekitar Rp20 juta/bulan. Saya juga punya kontrakan sebanyak 48 pintu. Sekarang semua itu hancur. Tidak ada sisa. Tidak ada penggantian sepeser pun. Di sini saya mencoba merintis dagang lagi. Tapi, omsetnya paling Rp20.000-Rp30.000/hari. Cukup apa uang segitu? Saya harus bayar sewa, beli air, bayar listrik, dan bermacam biaya lain. Kepala saya jadi sering sakit,” ujar seorang ibu sambil menggotong air mineral kemasan galon. Di usianya yang 52 tahun, dia harus termehek-mehek, nafasnya tersengal-sengal, naik turun tangga mengantarkan air galon dari pintu ke pintu pelanggannya.
Janji tinggal janji