[caption caption="news.roteonline.com"][/caption]INDONESIA memiliki banyak wanita luar biasa di sepanjang lintasan sejarahnya. Para wanita luar biasa ini perlu dikenal untuk dikenang dan dihargai perjuangannya. Mereka bukan sekedar memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya, tapi -- sadar tidak sadar -- sudah menjabarkannya dalam kenyataan hidup mereka sehari-hari.
Dalam konteks ini, kita akan melihat di mana seharusnya tempat RA. Kartini, yang tanggal lahirnya (21 April), seolah sudah “dilantik” sebagai harinya kaum wanita Indonesia. Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar sudah pernah menulis artikel dengan nada gugatan berjudul: “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” dalam buku: “Satu Abad Kartini (1879-1970)” (1990).
Pengkultusan R.A. Kartini dikritik sebagai pahlawan nasional Indonesia. Berikut ini dikemukakan sebagian dari wanita-wanita luar biasa yang pernah dimiliki bangsa Indonesia di masa lalu.
Ratu Shima (memerintah sekitar 674-732 M) adalah penguasa Kerajaan Kalingga yang terletak di Pantai Utara Jawa Tengah. Ia menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur. Berdasarkan Naskah Wangsakerta, Ratu Shima berbesan dengan penguasa terakhir Tarumanegara.
Ratu Tribhuwanatunggadewi (memerintah pada 1328-1350), adalah puteri dari Gayatri Rajapatni, salah satu isteri dari Raden Wijaya. Tribhuwanatunggadewi naik tahta menggantikan Jayanegara yang meninggal pada 1328. Tribhuwana mengangkat Gajah Mada menjadi Mahapatih pada 1336, dan selama kekuasaannya Majapahit berkembang semakin besar dan luas. Ia digantikan putranya, Hayam Wuruk, setelah ibunya, Gayatri, meninggal pada 1350.
Puteri Lindung Bulan yang juga disebut Puteri Sri Kandee Negeri adalah puteri Raja Muda Sedia yang memerintah Negeri Benua Tamieng (negara bagian dari Kerajaan Islam Perlak) dalam tahun 1353-1389 M. Sekalipun tidak memegang salah satu jabatan dalam pemerintahan, namun Puteri Lindung Bulan telah membantu ayahnya dalam berbagai urusan kerajaan, sebagaimana layaknya seorang Perdana Menteri.
Ratu Kusuma Wardhani (memerintah pada 1389-1426), adalah puteri mahkota dari Hayam Wuruk yang meninggal pada 1389. Dia menikah dengan sepupunya pangeran Wikramawardhana dan bersama-sama menghadapi konflik perebutan kekuasaan dengan Wirabhumi. Dalam Perang Paregreg (1405-1405), Wirabhumi dikalahkan, tetapi setelah itu Majapahit semakin melemah.
Ratu Nahrasiyah (memerintah sekitar 1405-1428), seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai. Ratu Nahrasiyah adalah puteri dari Sultan Abidin putera Sultan Ahmad putra Sultan Muhammad putra Sultan Al Malikul Salih. Makam ratu ini sangat indah dan istimewa terbuat dari batu pualam yang menunjukkan kebesarannya di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai dekat Lhok Seumawe.
Dari literatur Tiongkok kuno diberitakan bahwa pada Laksamana Cheng Ho mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1415. Diceritakan juga Sekandar, kemenakan suami kedua ratu ini, bersama pengikutnya merampok Cheng Ho, sehingga pasukan Cheng Ho dengan bantuan Ratu Samudera Pasai dapat mengalahkan Sekandar dan dibawa ke Tiongkok.
Ratu Suhita (memerintah pada 1426-1447), adalah puteri Wikramawardhana dari selirnya yang juga putri kedua Wirabhumi. Majapahit sudah sedemikian merosot kejayaannya pada masa kekuasaan Ratu Suhita hingga dia meninggal pada tahun 1447 dan digantikan olek adik lelakinya.
Ratu Kalinyamat (memerintah sekitar 1508-1579) dengan nama asli Retna Kencana adalah puteri dari raja Demak Trenggana (1521-1546) yang menjadi bupati di Jepara. Ia terkenal di kalangan Portugis sebagai sosok wanita pemberani. Meninggal sekitar tahun 1579 M.
Laksamana Malahayati (hidup diakhir abad XVI-XVI) menjadi Panglima angkatan perang Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604) setelah keberhasilannya memimpin pasukan wanita. Ini berawal dari pertempuran pasukan Aceh menyerang armada Portugis hingga hancur, tapi banyak pasukan Aceh yang gugur termasuk suaminya juga, Laksamana Mahmuddin bin Said Al Latief. Setelah itulah timbul ide Malahayati, Komandan Protokol Istana Kerajaan Aceh Darussalam (1585-1604), untuk membentuk pasukan wanita Inong Bale dari janda-janda pahlawan tadi, agar dapat membalaskan kematian suaminya.
Sisa-sisa pangkalan Inong Bale ini masih ditemukan di desa Lamreh, Teluk Krueng Raya. Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Bale berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 21 Juni 1599. Dia berhasil menewaskan Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal dan menawan Federick de Houtman (van Zeggelen, 1935:157).
Setelah pertempuran ini Malahayati diangkat menjadi Laksamana. John Davids, nakhoda kapal Belanda berkebangsaan Inggris yang datang berkunjung pada masa Malahayati menjadi Laksamana, melaporkan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam memiliki 100 kapal perang, di antaranya dapat memuat 400-500 penumpang. Selain armada laut yang kuat ini masih ada lagi pasukan gajah di darat.
Banyak lagi catatan orang asing tentang Malahayati yang kehebatannya memimpin angkatan perang itu diakui oleh negara Eropa, Arab, Cina, dan India. Laksamana Malahayati juga seorang diplomat ulung, sehingga sering menjadi delegasi dalam perundingan-perundingan dengan pihak luar. Laksamana Malahayati berperanan penting dalam menurunkan Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607) dari tahta kekuasaan hingga naiknya Sultan Iskandar Muda di tahta kekuasaan (Lombard, 1986:128-129). Tidak jelas kapan Laksamana Malahayati meninggal, tetapi yang pasti itu terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Ratu Safiatuddin Syah (memerintah pada 1641-1675), yang memerintah selama 35 tahun, adalah puteri dari Sultan Iskandar Muda dari Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam urusan pemerintahan, dia membentuk dua lembaga pemerintahan, yaitu Balai Laksamana (angkatan perang yang dikomandoi seorang laksamana) dan Balai Fardah (lembaga yang mengatur keuangan kerajaan serta pemungutan cukai dan pengeluaran mata uang).
Selain menyelenggarakan pemerintahan, sultanah membentuk tempat bermusyawarah, yaitu Balai Rungsari (lembaga terdiri dari 4 uleebalang besar Aceh), Balai Gadeng (beranggotakan 22 ulama besar Aceh), Balai Mejelis Mahkamah Rakyat (semacam DPR beranggotakan 73 orang mewakili daerah pemukiman dan sangat menarik oleh karena terdapat sejumlah wanita). Dia adalah seorang ratu besar yang sangat dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh negari asing: Belanda, Portugis, Inggris, India, dan Arab. Dia wafat pada 23 Oktober 1675.
Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah (memerintah pada 1765-1678) tidak lama memerintah menggantikan Ratu Safiatuddin Syah oleh karena cepat meninggal. Meskipun singkat, dia melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam. Desentralisasi dilakukan dengan membentuk Aceh menjadi 3 federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe) yang dipimpin oleh Panglima Sagi, sehingga terjadi otonomi daerah. Adat Meukuta Alam yang dirancang oleh Sultan iskandar Muda disempurnakan dan mata uang emas juga dikeluarkan.
Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (memerintah pada 1678-1688) memerintah menggatikan Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah hingga dia meninggal pada 3 Oktober 1688. Pada masa ini ratu menolak rencana Inggris yang hendak mendirikan benteng. Ratu juga menerima kedatangan tamu utusan Raja Syarif Barakat bernama El Hajj Yusuf E. Qodri. Utusan itu melaporkan kepada Raja Syarif Barakat bahwa betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Ratu Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat memeluk Islam sama halnya dengan dua ratu sebelumnya. Ratu ini juga mengeluarkan mata uang sendiri.
Ratu Kamalat Zainatuddin Syah (memerintah pada 1688-1699) naik tahta menggantikan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah yang meninggal. Pada masa pemerintahannya keadaan kerajaan terpecah diakibatkan oleh timbulnya perbedaan pendapat antara yang menginginkan pria duduk menjadi raja dan yang tetap menyetujui wanita duduk menjadi ratu. Sebelum dia turun tahta pada tahun 1699, ratu ini sempat menerima tamu dari persatuan dagang Perancis dan serikat dagang Inggris serta sempat mengeluarkan uang emas.
Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi (1752-1828) adalah Pahlawan Nasional Indonesia, anak dari Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah di Serang perbatasan Grobogan-Sragen. Dia menggantikan kedudukan ayahnya setelah meninggal, yang keturunan Sunan Kalijaga, sedang Ki Hajar Dewantara adalah keturunannya. Nyi Ageng Serang sudah pernah berperang melawan Belanda sebelum perang Diponegoro (1825-1830), sehingga kemudian hari dia menjadi penasehat perang dari Pangeran Diponegoro. Dia meninggal pada 1828 di usia 76 tahun dan dimakamkan di Kalibawang. Patungnya yang sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak didirikan di kota Wates.
Siti Aisyah We Tenriolle (memerintah pada 1855-1910) adalah ratu dari Tanette, Sulawesi Selatan yang ahli dalam pemerintahan dan mahir juga dalam kesusasteraan. B.F. Matthes, ahli sejarah Sulawesi Selatan dari Belanda, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio yang merupakan karya ratu Tanette ini. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka untuk anak laki-laki dan perempuan.
Marta Christina Tiahahu (1800-1818) adalah putri Kapitan Paulus Tiahahu dari Desa Abubu di Pulau Nusa Laut. Di usianya yang ke- 17 tahun mengangkat senjata bersama ayahnya membantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda. Dalam pertempuran sengit di Desa Ouw – Ullath Pulau Saparua, ayahnya berhasil ditawan Belanda dan menjalani hukuman tembak mati.
Dia terus bergerilya di hutan, namun berhasil tertangkap dalam keadaan kesehatannya terganggu. Dalam perjalanan ke pembuangan di Pulau Jawa, dia meninggal di kapal perang oleh karena tidak mau berobat dan tidak mau makan dalam keadaan sakit. Jasadnya dilepaskan dengan penghormatan militer (2/1-1818).
Cut Nyak Dhien (1848-1908), adalah isteri dari Teuku Umar yang memilih untuk melanjutkan perjuangan bersenjata setelah suaminya meninggal. Di masa tuanya yang sudah rabun dia tetap di dalam hutan bergerilya dalam kejaran pasukan Belanda. Dalam kondisi tubuh sudah tua dan sakit serta rabun akhirnya Cut Nyak Dhien tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke Sumedang pada tahun 1906. Di sana dia meninggal pada tahun 1908.
Teungku Fakinah (1856-1938) adalah seorang wanita ulama besar yang menjadi pahlawan memimpin sebuah kesatuan dalam perang Aceh dan setelah perang usai dia mendirikan Pusat Pendidikan Islam yang bernama Dayah Lam Biran. Teungku Fakinah telah menjadi janda setelah suaminya gugur di medan perang. Sejak itulah dia membentuk badan sosial dengan menggerakkan janda-janda dan wanita-wanita untuk mengumpulkan sumbangan rakyat berupa padi dan uang sebagai perbekalan peperangan.
Sedang bagi anggota yang tinggal di tempat, maka kerjanya mempersiapkan makanan bagi orang-orang yang datang untuk membantu perang dan menuangkan timah untuk peluru senapan. Semuanya pekerjaan itu di bawah pimpinan Teungku Fakinah, sedang dia sendiri mendatangi rumah-rumah orang besar dan kaya untuk meminta zakat dalam rangka membantu peperangan Aceh yang sedang berkecamuk. Sementara itu di Lam Krak didirikan 4 buah benteng di bawah komando Teungku Fakinah.
Dia kenal baik dengan Cut Nyak Dhien dan Cutpo Fatimah. Sejak hancurnya benteng pertahanan yang berada di bawah komandonya disertai gugurnya suami keduanya, maka dia bergerilya bersama ibu dari Panglima Polim. Atas permintaan Panglima Polim supaya Teungku Fakinah pulang kenbali ke kampung halaman untuk membuka kembali pesantren di Lam Krak. Pada tahun 1911, Teungku Fakinah pulang ke Lam Krak dan membuka kembali pesantren. Dalam pembangunan kembali pesantren ini banyak masyarakat yang memberikan sumbangannya, sehingga pembangunan berjalan lancar. Banyak janda-janda dan gadis-gadis berdatangan dari berbagai penjuru Aceh untuk belajar mengaji ke sana. Dalam usianya yang ke 75 tahun, Teungku Fakinah menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1938.
Cut Meutiah (1870-1910), anak Teuku Ben Daud, uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Bersama ayahnya dan suaminya, dia berperang melawan Belanda. Sampai akhirnya dia ditemukan Belanda, tetapi tetap tidak mau menyerah hingga akhirnya dia gugur dengan peluru Belanda di kepala dan tubuhnya pada 25 Oktober 1910.
Cutpo Fatimah (18..-1912), teman seperjuangan Cut Meutia dan puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie. Cutpo Fatimah juga merupakan rekan dari Teungku Fakinah sewaktu bersama-sama membangun benteng pertahanan di Lam Krak. Bersama suaminya, Teungku Di Barat, melanjutkan perang setelah Cut Meutiah gugur pada tahun 1910. Dalam pertempuran pada tanggal 22 Pebruari 1912, Cutpo Fatimah gugur bersama suaminya dengan bertindih.
Pocut Meurah Intan (1873-1937) adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan kesultanan Aceh. Suaminya juga merupakan anggota keluarga Sultan Aceh dan memperolah 3 orang putera. Kemudian hari suaminya menyerah kepada Belanda, dia bercerai dari suaminya dan mengajak ketiga anaknya untuk terus berperang, sehingga anak pertama dan bungsunya dikenal sebagai pemimpin utama pergerakan. Pada tahun 1900, putra tertuanya tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke Tondano, Sulut. Sedang Pocut Meurah berhasil ditangkap Belanda pada tahun 1902 dan keadaan terluka parah. Setelah sembuh dia dimasukkan ke dalam penjara bersama putra keduanya. Pada tahun 1905 putra bungsunya berhasil ditangkap Belanda dan pada tahun itu juga mereka bertiga dibuang ke Blora, Jawa. Pocut Meurah Intan meninggal pada 19 September 1937.
Pocut Baren (18..-1928) adalah seorang pahlawan dan ulama wanita dari Aceh. Selain menjadi panglima perang menggantikan suaminya yang gugur di medan pertempuran, ia pun menjadi uleebalang daerah Gume menggantikan suaminya juga. Sejak muda ia terjun ke kancah pertempuran dan ikut bergerilya bersama pasukan yang dipimpin Cut Nyak Dhien. Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910 dan terus melanjutkan perjuangan meskipun Cut Nyak Dhien sudah tertangkap.
Dia tertangkap dalam pengepungan terhadap gua di Gunong Mancang, karena kakinya terluka tembak. Dia dibawa Belanda ke Kutaraja dan kakinya membusuk, sehingga diamputasi dan kemudian hari dikembalikan ke kampung halamannya di Tungkop. Meskipun demikian, dia tetap menyemangati para pengikutnya melalui syair dan pantunnya, agar tetap bersemangat melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Sebagai uleebalang, dia menggerakkan rakyatnya untuk menghidupkan kembali lahan-lahan untuk digarap dan menanaminya dengan berbagai tumbuhan yang menghasilkan. Saluran irigasi pun dibangun untuk mengairi sawah-sawah penduduk. Saat panen daerah Tungkop mengalami surplus pertanian, sehingga sebagian hasilnya dapat dikirim ke daerah lain. Pocut Baren bukan hanya pandai berperang, tetapi dia juga adalah ulama wanita dan berhasil membangun perekenomian rakyatnya. Dalam kecacatannya dia tetap bersemangat untuk terus berjuang hingga akhir hayatnya. Pocut Baren meninggal 12 Maret 1928.
Maria Walanda Maramis (1872-1924), adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang turut berjuang meningkatkan keadaan wanita di Indonesia. Maria lahir di Kema, dekat Airmadidi dari suami-isteri Maramis dan Sarah Rotinsulu. Mereka 3 bersaudara dan dia saudara kandung dari Andries Maramis. Maria sudah yatim-piatu di usia 6 tahuh, sehingga mereka diasuh oleh pamannya di Maumbi dan dimasukkan ke Sekolah Melayu di sana. Setelah menikah pada tahun 1890, Maria pun pindah dari Maumbi mengikuti suaminya ke Manado.
Pada awalnya Maria sering menulis opini di surat kabar setempat bernama Tjahaja Siang. Ia menulis pentingnya peranan ibu dalam keluarga di mana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya dan memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya. Pada 8 Juli 1917, Maria dibantu oleh suami dan teman-temannya mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) yang bertujuan untuk memberi pendidikan pada kaum perempuan tentang rumah tangga, misalnya memasak, menjahit, merawat bayi, dan sebagainya.
Pembentukan organisasi ini didasari pikiran Maria yang percaya bahwa perempuan adalah tiang keluarga di mana pada merekalah masa depan anak-anak bergantung. Pada tanggal 2 Juli 1918 di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT. Kemudian tumbuh cabang-cabang PIKAT di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, Airmadidi, Amurang, Pandano, Tomohon, Bolaang Mongondow, Sangir Talaud, Gorontalo, Poso, Donggala dan Motoling.
Cabang PIKAT juga terdapat di Jawa dan Kalimantan, yaitu di Batavia, Bandung, Bogor, Cimahi, Surabaya, Balikpapan, Sangu-sangu Dalam, Makassar, Magelang dan Kotaraja. Pada tahun 1932, PIKAT mendirikan Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen atau Sekolah Kejuruan Putri. Maria juga aktif mewujudkan cita-citanya supaya kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki.
Selain itu, Maria juga berjuang supaya perempuan diberi tempat dalam urusan politik, misalnya hak untuk memilih dan duduk dalam keanggotaan Dewan Kota atau Volksraad dan ini berhasil. Tanggal 1 Desember, tanggal kelahiran Maria, diperingati masyarakat Minahasa sebagai 'Hari Ibu Maria Walanda Maramis'. Patung Walanda Maramis dibangun juga di Komo, Manado.
Raden Ajeng Kartini (1879-1905) adalah anak ke-5 dari 11 anak bupati Jepara. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School), tetapi setelah itu dia dipingit di rumah saja. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda.
Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi. Dia juga banyak membaca koran Semarang dan paket majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri pada tanggal 12 November 1903. Kartini meninggal pada tahun 1904 setelah 4 hari melahirkan anaknya yang pertama. Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa.
Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Pada 1912, Sekolah Wanita didirikan oleh Yayasan kartini di Semarang dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Sekolah tersebut diberi nama Sekolah Kartini di bawah naungan Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh politik Etis.
Dewi Sartika (1884-1947) dilahirkan di Cicalengka, Bandung. Orangtuanya menyekolahkannya di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh pamannya dari ibu di Cicalengka. Dari pamannya, dia memperoleh pengetahuan tentang kebudayaan Sunda, sedang wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.
Dengan bantuan Bupati R.A. Martenagara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada 16 Januari 1904 Dewi Sartika berhasil membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Adapun tenaga pengajarnya yaitu: Dewi Sartika sendiri dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan).
Pada tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920 ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Pada September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi".
Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal di Tasikmalaya pada 11 September 1947.
Rohana Kudus (1884-1972) yang lahir di Koto Gadang adalah pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Dia adalah saudara tiri dari Sutan Syahrir dan maktuo dari Khairil Anwar serta saudara sepupu dari H. Agus Salim. Sewaktu ayahnya bertugas di Alahan Panjang, mereka bertetangga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya.
Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Dari isteri pejabat Belanda tetangganya, dia belajar menjahit, menyulam, merenda, dan merajut.
Darinya juga dia banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemarinya. Setelah menikah dengan Abdul Kudus, seorang notaris, dengan berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya, Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia.
Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda serta menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor.
Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan-pinjam dan jual-beli pertama yang anggotanya semua perempuan di Minangkabau.Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda, sehingga kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.
Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.
Di Bukittinggi, kemudian hari Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School” pada tahun1916. Di kota ini dia memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri.
Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa. Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.Pada masa revolusi fisik, saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi, Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda.
Rohana pun mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.Kemudian hari Rohana merantau ke Lubuk Pakam dan Medan, tetapi di sana dia tetap mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak.
Ketika Rohana kembali lagi ke Padang sekitar 3 tahun kemudian, dia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghow-Melayu dan surat kabar Cahaya Sumatera. Demikianlah Rohana Kudus menjalani 88 tahun hidupnya dengan beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Dia menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974) dan pada Hari Pers Nasional ke-3 tanggal 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama meskipun dia telah wafat pada 17 Agustus 1972 di Jakarta.
Penutup
Di atas telah dipaparkan tadi untuk mengangkat bahwa ternyata bukan hanya R.A. Kartini yang memperjuangkan kaumnya dan mereka bukan hanya berwacana-wacana melainkan telah mempratekkannya di dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, bukan hanya Kartini yang menjadi pahlawan wanita, tetapi masih banyak wanita lain menjadi pahlawan wanita yang membela kaumnya melalui praktek bahkan ada yang sudah menempatkan dirinya sebagai teladan dalam emansipasi wanita. Dengan demikian, bukan hanya Hari Kartini pada 21 April yang patut dirayakan, tetapi Hari Shima, Hari Malahayati, Hari Siti Aisyah, Hari Maria Christina, Hari Maria Walanda, Hari Rohana, dan Hari Dewi Sartika patut juga dirayakan seperti merayakan Hari Kartini. Akan tetapi, untuk menghindari banyaknya hari perayaan dan mengindari pengkultusan pribadi, maka cukuplah perayaan Hari Ibu pada 22 Desember itu yang dirayakan untuk mengenang perjuangan mereka semuanya (Catatan: Dari berbagai sumber).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H