Laksamana Malahayati (hidup diakhir abad XVI-XVI) menjadi Panglima angkatan perang Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604) setelah keberhasilannya memimpin pasukan wanita. Ini berawal dari pertempuran pasukan Aceh menyerang armada Portugis hingga hancur, tapi banyak pasukan Aceh yang gugur termasuk suaminya juga, Laksamana Mahmuddin bin Said Al Latief. Setelah itulah timbul ide Malahayati, Komandan Protokol Istana Kerajaan Aceh Darussalam (1585-1604), untuk membentuk pasukan wanita Inong Bale dari janda-janda pahlawan tadi, agar dapat membalaskan kematian suaminya.Â
Sisa-sisa pangkalan Inong Bale ini masih ditemukan di desa Lamreh, Teluk Krueng Raya. Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Bale berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 21 Juni 1599. Dia berhasil menewaskan Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal dan menawan Federick de Houtman (van Zeggelen, 1935:157).Â
Setelah pertempuran ini Malahayati diangkat menjadi Laksamana. John Davids, nakhoda kapal Belanda berkebangsaan Inggris yang datang berkunjung pada masa Malahayati menjadi Laksamana, melaporkan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam memiliki 100 kapal perang, di antaranya dapat memuat 400-500 penumpang. Selain armada laut yang kuat ini masih ada lagi pasukan gajah di darat.Â
Banyak lagi catatan orang asing tentang Malahayati yang kehebatannya memimpin angkatan perang itu diakui oleh negara Eropa, Arab, Cina, dan India. Laksamana Malahayati juga seorang diplomat ulung, sehingga sering menjadi delegasi dalam perundingan-perundingan dengan pihak luar. Laksamana Malahayati berperanan penting dalam menurunkan Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607) dari tahta kekuasaan hingga naiknya Sultan Iskandar Muda di tahta kekuasaan (Lombard, 1986:128-129). Tidak jelas kapan Laksamana Malahayati meninggal, tetapi yang pasti itu terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Ratu Safiatuddin Syah (memerintah pada 1641-1675), yang memerintah selama 35 tahun, adalah puteri dari Sultan Iskandar Muda dari Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam urusan pemerintahan, dia membentuk dua lembaga pemerintahan, yaitu Balai Laksamana (angkatan perang yang dikomandoi seorang laksamana) dan Balai Fardah (lembaga yang mengatur keuangan kerajaan serta pemungutan cukai dan pengeluaran mata uang).Â
Selain menyelenggarakan pemerintahan, sultanah membentuk tempat bermusyawarah, yaitu Balai Rungsari (lembaga terdiri dari 4 uleebalang besar Aceh), Balai Gadeng (beranggotakan 22 ulama besar Aceh), Balai Mejelis Mahkamah Rakyat (semacam DPR beranggotakan 73 orang mewakili daerah pemukiman dan sangat menarik oleh karena terdapat sejumlah wanita). Dia adalah seorang ratu besar yang sangat dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh negari asing: Belanda, Portugis, Inggris, India, dan Arab. Dia wafat pada 23 Oktober 1675.
Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah (memerintah pada 1765-1678) tidak lama memerintah menggantikan Ratu Safiatuddin Syah oleh karena cepat meninggal. Meskipun singkat, dia melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam. Desentralisasi dilakukan dengan membentuk Aceh menjadi 3 federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe) yang dipimpin oleh Panglima Sagi, sehingga terjadi otonomi daerah. Adat Meukuta Alam yang dirancang oleh Sultan iskandar Muda disempurnakan dan mata uang emas juga dikeluarkan.
Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (memerintah pada 1678-1688) memerintah menggatikan Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah hingga dia meninggal pada 3 Oktober 1688. Pada masa ini ratu menolak rencana Inggris yang hendak mendirikan benteng. Ratu juga menerima kedatangan tamu utusan Raja Syarif Barakat bernama El Hajj Yusuf E. Qodri. Utusan itu melaporkan kepada Raja Syarif Barakat bahwa betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Ratu Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat memeluk Islam sama halnya dengan dua ratu sebelumnya. Ratu ini juga mengeluarkan mata uang sendiri.
Ratu Kamalat Zainatuddin Syah (memerintah pada 1688-1699) naik tahta menggantikan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah yang meninggal. Pada masa pemerintahannya keadaan kerajaan terpecah diakibatkan oleh timbulnya perbedaan pendapat antara yang menginginkan pria duduk menjadi raja dan yang tetap menyetujui wanita duduk menjadi ratu. Sebelum dia turun tahta pada tahun 1699, ratu ini sempat menerima tamu dari persatuan dagang Perancis dan serikat dagang Inggris serta sempat mengeluarkan uang emas.
Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi (1752-1828) adalah Pahlawan Nasional Indonesia, anak dari Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah di Serang perbatasan Grobogan-Sragen. Dia menggantikan kedudukan ayahnya setelah meninggal, yang keturunan Sunan Kalijaga, sedang Ki Hajar Dewantara adalah keturunannya. Nyi Ageng Serang sudah pernah berperang melawan Belanda sebelum perang Diponegoro (1825-1830), sehingga kemudian hari dia menjadi penasehat perang dari Pangeran Diponegoro. Dia meninggal pada 1828 di usia 76 tahun dan dimakamkan di Kalibawang. Patungnya yang sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak didirikan di kota Wates.
Siti Aisyah We Tenriolle (memerintah pada 1855-1910) adalah ratu dari Tanette, Sulawesi Selatan yang ahli dalam pemerintahan dan mahir juga dalam kesusasteraan. B.F. Matthes, ahli sejarah Sulawesi Selatan dari Belanda, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio yang merupakan karya ratu Tanette ini. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka untuk anak laki-laki dan perempuan.