Mohon tunggu...
Eduard Salvatore da Silva
Eduard Salvatore da Silva Mohon Tunggu... -

Aku adalah pena dari sang penanya segala sesuatu yang ada di sekitarku. Eduard Salvatore da Silva, lahir di Jakarta, 4 Mei 1991. Pria yang akrab dipanggil Edu ini menyelesaikan pendidikan dasarnya di Jakarta. Saat ini ia sedang menjalani pendidikan sarjananya (S1) di Program Studi Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Semester VII, sebagai bagian dari formasi menjadi calon imam Katolik. Penulis terhitung aktif menulis artikel-artikel, berita kegiatan, kisah inspiratif, serta surat pembaca dalam berbagai majalah dan surat kabar (Majalah Mingguan Katolik HIDUP, surat pembaca Koran Suara Pembaruan, Klasika Kompas) dan majalah internal sekolah dan institusi. Penulis juga pernah mengikuti beberapa lomba menulis sejak di bangku Sekolah Menengah Atas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggagas Revolusi Mental di Dunia Pendidikan Indonesia: Rintisan Mendidik Para (Calon) Pendidik

28 September 2015   10:49 Diperbarui: 28 September 2015   12:26 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                       [caption caption="www.bestsatelliteproviders.com"]

  1. Selayang Pandang Dunia Pendidikan dan Problematikanya

Pendidikan adalah fenomena utama yang dialami manusia dalam hidupnya, dimana orang orang yang telah dewasa membantu perkembangan dan pertumbuhan peserta didik (yang belum dewasa) untuk tumbuh menjadi dewasa dan berkeutamaan.[1] Ki Hajar Dewantara, Bapa Pendidikan Nasional Indonesia pernah mengungkapkan bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang memiliki keutamaan-keutamaan, seperti ketertiban, kedamaian, kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan. Semua ini diperlukan untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang kondusif, tempat terselenggaranya kehidupan dan pergaulan yang wajar. Oleh karena itu, perlu ditinjau sejauh mana peran dunia pendidikan dalam mewujudkan ekspektasi itu.

Memang sejatinya pendidikan terjadi di segala waktu, segala kondisi dan dijalankan oleh siapapun, karena dimana ada kehidupan di situ ada pendidikan. Namun, disadari bahwa sesungguhnya tidak ada suatu kegiatan pun yang secara tersendiri (an sich) yang bisa dikatakan sebagai perbuatan mendidik (berbeda ketika kita menyebut kata ”makan”, ”minum”, ”kerja” yang memang teridentifikasi sebagai kegiatan spesifik/tertentu). Maka suatu perbuatan tertentu bisa dikatakan sebagai perbuatan mendidik sejauh dimaksudkan demikian (intensional) oleh sang pendidik itu sendiri demi pendewasaan diri orang yang hendak dididik.[2] Dari sini dapat disimak bahwa peran pendidik dalam proses pendidikan itu sendiri tentu tak bisa disepelekan.

Pada kesempatan ini, penulis hendak merefleksikan peran pendidik, khususnya dalam konteks pendidikan formal (guru, dosen, dsb.) dalam mewujudkan aktivitas eksistensial-nya tersebut. Peran para guru yang membaktikan diri dengan penuh dedikasi dan loyalitas sudah selayaknya diganjar dengan penghargaan yang pantas berupa kesejahteraan. Namun, perubahan alam pikiran zaman modern menyajikan perspektif lain, dimana tindakan mendidik dilakukan semata-mata untuk menerima upah dan menumpuk keuntungan bagi diri sang pendidik (profitasi). Jika demikian, sesungguhnya mereka telah mengkhianati hakikat profesinya yang digali dari eksistensinya sendiri sebagai manusia. Penulis tentu tidak hendak menghakimi bahwa fenomena guru di zaman modern ini, khususnya dalam konteks Indonesia secara keseluruhan sudah bercorak profitasi. Buktinya masih banyak guru yang berdedikasi kendati mereka belum bisa dikatakan sejahtera. Tulisan ini hendak menyajikan perspektif alternatif dan preventif untuk menghalau kebinasaan kemurnian motivasi dan loyalitas profesi guru yang hendak mewujudkan impian bersama masyarakat Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa yang tercermin dalam amanat Pembukan UUD 1945 § 4.

Maka dalam proses refleksi filosofis ini, penulis hendak menyajikan proses penerapan revolusi mental pendidikan Indonesia yang dimulai dengan menyibak potret guru sebagai profesi dalam konteks Indonesia beserta standar dan kualifikasi profesi yang menyertainya. Selanjutnya, penulis hendak mengamati wajah pendidikan Indonesia di tengah tantangan komodifikasi pendidikan yang menjanjikan kemapanan profesi guru, mencari ”kenyamanan dan kesejahteraan” di dalamnya, yang sayangnya juga bisa mengesampingkan loyalitas dan semangat pengabdian mendidik yang merupakan tindakan eksistensialnya. Di tengah carut-marut ancaman mental profitasi ini, penulis hendak mengetengahkan perspektif sosok Nicolaus Driyarkara[3] yang menyajikan konsep pendidikan sebagai aktivitas fundamental dan eksistensial manusia yang seyogyanya menjadi landasan pengabdian tulus seorang guru dalam profesinya. Dalam bagian akhir, barulah penulis menawarkan sebentuk aplikasi alternatif wacana Revolusi Mental[4], khususnya dalam konteks revolusi pendidikan yang dimulai pertama-tama dari perombakan mentalitas para pendidik. Mereka inilah yang nantinya menjadi figur penting penopang kemajuan generasi muda yang mereka didik di masa kini guna merangkai masa depan bangsa yang lebih baik.

  1. Menilik Rekam Jejak Profesi Keguruan di Indonesia

Dewasa ini, orang sepintas memahami bahwa mengajar/mendidik adalah sebuah profesi. Namun sesungguhnya, ada kualifikasi-kualifikasi tertentu yang menjadi prasyarat suatu pekerjaan bisa disebut sebagai profesi. Dalam konteks jabatan guru, setidaknya dikenal kriteria National Education Association (NEA-1948)[5] yang memaparkan prasyarat profesionalitas guru dengan kualifikasi berikut; Pertama, jabatan tersebut melibatkan kegiatan intelektual, yang tentunya jelas sekali terpenuhi dalam pekerjaan guru mendidik. Kedua, jabatan menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus. Profesi pendidik tentu mengandaikan penguasaan khusus di cabang/bidang ilmu tertentu sebagai persiapan bahan yang diajarkan kepada peserta didik. Ketiga, Jabatan memerlukan persiapan profesional berjangka waktu. Dalam hal ini, para pendidik tentu mengeyam pendidikan yang menjadi dasar pengajarannya. Keempat, jabatan memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan. Peningkatan kualitas guru secara berjenjang terus diupayakan (seperti penyetaraan D-II untk guru SD, D-III untuk guru SMP, dsb.) meloloskan pendidik dari kualifikasi ini.

Kelima, jabatan menjanjikan karier hidup dan keanggotaan permanen. Dalam kriteria ini, memang masih bisa terjadi perdebatan mengenai apakah profesi guru sudah menjanjikan hidup seseorang mapan dan layak atau tidak. Namun, setidaknya dalam konteks Indonesia, stabilitas karir guru yang tidak beralih ke pekerjaan lain masih terjaga, sejujurnya juga karena mereka tidak punya banyak pilihan. Keenam, jabatan yang menentukan bakunya sendiri, diindikasikan dalam kemampuan membuat keputusan profesional berhubungan dengan iklim kerjanya. Ketujuh, jabatan yang mementingkan layanan publik di atas keuntungan pribadi. Jabatan guru senantiasa diyakani memiliki nilai sosial yang tinggi dalam mempengaruhi kehidupan yang lebih baik bagi warga negara masa depan. Kedelapan, jabatan yang mempunyai organiasi profesional yang kuat. Keberadaan Persatuan Guru Nasional atau Ikatan Sarjana menjadi bukti keabsahan guru sebagai profesi.      

Bertolak dari semua uraian di atas, guru bisa dipandang sebagai sebuah status profesional yang mengandaikan kualifikasi tertentu yang sudah selayaknya dimiliki pejabatnya.[6] Dalam sejarah perkembangan profesi keguruan di Indonesia, diungkapkan bahwa guru-guru Indonesia awalnya diangkat dari orang-orang yang tidak berpendidikan (formal), baru berlanjut pada guru-guru lulusan Kweekschol[7] dan sekolah lanjutan lain (Hollands Inlande School, Hogere Burgeschool, dll.), bentukan pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini terus berlanjut juga di zaman pendudukan Jepang dengan peningkatan kualifikasi dan sistematisi jenjangnya. Dinamika ini terus berjalan, hingga kini di Indonesia sudah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang mewadahi organisasi guru serta mempunyai wakil di DPR/MPR untuk mengurusi berbagai kepentingan profesi ini. Namun, semua itu tidak niscaya menjamin posisi guru sebagai jabatan profesional yang matang dengan hak-hak yang terlindungi dari segi profesional, kesejahteraan serta statusnya dalam masyarakat.

Memang dalam sejarah pendidikan guru di Indonesia, para pendidik ini pernah memiliki status yang amat tinggi dalam masyarakat. Mereka tak hanya mendidik anak di depan kelas, tetapi juga mendidik masyarakat, hingga menjadi narasumber solusi pada (hampir) setiap masalah pribadi maupun sosial masyarakat (tradisional khususnya).[8] Namun seiring kemajuan zaman (sains dan teknologi), kewibawaan profesi ini pun dirasa mulai luntur. Fokus perhatian guru terkait imbalan atau balas jasa, bukan pada pengabdian dan loyalitas menggerus kepercayaan dan respek masyarakat terhadapnya. Perkembangan pendidikan intelektual masyarakat sendiri juga menurunkan kapabilitas guru menjadi aktor utama dan tunggal dalam mendidik. Selain itu, keberadaan profesi lain yang lebih menjanjikan secara ekonomis membuat kesan bahwa profesi guru kalah bergengsi.

  1. Wajah Pendidikan Indonesia di Tengah Ancaman Komodifikasi Pendidikan.

Dalam teori ilmu sosial, fenomena spesialisasi profesi disinyalir menjadi karakteristik masyarakat modern. Maka segala perangkat yang ada di dalamnya juga terkondisikan untuk membantu individu mengembangkan diri (dalam pelatihan dan pendidikan) sehingga memiliki kompetensi serta etika profesionalnya (professional ethics). Berbagai pandangan para ahli berusaha menyajikan perspektif berbeda dalam mendefinisikan konsep profesi dalam masyarakat modern ini.

Salah satunya sosiolog Max Weber, yang memprediksi bahwa karakter masyarakat modern akan nampak pada pembagian tugas seseorang secara tersendiri (spesialisasi) dengan keterampilan ilmiahnya yang khusus dan memadai. Hal ini nampak dalam fenomena segmentasi masyarakat berdasarkan pekerjaannya.[9] Tentu fenomena ini bisa bermakna positif ketika spesialisasi pekerjaan akan memaksimalkan keahlian seseorang di bidang tertentu. Masalah baru muncul ketika profesi dipandang sebagai kelompok terorganisir yang bertujuan hanya untuk memenuhi kepentingan diri mereka semata (self interest dari sang profesional) dengan mengesampingkan motif pelayanan kepada publik/masyarakat sebagai keseluruhan.[10]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun