Mohon tunggu...
Edo Media
Edo Media Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Calon Komisioner KPI Pilihan Pansel, Sahkah?

30 Juni 2016   09:22 Diperbarui: 30 Juni 2016   13:24 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panitia seleksi (Pansel) bentukan Kementrian Komunikasi dan Informasi akhirnya menyodorkan 27 nama calon anggota Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPI) ke Komisi I DPR. Nama-nama tersebut diseleksi dari 201 nama yang lolos dari proses seleksi administrasi atau dari 689 pendaftar. Namun apa yang dilakukan Pansel KPI bentukan Kominfo ini telah mengindahkan konstitusi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kenapa?

Pasalnya, baik secara kelembagaan maupun dalam due proses penyelenggaraan seleksi, banyak hal masih dipertanyakan dan diragukan keabsahan dan legitimasinya.

Banyak amanah Undang-Undang Penyiaran dan aturan yang ditabrak. Bahkan jika melihat proses seleksi sejak awal banyak keganjilan dan mengundang pertanyaan besar. Ketidaktransparan Pansel KPI dalam melakukan proses seleksi memang kemudian menimbulkan dugaan kecurigaan bahwa penyelenggaraan proses seleksi anggota KPI ini sudah disusupi agenda terselubung dari kepentingan besar dibaliknya.

Pertama, pelanggaran soal kelembagaan. Pansel KPI kali ini bentukan Kominfo dan independensinya masih diragukan. KPI sebagai lembaga independen, seleksi calon anggotanya seharusnya dilakukan secara independen pula. Dimana, Pansel KPI harus diusulkan Presiden Joko Widodo dan mendapatkan persetujuan dari DPR sebagaimana lazim dilakukan terhadap Komisi lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Bukan dibentuk oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi secara sepihak dan tidak transparan. Tiba-tiba muncul nama-nama Pansel tanpa diketahui bagaimana proses awalnya memilih anggota Pansel.

Kedua, pelanggaran due proses. Banyak pelanggaran dalam proses seleksi yang jauh bertentangan dengan amanah UU Nomor 32 tahun 2002. Diantaranya, seorang calon anggota KPI harus mendapatkan dukungan dari unsur masyarakat atau organisasi masyarakat. Namun dalam proses seleksi kali ini Pansel KPI bentukan Kominfo mengindahkan salah satu syarat penting tersebut dan justru meninggalkan peran serta masyarakat untuk turut serta mengusulkan nama calon.

Masih banyak lagi hal-hal lain yang memang belum memenuhi unsur juridis sesuai amanah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Berikut ini beberapa hal yang menjadi poin dari pendapat tersebut.

Pasal  1  tentang  ketentuan  umum  UU  No.  32  tahun  2002 mendefinisikan KPI sebagai berikut, “Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran”

Sementara “untuk pertama kalinya pengusulan anggota KPI diajukan oleh pemerintah atas usulan  masyarakat  kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam pasal 61 ayat (2) ketentuan penutup UU Nomor 32 tahun 2002. Frasa “untuk pertama  kalinya” mengandung makna bahwa “pengusulan anggota KPI berikutnya tidak lagi melalui pemerintah”.

Pasal 61 ayat (2) Ketentuan Penutup UU No. 32 tahun 2002 akan memastikan independensi KPI dan memastikan juga KPI sebagai perwujudan peran  serta masyarakat di bidang penyiaran.

KPI adalah lembaga negara  yang  bersifat  independen,  bukan  lembaga  non-struktural  di bawah Kementrian Komunikasi dan Informasi RI. Namun pada kenyataannya lembaga setingkat kementrian ini yang melakukan seleksi anggota KPI seperti melakukan rekruitmen layaknya job seeker. Hal itu bisa dilihat dari proses seleksi yang ditempatkan dalam halaman depan seleksi online.

Sistem  ini  disediakan  sebagai  sarana  publik  untuk  sumber  informasi  dan  kontrol masyarakat  terkait  dengan sistem seleksi  lembaga-lembaga non-struktural  di bawah Kominfo RI. Bagi para kandidat anggota lembaga, sistem ini sekaligus sebagai sarana untuk mengikuti proses penjaringan dan penentuan anggota lembaga secara online”.  

Padahal menyerahkan seleksi calon anggota KPI pusat kepada pemerintah merupakan pengingkaran terhadap pasal 10 ayat (1) dan (2) dan pasal 62 ayat (1) UU Nomor  32  tahun  2002  tentang  penyiaran.  

Bukan  hanya  itu,  tindakan  tersebut juga bisa dimaknai meletakkan posisi KPI yang sebelumnya adalah lembaga negara independen kini di bawah otoritas pemerintah. Jika itu yang terjadi, maka pengingkaran terhadap  UU  No.  32  tahun  2002  bukan hanya pasal-pasal  yang  terkait  dengan  pemilihan anggota KPI melainkan pengingkaran terhadap keseluruhan UU Penyiaran.

Ada 689 (enam  ratus delapan puluh sembilan) orang yang melamar atau yang diusulkan oleh masyarakat untuk  menjadi calon anggota KPI Pusat  periode  2016-2019. Sekarang DPR  RI menerima 27 nama yang akan diuji kepatutan dan kelayakannya. Jika undang-undang No. 32 tahun 2002 memberi kesempatan pada DPR untuk memilih  9  orang  dari  689  orang,  maka  sekarang  dewan  yang  terhormat hanya  bisa  memilih  9  orang  dari  27  orang  yang diberikan  oleh  panitia  seleksi.  Benarkah demikian? Tentu tidak, panitia seleksi hanya mendapatkan mandat dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (itu pun jika proses pemberian mandatnya benar), DPR RI masih bisa kembali pada pasal 10 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2002.

Hal lain yang menggambarkan pengingkaran Pansel KPI terhadap UU Penyiaran adalah penambahan  syarat  yang  ditetapkan oleh panitia  seleksi  tentang  batas umur  30-60 tahun. Syarat ini sebenarnya tidak diatur pasal 10 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2002. Hal ini bukanlah persoalan sederhana. Hal tersebut telah melanggar hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 sekurang-kurangnya pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 28D ayat (1)

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum

Pasal 28D ayat (3)  

Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pasal 28I ayat (2)  

Setiap orang bebas dari perlakuan  yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Pasal 28I ayat (4)

Perlindungan,  pemajuan,  penegakan,  dan  pemenuhan  hak  asasi  manusia  adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah

Pasal 28J ayat (1)

Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Oleh karena itu memilih calon nahkoda KPI harus juga mempertimbangkan peran dari lembaga ini sebagai lembaga negara yang bersifat independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran, serta merupakan wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi dan mewakili kepentingan masyarakat.

Namun dalam proses seleksi Anggota KPI Pusat Periode 2016-2019 ada beberapa hal diindahkan. Diantaranya, Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagaan.

Peraturan KPI ini merupakan implementasi dari pasal 9 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya;

Pasal 10 ayat (2) mengatur bahwa anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.

Selain itu UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran tidak mengenal tentang Panitia Seleksi Anggota KPI. Namun dalam pelaksanaannya baik DPR RI maupun DPRD Provinsi umumnya meminta KPI membentuk Panitia Seleksi Administrasi karena berdasarkan Pasal 61 Ayat (2) UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, “untuk pertama kalinya anggota KPI diajukan oleh Pemerintah atas usulan masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.  Hal tersebut untuk menegaskan posisi kelembagaan KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen;

Makna dari pasal ini sebenarnya untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum terkait Panitia Seleksi. Maka KPI mengaturnya dalam Peraturan KPI No. 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagaan KPI (Berita Negara Tahun 2014 Nomor 65)  mengingat bahwa yang berhak memilih anggota KPI adalah DPR/DPRD.

Dan panitia seleksi dalam Peraturan KPI No. 01/P/KPI/07/2014 pasal 13 ayat (5) hanya diberikan kewenangan untuk melakukan pemeringkatan (ranking) terhadap seluruh peserta seleksi untuk menghormati hak prerogatif DPR/DPRD serta menjamin hak konstitusional peserta seleksi yang seharusnya merupakan keputusan DPR/DPRD melalui uji kepatuhan dan kelayakan oleh DPR/DPRD.

Terkait proses seleksi calon dari incumbent (petahana) diatur dalam pasal 13 ayat (8) Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagan KPI bahwa “calon incumbent (petahana) yang lolos seleksi administrasi tidak melalui proses uji kompetensi, tetapi langsung mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI”.

Ketentuan tersebut didasari oleh sejumlah pertimbangan sebagai berikut:

a. Calon dari petahana di periode sebelumnya telah melalui proses seleksi dan dinilai telah memiliki kompetensi selama menjabat sebagai anggota KPI, terutama untuk menghormati hasil keputusan DPR/DPRD yang telah memilih petahana dalam proses uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka sebelumnya;

b. Dalam pasal 9 ayat (3) UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

c. Dan dalam pasal 10 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan, anggota KPI Pusat dipilih oleh DPR RI atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.

d. Berdasarkan kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa komisioner incumbent yang berkeinginan dipilih kembali menjadi anggota KPI Pusat periode berikutnya, setelah secara administratif memenuhi kriteria persyaratan sesuai ketentuan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran maka yang bersangkutan hanya dapat disetujui untuk dapat dipilih dan/atau tidak dipilih kembali oleh DPR melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka;

Berdasarkan catatan yang ada, proses seleksi anggota KPI Pusat dari calon incumbent untuk periode 2007–2010, periode 2010-2013 dan periode 2013-2016, semua calon incumbent disetujui untuk dapat dipilih dan/atau tidak dapat dipilih kembali menjadi anggota KPI Pusat hanya oleh DPR RI setelah melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.

Namun anehnya baru kali ini terjadi proses seleksi anggota KPI Pusat di periode 2016-2019 yang mana calon incumbent disetujui dan / atau tidak disetujui dipilih kembali melalui test assesmen psikologis oleh Tim Seleksi.

Jika ada calon yang diusulkan oleh masyarakat namun tidak diuji  kepatutan  oleh  DPR  berarti  telah mengabaikan "satu-satunya pasal tentang tata cara pemilihan anggota KPI yang diatur dalam UU Penyiaran." 

Penyimpangan terhadap tata cara pemilihan tersebut tidak hanya bertentangan dengan UU Penyiaran  tetapi  juga  mengabaikan hak konstitusional warga negara  dan  masyarakat  untuk  turut  menentukan pencalonan  anggta  KPI  sebagai lembaga yang mewadahi kepentingan  masyarakat  dalam  dunia  penyiaran.

Apakah proses seleksi yang dilakukan Pansel KPI bentukan Kominfo sudah benar? Apakah kerja panitia seleksi juga sudah sesuai dengan amanat undang-undang penyiaran? Apakah ada calon atas usulan masyarakat?

Karena ada calon  yang  dalam setiap tahapan sangat memenuhi syarat administrasi dan integritas yang ditunjukkan dengan adanya surat pernyataan dukungan dari masyarakat, surat keterangan clean dari PPATK, dan makalah  pribadi. Dimana semua persyaratan itu telah dinyatakan  baik, namun justru digugurkan oleh asesment psikologis. Ini sebuah penilaian subyektif untuk menggagalkan calon yang bukan dari "kelompoknya". Sebab diduga ada calon yang semua tahapan dinyatakan tidak baik tetapi tetap dinyatakan lolos sampai saat ini.

Jadi jika melihat paparan diatas kami berharap Komisi I DPR lebih waspada dan lebih kritis dalam menerima 27 nama calon KPI yang disodorkan oleh Pansel Kominfo. Jangan sampai nama-nama yang disodorkan tersebut justru akan merugikan kepentingan perlindungan publik dari stakeholder penyiaran atau kelompok tertentu yang berafiliasi dengan ideologi atau warna politik tertentu untuk menguasai penyiaran dan opini di Indonesia.

Dan masih sangat terbuka bagi Komisi I DPR untuk menolak nama-nama tersebut karena DPR punya hak untuk menolak dan mengulang proses seleksi yang kurang transparan, kurang akuntabel dan penuh ketidakpatuhan terhadap proses hukum dan proses seleksi yang memenuhi amanah Undang-Undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun