Pada tanggal 13 Januari 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibawah pimpinan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, mendadak membuat heboh publik. Lembaga anti rasuah ini berani mengambil resiko besar dengan menetapkan calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka. Sebuah tantangan perang melawan kekuatan besar yang di kemudian hari akan menjadi pilihan Abraham dan BW: maju atau mati sekalian.
BG disangkakan menerima gratifikasi saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Mabes Polri 2003-2006, dan transaksi mencurigakan. Penetapan BG sebagai tersangka ini dilakukan sehari setelah BG ditetapkan sebagai calon tunggal Kapolri.
Para penyidik KPK menemukan dua alat bukti setelah melakukan penyelidikan sejak Juli 2014. Setidaknya sudah dua kali Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyampaikan catatan tentang Budi Gunawan kepada pemerintah setelah PPATK menemukan sejumlah rekening mencurigakan di jajaran perwira Mabes Polri terkait lalu lintas transaksi keuangan 2005-2010.
Pada awalnya langkah KPK menetapkan BG sebagai tersangka ini tidak menimbulkan friksi dengan Polri. Karena Kapolri Jenderal Sutarman yang dikenal sebagai pemimpin visioner di tubuh Polri bersikap bijak dan netral. Menurut mantan ajudan Presiden Abdurahman Wahid ini, jika memang ada anak buahnya yang terlibat dugaan korupsi, beliau mempersilahkan KPK mengusut kasus tersebut dengan catatan dan syarat alat buktinya harus kuat dan harus baru (novum). Mengingat kasus rekening gendut Komjen Pol BG sudah ditangani Bareskrim Mabes Polri dan dianggap clear.
Namun kasus ini kemudian justru liar dan melebar ke ranah politik. Ada intervensi kuat dari istana untuk merombak jajaran petinggi di tubuh Polri. Entah ada kaitan atau tidak. Setelah itu muncul kejadian aneh, Kapolri Jenderal Sutarman yang seharusnya baru pensiun Oktober 2015 nanti diberhentikan dan diganti Plt Komjen Pol Badrodin Haiti. Kabareskrim juga diganti mendadak dari Komjen Pol Suhardi Alius kepada Irjen Pol Budi Waseso. Sejak itulah babak baru konflik Polri-KPK berawal.
Kejadian demi kejadian janggal penegakan hukum tiba-tiba mencuat di depan publik, entah siapakah sosok Mr XÂ yang merekayasa di baliknya. Tak berselang lama, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto tiba-tiba ditangkap dengan tuduhan kasus 5 tahun silam. BW saat menjadi pengacara bupati Kotawaringin Barat, dituduh mempengaruhi saksi yang menguntungkan kliennya, di Mahkamah Konstitusi.
Hubungan Polri dengan KPK pun memanas. Puluhan aktivis anti korupsi terus berdatangan untuk memberikan dukungan terhadap KPK.
Presiden Joko Widodo yang belum genap 3 bulan dipercaya rakyat memimpin negeri ini karena jargon kampanyenya sebagai pemimpin jujur dan sederhana, mulai diuji. Rakyat terus menunggu sikap Jokowi, apakah masih berpihak pada pemberantasan korupsi dan kebenaran ataukah sedang menyiapkan agenda lain. Harapan rakyat, Jokowi akan membuat langkah-langkah yang lebih mengapresiasi pemberantasan korupsi ketimbang mengelola konflik KPK-Polri.
Selama berhari-hari rakyat dengan sabar, sebagian penuh perasaan gemas menanti Presiden yang tak kunjung bersikap tegas. Sementara berbagai peristiwa janggal terus muncul dan cenderung "menyerang" KPK. Mulai dari penangkapan BW, kemudian penyebaran foto Abraham Samad dengan wanita, kemudian tokoh PDIP Hasto memunculkan isu Abraham Samad "bermain" politik, para pegawai KPK mengalami teror, Abraham Samad ditetapkan tersangka, hingga ancaman 21 penyidik KPK juga akan dijadikan tersangka.
Semua peristiwa yang oleh publik dipersepsikan sebagai kriminalisasi dan pelemahan KPK ini berlangsung secara sistematis dan massif. Rakyat menuntut Presiden segera menyelamatkan KPK karena selama ini dipercaya sebagai lembaga yang sangat kredibel. Namun sikap Presiden justru terkesan mengulur-ulur waktu. Entah siapa yang ditunggu Presiden sehingga ia sangat berhati-hati mengambil keputusan yang sebenarnya adalah hak prerogatif dia selaku kepala negara.
Sehingga dari hari ke hari, dalam kasus perseteruan KPK-Polri ini, kita merasakan sedang ada sebuah kekuatan besar berusaha mendesain dan merekayasa untuk menyingkirkan dua pejabat KPK yakni Bambang Widjojanto dan Abraham Samad dari KPK. Perlu diketahui, Samad dan BW adalah pimpinan KPK yang secara terbuka menyampaikan BG sebagai tersangka.
Setelah ditunggu-tunggu, Presiden Jokowi pada akhirnya mengambil putusan. Pada 18 Februari 2015 atau tepatnya 37 hari sejak kasus hubungan KPK-Polri ini memanas dan ramai menggelayuti publik.
Inilah putusan Jokowi :
1. Memberhentikan Komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi;
2. Sebagai gantinya mengangkat tiga orang pimpinan sementara KPK yaitu Taufiequrachman Ruki, Indrianto Seno Adji dan Johan Budi;
3. Membatalkan pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri dan menggantikannya kepada Komjen Pol Badrodin Haiti.
Apakah putusan Presiden ini sudah memenuhi rasa keadilan dalam perang melawan korupsi? Apakah putusan Jokowi ini mencerminkan sikapnya mendukung pemberantasan korupsi sesuai janji kampanyenya. Kita akan bisa merasakan kualitas seorang Jokowi soal komitmen pemberantasan korupsi, dibanding era Presiden SBY, dari putusan yang baru dilakukannya itu.
Putusan Presiden ini memang dianggap sebagian kalangan sudah bisa mengatasi kebuntuan komunikasi antara Polri dan KPK selama ini. Namun sejumlah pertanyaan besar masih terus mengganjal publik. Apakah komitmen Presiden untuk memerangi koruptor masih kuat sebagaimana janji beliau saat kampanye. Banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Pertama, soal masa depan KPK. Kita semua tahu dibawah pimpinan Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Busro Muqoddas, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain, KPK banyak menorehkan prestasi gemilang. Berbagai kasus korupsi besar berhasil diungkap dari mulai mafia korupsi di tubuh ESDM dan minerba, korupsi di Dirlantas Mabes Polri, hingga kasus dana haji. Tidak tanggung-tanggung, yang terseret sebagai tersangka banyak sejumlah menteri di era pemerintahan SBY yang masih aktif.
Namun prestasi KPK dibawah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto harus berakhir tragis. Kehebatan seorang Samad dan BW berani mengambil resiko saat menabuh genderang perang melawan mafia koruptor, harus kalah melawan kekuatan besar mereka. Samad dan BW justru dihancurkan reputasinya dan jatuh oleh "lawan" nya dengan kasus remeh temeh. Ini yang menjadi pertanyaan dan mengganjal publik terhadap pemerintahan era Jokowi. Kepada siapa Jokowi membela?
Bambang Widjojanto harus terbuang dari KPK hanya gara-gara kasus remeh. Saat dia menjadi pengacara kasus pilkada Kota Waringin Barat, menghadirkan saksi yang konon katanya memberi kesaksian palsu. Padahal penilaian kesaksian palsu itu harusnya menjadi ranah hakim di MK dan bukan orang berperkara yang kemudian melibatkan polisi untuk ikut menjadikan kasus pidana. Lawan BW lebih kuat dalam kewenangan.
Nasib serupa pun dialami Abraham Samad. Ia disingkirkan dari KPK lewat sebuah kasus pemalsuan dokumen identitas. Ada nama lain di KK nya. Sangat tragis dan amat disayangkan. Padahal kasus perbedaan data atau tuduhan pemalsuan dokumen kepada Samad, banyak juga terjadi pada hampir masyarakat Indonesia. Kita seringkali menemukan warga yang memiliki lebih dari satu KTP. Itu juga masuk pemalsuan data. Namun dianggap hal biasa.
Tak hanya Bambang dan Samad yang jadi target "kriminalisasi" pasca KPK menetapkan BG tersangka. Kini polisi mencari celah kesalahan penyidik KPK dengan berbagai cara. Polisi mulai mengungkit-ngungkit kepemilikan senjata 21 penyidik KPK sebagai kedaluwarsa. Sebagai sesama aparat penegak hukum yang berorientasi menyelamatkan negara dari kejahatan korupsi, polisi harusnya bekerjasama membantu kerja tim di KPK. Ini justru menganggap KPK adalah orang-orang yang harus dicari kesalahannya.
Aparat polisi sebagai lembaga yang menerbitkan dokumen kepemilikan senjata bukannya membantu penyidik KPK untuk memperbaharui dokumen kepemilikan senjata, namun justru akan menggunakan dokumen kadaluwarsa ini untuk memenjarakan 21 penyidik KPK.
Sungguh lucu dan tragis memang kita menyaksikan sandiwara kasus konflik KPK-Polri. Sangat nampak jelas ada sebuah kekuatan yang memanfaatkan kewenangan polisi untuk mencari celah dan mencari kesalahan orang-orang KPK.
Sehingga ketika KPK lumpuh, harapan publik yang ingin menyanjung Presiden Jokowi sebagai pemimpin visioner dan bersikap tegas terhadap mafia korupsi, kini justru harus gigit jari. Karena putusan Jokowi yang ditunggu-tunggu publik, justru menampilkan kesan Jokowi lebih suka "membuang" pemimpin KPK yang selama ini bekerja keras dalam berjuang memerangi korupsi.
Kami sebagian rakyat Indonesia hanya bisa mengatakan kepada Pak Abraham Samad, Pak Bambang Widjojanto, Pak Novel Baswedan dan beberapa penyidik yang sedang menunggu vonis dari polisi. Terima kasih. Kalian semua telah menorehkan tinta emas dalam perang melawan korupsi.
Jasa-jasa Pak Abraham Samad, Pak Bambang Widjojanto dan para penyidik brilian KPK akan tetap kami kenang sepanjang masa. Memang Bapak-bapak harus berakhir seperti ini, namun sejarah telah mencatat, bahwa KPK semasa dipimpin kalian adalah yang terbaik dalam upaya memerangi dan memberantas korupsi.
Semoga nanti jajaran pimpinan KPK yang baru akan sehebat anda, akan mengikuti jejak anda untuk melawan "tembok besar" yang sulit ditembus bahkan oleh seorang presiden pun. Meskipun karena keberanian anda, ada resiko yang harus dialami. Tapi, dimata publik, anda masih tetap memiliki nama besar sebagai pejuang anti korupsi.
Kini harapan kita tinggal menunggu pejabat sementara KPK yang dipilih Presiden Jokowi. Apakah masih punya visi yang kuat untuk melawan "tembok besar". Atau hanya ingin sekedar menunjukkan KPK masih ada.
Dan kini sejumlah pemilik rekening gendut bisa tersenyum lega melihat matinya pemberantasan korupsi dan keberhasilan uang mereka untuk membeli keadilan di negeri ini.... Semoga tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H