Setelah ditunggu-tunggu, Presiden Jokowi pada akhirnya mengambil putusan. Pada 18 Februari 2015 atau tepatnya 37 hari sejak kasus hubungan KPK-Polri ini memanas dan ramai menggelayuti publik.
Inilah putusan Jokowi :
1. Memberhentikan Komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi;
2. Sebagai gantinya mengangkat tiga orang pimpinan sementara KPK yaitu Taufiequrachman Ruki, Indrianto Seno Adji dan Johan Budi;
3. Membatalkan pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri dan menggantikannya kepada Komjen Pol Badrodin Haiti.
Apakah putusan Presiden ini sudah memenuhi rasa keadilan dalam perang melawan korupsi? Apakah putusan Jokowi ini mencerminkan sikapnya mendukung pemberantasan korupsi sesuai janji kampanyenya. Kita akan bisa merasakan kualitas seorang Jokowi soal komitmen pemberantasan korupsi, dibanding era Presiden SBY, dari putusan yang baru dilakukannya itu.
Putusan Presiden ini memang dianggap sebagian kalangan sudah bisa mengatasi kebuntuan komunikasi antara Polri dan KPK selama ini. Namun sejumlah pertanyaan besar masih terus mengganjal publik. Apakah komitmen Presiden untuk memerangi koruptor masih kuat sebagaimana janji beliau saat kampanye. Banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Pertama, soal masa depan KPK. Kita semua tahu dibawah pimpinan Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Busro Muqoddas, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain, KPK banyak menorehkan prestasi gemilang. Berbagai kasus korupsi besar berhasil diungkap dari mulai mafia korupsi di tubuh ESDM dan minerba, korupsi di Dirlantas Mabes Polri, hingga kasus dana haji. Tidak tanggung-tanggung, yang terseret sebagai tersangka banyak sejumlah menteri di era pemerintahan SBY yang masih aktif.
Namun prestasi KPK dibawah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto harus berakhir tragis. Kehebatan seorang Samad dan BW berani mengambil resiko saat menabuh genderang perang melawan mafia koruptor, harus kalah melawan kekuatan besar mereka. Samad dan BW justru dihancurkan reputasinya dan jatuh oleh "lawan" nya dengan kasus remeh temeh. Ini yang menjadi pertanyaan dan mengganjal publik terhadap pemerintahan era Jokowi. Kepada siapa Jokowi membela?
Bambang Widjojanto harus terbuang dari KPK hanya gara-gara kasus remeh. Saat dia menjadi pengacara kasus pilkada Kota Waringin Barat, menghadirkan saksi yang konon katanya memberi kesaksian palsu. Padahal penilaian kesaksian palsu itu harusnya menjadi ranah hakim di MK dan bukan orang berperkara yang kemudian melibatkan polisi untuk ikut menjadikan kasus pidana. Lawan BW lebih kuat dalam kewenangan.
Nasib serupa pun dialami Abraham Samad. Ia disingkirkan dari KPK lewat sebuah kasus pemalsuan dokumen identitas. Ada nama lain di KK nya. Sangat tragis dan amat disayangkan. Padahal kasus perbedaan data atau tuduhan pemalsuan dokumen kepada Samad, banyak juga terjadi pada hampir masyarakat Indonesia. Kita seringkali menemukan warga yang memiliki lebih dari satu KTP. Itu juga masuk pemalsuan data. Namun dianggap hal biasa.