Ibuku sayang, aku tahu dalamnya rindu yang ingin engkau lantunkan
Aku tahu, masih ada sederet doa yang inging engkau lantunkan
Aku tahu, masih ada sebait permai kasih yang masih engkau ingin urai
Aku tahu, engkau adalah sebenar-benarnya ibu
Engkau yang tak pernah kelelahan meski terseok dan tersingkirkan oleh tuntutana dunia
Suaramu seringkali terdengar sayup dibalik tirai
Tapi kau tak pernah mengeluh,
Engkau selalu hadir disela-sela lara
Dengan kasih engkau membisik melalui setiap denyut dan aliran darah yang tersebar sekujur tubuh
Dikala semuanya berawal
Engaku membisikan doa sembari mengelus perut, menungguku hadir tak sabar mendengar  tangis pertamaku
Hampir meregang nyawa, demi menghadirkan aku dibumi pertiwi.
Tatkala kecil, aku selalu merengek
Betapa kesalnya aku saat engkau tak  bisa memberikan aku barang yang aku mau.
Aku kembali tahu, di depan palang penghinaan putraMu
Ada sebuah jeritan dari dalam nurani yang hampir dijerat sunyi di sudut sepi
Meratap namun enggan meluap amarah
Meleset ke ujung angin
Memeluk harap sembari bertanya
"Ada apa dengan putraku?"
Bunuhkan saja naluriku, jangan dia!
Semayamkan saja, pada relung terdalam hatiku
Dia adalah buah hati
Sedikitpun tak ingin kulukai
Aku adalah seorang ibu
Ibu, setiap tetesan air matamu
Aku tahu
Tak sedikitpun ingin sang buah hatimu terluka
Terima kasih ibu,
Maafkan aku yang tidak pernah tahu kapan mesti bersyukur tentang apa yang sudah engkau lakukan.
Terima kasih ibu
Salam dari kami buah hatiMU.
Jogja, 2020
Via Dolorosa
Wahai engkau debu jalanan
Pembalut kaki penuh luka
Adakah engkau mengerti
Adegah penuh duka di atasmu?
      Adakah engkau mengerti
      Tatapan kasih yang penuh dalam itu
      Ketika mata sang bunda
      Bersatu padu dalam tatapan dengan mata sang Putera?
Engkau yang disapa Via Dolorosa
Engkau menjadi saksi penderitaan ibunda
Saat ia bertelut sedih
Menyaksikan adegan keji
Yang disajikan para serdadu bengis
Bagi Puteranya
      Hatinya menjerit kesakitan
      Dari bibir kecil yang bergetar sedih
      Ia bertanya, "Anakku, mengapa Engkau berbuat
      Demikian terhadap aku?"
Ah Tuhan, inikah pedang duka
Yang Engkau sajikan bagiku?
Haruskah aku menjadi saksi
Dari penderitaan Puteraku?
Dan Engkau anakku?
Dapatkah seorang ibu
Melupakan anak yang dilahirkannya?
Â
Malang, 2019
Seribu Suara
Seribu suara meletup
Berseru menggapai adil kian redup
Berseru membuka mata yang telah mengatup
Demi daging kepada jiwa,sang putra Allah
Kemana semua puisi yangbtelah terlukis                            Â
Dengan jumlah yang tumpah ruah
Dengan senandung rindu yang mengaliri telinga
Dengan indah bak senja di balik gedung mewah Seribu suara meletup
Kepada tuan diatas singgasana
Kepada telinga  dipunggung salib
Kepada hati yang melupa diri
Entah mengapa,
Mengapa keji yang senantiasa berlagu
Bernyanyi
Sesepi perih yang menyayat luka
Sebisu pisau yang mengiris darah
Sang putra tak bernoda
Seribu suara meletup
Berkoar membakar ambisi diri
Membelah jabatan dibalik kertas
Setinggi mimpi tuan singgasana
Haruskah dia yang di sebut yesus mati untuk tetap hidup
Dalam dupa yang mengasap maut
Sampai waktu tak lagi berdegup detik
Sementara mereka tuan singgasana masih mengisap jari manis
Menikmati rasa manis
Kursi empuk beroda banyak
Pemberian tuan singgasana
Sadarkah kalian
Hari inipun aku tertunduk
Terlentang diatas kayu berlapis duri
Menyengat tubuh kian kesima
Tangan terlentang diatas perempatan derita
Buatan tuan algojo
Adakah kalian sadar??
Cukuplah baginya derita
Cukuplah baginya hari ini
Bertumpah darah meratap tangis
Dari atas kayu terlentang sujud.
Jogja,2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H