Mohon tunggu...
Edid Teresa
Edid Teresa Mohon Tunggu... Guru - Gak Ket Hai Gaku

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kepada Ibu, di Mana Segalanya Berawal

10 April 2020   12:30 Diperbarui: 10 April 2020   12:34 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibuku sayang, aku tahu dalamnya rindu yang ingin engkau lantunkan

Aku tahu, masih ada sederet doa yang inging engkau lantunkan

Aku tahu, masih ada sebait permai kasih yang masih engkau ingin urai

Aku tahu, engkau adalah sebenar-benarnya ibu

Engkau yang tak pernah kelelahan meski terseok dan tersingkirkan oleh tuntutana dunia

Suaramu seringkali terdengar sayup dibalik tirai

Tapi kau tak pernah mengeluh,

Engkau selalu hadir disela-sela lara

Dengan kasih engkau membisik melalui setiap denyut dan aliran darah yang tersebar sekujur tubuh

Dikala semuanya berawal

Engaku membisikan doa sembari mengelus perut, menungguku hadir tak sabar mendengar  tangis pertamaku

Hampir meregang nyawa, demi menghadirkan aku dibumi pertiwi.

Tatkala kecil, aku selalu merengek

Betapa kesalnya aku saat engkau tak  bisa memberikan aku barang yang aku mau.

Aku kembali tahu, di depan palang penghinaan putraMu

Ada sebuah jeritan dari dalam nurani yang hampir dijerat sunyi di sudut sepi

Meratap namun enggan meluap amarah

Meleset ke ujung angin

Memeluk harap sembari bertanya

"Ada apa dengan putraku?"

Bunuhkan saja naluriku, jangan dia!

Semayamkan saja, pada relung terdalam hatiku

Dia adalah buah hati

Sedikitpun tak ingin kulukai

Aku adalah seorang ibu

Ibu, setiap tetesan air matamu

Aku tahu

Tak sedikitpun ingin sang buah hatimu terluka

Terima kasih ibu,

Maafkan aku yang tidak pernah tahu kapan mesti bersyukur tentang apa yang sudah engkau lakukan.

Terima kasih ibu

Salam dari kami buah hatiMU.

Jogja, 2020

Via Dolorosa

Wahai engkau debu jalanan

Pembalut kaki penuh luka

Adakah engkau mengerti

Adegah penuh duka di atasmu?

            Adakah engkau mengerti

            Tatapan kasih yang penuh dalam itu

            Ketika mata sang bunda

            Bersatu padu dalam tatapan dengan mata sang Putera?

Engkau yang disapa Via Dolorosa

Engkau menjadi saksi penderitaan ibunda

Saat ia bertelut sedih

Menyaksikan adegan keji

Yang disajikan para serdadu bengis

Bagi Puteranya

            Hatinya menjerit kesakitan

            Dari bibir kecil yang bergetar sedih

            Ia bertanya, "Anakku, mengapa Engkau berbuat

            Demikian terhadap aku?"

Ah Tuhan, inikah pedang duka

Yang Engkau sajikan bagiku?

Haruskah aku menjadi saksi

Dari penderitaan Puteraku?

Dan Engkau anakku?

Dapatkah seorang ibu

Melupakan anak yang dilahirkannya?

 

Malang, 2019

Seribu Suara

Seribu suara meletup

Berseru menggapai adil kian redup

Berseru membuka mata yang telah mengatup

Demi daging kepada jiwa,sang putra Allah

Kemana semua puisi yangbtelah terlukis                                                       

Dengan jumlah yang tumpah ruah

Dengan senandung rindu yang mengaliri telinga

Dengan indah bak senja di balik gedung mewah Seribu suara meletup

Kepada tuan diatas singgasana

Kepada telinga  dipunggung salib

Kepada hati yang melupa diri

Entah mengapa,

Mengapa keji yang senantiasa berlagu

Bernyanyi

Sesepi perih yang menyayat luka

Sebisu pisau yang mengiris darah

Sang putra tak bernoda

Seribu suara meletup

Berkoar membakar ambisi diri

Membelah jabatan dibalik kertas

Setinggi mimpi tuan singgasana

Haruskah dia yang di sebut yesus mati untuk tetap hidup

Dalam dupa yang mengasap maut

Sampai waktu tak lagi berdegup detik

Sementara mereka tuan singgasana masih mengisap jari manis

Menikmati rasa manis

Kursi empuk beroda banyak

Pemberian tuan singgasana

Sadarkah kalian

Hari inipun aku tertunduk

Terlentang diatas kayu berlapis duri

Menyengat tubuh kian kesima

Tangan terlentang diatas perempatan derita

Buatan tuan algojo

Adakah kalian sadar??

Cukuplah baginya derita

Cukuplah baginya hari ini

Bertumpah darah meratap tangis

Dari atas kayu terlentang sujud.

Jogja,2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun