Tak ada yang tersisa. Kecuali kulit kerang kepah berserakan yang tidak bisa dikonsumsi lagi. Kulit kerang itu dikampungku biasanya dibakar kembali hingga kulit kerang tersebut warnanya putih bersih serta rapuh. Kemudian mereka dijadikan pelengkap makan  sirih pinang, membuat minuman cendol segar atau digunakan untuk acara adat lainnya yang memerlukan kapur sirih untuk acara bepappas[1] dan cabut angin atau conteng[2] oleh dukun dikampung.
Â
Waktu maghrib baru saja berlalu. Saatnya kami menyebrang menuju jermal Datuk Emran. Perjalanan kesana memerlukan waktu lebih kurang 15 menit. Sebuah agenda menantang berikutnya. Rencananya kami akan bermalam. Ini akibat dari keinginan mereka untuk melihat aktifitas jermal terutama dimalam hari.
Â
Sesaat sampai dan mengikatkan tali perahu ditiang penyangga bangunan jermal. Kemala dan Dewi kupersilakan terlebih dahulu menaiki tangga yang berasal dari pohon nibung (Oncosperma tigillarium)yang tua. Sejenis pohon palem yang tingginya dapat mencapai 25 meter. Seluruh batangnya dipenuhi duri-duri tajam sepanjang satu sentimeter. Sangat cocok untuk bahan konstruksi di air yang kandungan garamnya tinggi, nibung yang digunakan sangatlah kuat dan tahan lama. Hampir semua nelayan membangun jermal dan togo nya menggunakan bahan lokal itu yang tersedia melimpah di perairan air payau.
Â
Aku mengulurkan tangan ke Dewi agar bisa duluan naik ke bangunan jermal yang berdiri tegak ditengah sungai besar. Susunan tangga dengan bahan nibung yang menaik memerlukan kehati-hatian kaki untuk melangkah.
Â
"Perhatikan tangganya dengan baik!" Pintaku kepada Amarilis Dewi yang seakan ragu untuk melangkahkan kaki-kakinya keatas bangunan jermal karena khawatir terpeleset.
Â
"Terima kasih, Dewa!" jawabnya sambil ia berusaha menatap mataku lebih dalam lagi. Entah mengapa selalu saja wajah Dewi akan selalu jauh berseri-seri disaat malam telah menyelimuti.