Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Mati (11. Kapal Pesiar Mewah)

30 Januari 2022   17:49 Diperbarui: 30 Januari 2022   17:59 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dengan pictsart app

Selesai mandi sore dipantai bersama, acara kami lanjutkan dengan acara bakar kerang kepah segar yang barusan kami dapatkan. Semua makan dengan lahap. Mungkin karena makanan sejenis seafood masih segar sehingga terasa daging kenyalnya yang manis. Bau kerang dibakar menguar kemana-mana. 

Terlihat asap menggumpal gumpal akibat panas bara api yang terus ditetesi oleh air yang berasal dari kulit kepah yang membuka otomatis secara perlahan. Disudut perapian sana, Dewi duduk menyantap lahap hidangan kerang yang telah matang dan masih sangat hangat.Aku buka satu persatu kulit kerang  untuk kuambil isinya. Karena membuka kulit kerang yang masih dalam keadaan  panas juga diperlukan keahlian khusus.

"Terasa sangat segar," tiba-tiba Dewi berkata sambil memandangku dengan sangat gembira. Aku hanya menatapnya kembali, tersenyum, mengangguk serta tetap melanjutkan untuk membuka kerang-kerang yang telah matang. Kemudian daging-daging segar yang masih panas tersebut kubagikan kembali ke Fithar dan Kemala.

"Ini untukmu" Dewi memberikan kembali sebagian hasil kupasan kerang-kerang hangat segar yang telah kuperuntukkan untuknya. Ia sepertinya kasihan karena aku belum mengunyah satupun kerang tersebut.

"Dihabiskan saja!" pintaku kepadanya. Tiba-tiba dia berdiri mendekatiku dan menyuapkan beberapa kerang hangat dimulutku dengan ekspresi wajah senyum dikulum dan mata berbinar bahagia. Aku merasa berdebar-debar karena sebelumnya aku selalu melayani. Sedang sekarang ada seorang gadis didepanku saat ini dengan cara dan perhatiannya khususnya . 

Timbul rasa yang sangat kuat ingin memiilikinya, sekaligus dalam waktu bersamaan harus kuupayakan rasa itu juga inginku singkirkan sekuat mungkin. Tetapi, suapan ini kembali membakar rasa ingin memiliki itu. Suapan romantis telah membuat hatiku damai dan sekaligus menghilangkan lelah fisik yang mendera. Angin berhembus semilir di senja itu. Terasa membawaku terbang kelangit biru. Senja yang membawaku pada lamunan yang tak bertepi.

Rasanya aku jatuh terpuruk kedalam perangkap cinta entah untuk yang keberapa kalinya dengan orang yang ada dihadapanku saat ini. Kedalam rasa cinta yang ingin memiliki seorang bernama Amarilis Dewi. Semakin kutahan rasa itu rasanya aku semakin terpuruk, karena justru bertambah kuat rasanya untuk tidak akan kehilangannya.

Kuberdoa agar kejadian kedepannya akan baik-baik saja. Disebabkan oleh pesan emak tidak bisa kutunaikan dengan sempurna. Aku berada diantara dua jalan yang harus kuputuskan. 

Apakah akan mengikuti nasihat emak atau mengikuti dorongan naluri perasaanku sendiri yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Didepanku, bahasa tubuh Dewi, seperti gayung bersambut dan seperti menjadikan aku pemuda yang spesial. Kami larut dalam hasrat ingin saling memiliki seperti muda mudi yang sedang kasmaran.

Tak ada yang tersisa. Kecuali kulit kerang kepah berserakan yang tidak bisa dikonsumsi lagi. Kulit kerang itu dikampungku biasanya dibakar kembali hingga kulit kerang tersebut warnanya putih bersih serta rapuh. Kemudian mereka dijadikan pelengkap makan  sirih pinang, membuat minuman cendol segar atau digunakan untuk acara adat lainnya yang memerlukan kapur sirih untuk acara bepappas[1] dan cabut angin atau conteng[2] oleh dukun dikampung.

 

Waktu maghrib baru saja berlalu. Saatnya kami menyebrang menuju jermal Datuk Emran. Perjalanan kesana memerlukan waktu lebih kurang 15 menit. Sebuah agenda menantang berikutnya. Rencananya kami akan bermalam. Ini akibat dari keinginan mereka untuk melihat aktifitas jermal terutama dimalam hari.

 

Sesaat sampai dan mengikatkan tali perahu ditiang penyangga bangunan jermal. Kemala dan Dewi kupersilakan terlebih dahulu menaiki tangga yang berasal dari pohon nibung (Oncosperma tigillarium)yang tua. Sejenis pohon palem yang tingginya dapat mencapai 25 meter. Seluruh batangnya dipenuhi duri-duri tajam sepanjang satu sentimeter. Sangat cocok untuk bahan konstruksi di air yang kandungan garamnya tinggi, nibung yang digunakan sangatlah kuat dan tahan lama. Hampir semua nelayan membangun jermal dan togo nya menggunakan bahan lokal itu yang tersedia melimpah di perairan air payau.

 

Aku mengulurkan tangan ke Dewi agar bisa duluan naik ke bangunan jermal yang berdiri tegak ditengah sungai besar. Susunan tangga dengan bahan nibung yang menaik memerlukan kehati-hatian kaki untuk melangkah.

 

"Perhatikan tangganya dengan baik!" Pintaku kepada Amarilis Dewi yang seakan ragu untuk melangkahkan kaki-kakinya keatas bangunan jermal karena khawatir terpeleset.

 

"Terima kasih, Dewa!" jawabnya sambil ia berusaha menatap mataku lebih dalam lagi. Entah mengapa selalu saja wajah Dewi akan selalu jauh berseri-seri disaat malam telah menyelimuti.

 

  Bangunan fisik jermal luasnya 3 x 4 meter. Dibangun diatas rangka nibung yang penyangganya dibuat silang menyilang. Ada bangunan pondok kecil beratap daun rumbia yang diperuntukkan untuk beristirahat sementara saat menjaring ikan dimalam hari. Pondok yang sebenarnya hanya cukup untuk selonjor tidur maksimal 4 orang.

 

Selanjutnya aku mempersilahkan Kemala dan Dewi masuk kedalam pondok berbentuk limas beratap rumbia. Pelatarannya terlihat luas. Lantainya juga berasal dari susunan pohon nibung yang disusun menyerupai lantai. Pelataran ini difungsikan untuk meletakkan hasil tangkapan ikan. Sekaligus sebagai tempat untuk mengasinkan sekaligus mengeringkan hasil tangkapan ikan sebelum dibawa kekampung.

 

Aku dan Fithar beristirahat santai dipelataran tempat ikan-ikan biasanya dikeringkan. Tikar pandan yang kubawa kuhamparkan untuk kami duduk menikmati malam. Angin malam berhembus sepoi-sepoi. Sangat terasa ditubuh karena aku hanya berbalut kaos tipis berwarna coklat dan celana blue jean butut.

 

Fithar membincangkan hal-hal kehidupan kampusnya yang tampak begitu menarik. Aku hanya bisa membayangkan apa-apa yang dikatakannya. Kesulitan ekonomi keluarga sehingga kata kuliah harus kupendam jauh hanya diangan-anganku saja.

 

 Cerita dimulai dari saat pertama Fithar bertemu dengan Kemala dan Dewi di kampus. Berlanjut hingga ke lika-liku perjalanan pertemanan mereka sampai dengan saat ini. Kesimpulanku yang bisa kutarik yang mereka adalah teman akrab. Berbagai kegiatan luar kampus menyatukan dan membuat mereka semakin kompak. Intinya mereka adalah orang yang saling dukung satu sama lainnya. Dari cerita Fithar juga kuketahui yang Dewi, suatu ketika pernah jatuh hati kepada seseorang teman sekampusnya. Tetapi tiba-tiba orangtuanya murka atas pilihannya dengan alasan yang sampai dengan saat ini belum diketahuinya.

 

Kentara sekali bunyi deru air sungai yang sangat deras menabrak kayu bulat nibung yang kokoh menghunjam sungai. Sewaktu-waktu bangunan terasa bergoyang. Didalam pondok sana. Dengan posisi tiduran, Kemala dan Dewi juga terdengar sedang berbincang ringan. Tanpa aku tahu apa yang sedang mereka ceritakan. Sesekali kudengar mereka terdengar mengobrol, kadang tertawa kemudian terdiam dan begitu seterusnya. Tampak semuanya santai menikmati sesaat kehidupan diatas jermal.

 

Bulan bersinar terang sehingga tampak jelas ada gumpalan awan hitam yang menggantung dilangit barat. Angin awal malam yang berhembus mulai terasa dingin. Diselanya kadang angin kencang menerpa sehingga rasa dingin terasa menerabas kaos oblongku yang tipis ini. Kopi hangat menemani obrolan kami yang sengaja kupersiapkan, sehingga obrolan kami terus berlanjut. Dua gadis yang berlindung dibawah atap rumbia itu kuminta untuk mendahului tidur. 

Aku berjanji akan membangunkan mereka saat tiba waktunya mengangkat jaring jermal. Seperti biasanya, jaring akan diangkat menjelang subuh saat air surut. Sebelumnya aku memang pernah ke jermal milik ayahku yang sudah tidak diurus lagi. Disebabkan karena telah rusak parah diterjang oleh arus deras yang membawa potongan kayu hanyut dari hulu sungai yang sangat besar. Kayu besar tadi telah menghantam tiang-tiang pondasinya. Darisanalah aku tahu bagaimana cara menurunkan dan menaikkan peralatan tangkap jermal.

 

Kami terus mengobrol. Kadang terlelap seketika untuk beberapa saat untuk kemudian terjaga kembali, karena tali pancing ditangan kananku terasa seperti ditarik-tarik oleh ikan sungai. Tak terasa kopi hangat yang dibawa di termos kecil juga habis tak bersisa. Tidak ada lagi yang bisa dituang kedalam gelas aluminium murah. Demikian juga sebungkus rokok yang menemani kami berdua juga tidak terasa habis sebelum waktunya, mungkin karena cuaca yang dingin. Detik-detik kritis serangan kantuk datang. Mata terasa sangat berat tetapi aku masih terjaga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun