Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Mati (6. Hewan Purba Bertelur)

29 Januari 2022   22:24 Diperbarui: 29 Januari 2022   22:27 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segera persiapan kulakukan untuk melakukan petualangan berburu untuk melihat aktifitas penyu bertelur malam ini. Sebuah agenda yang sangat menantang. Sebuah petualangan malam untuk menyaksikan secara langsung aktifitas malam hewan penyu. Mei, adalah bulan puncak hewan tersebut naik kedarat untuk bertelur. Telur-telur akan diletakkan didalam lubang yang sebelumnya telah dipersiapkannya dengan sangat susah payah. Pengeraman telur dikedalaman lubang tanah tersebut akan bertahan sampai dengan dua bulan. Kemudian setelahnya tukik-tukik kemudian perlahan, satu persatu akan keluar dari lautan pasir tempatnya menetas untuk kembali lagi kehabitat aslinya disamudra luas.

Saat mereka masih berkemas-kemas untuk kepergian malam itu. Aku kembali mencoba menghidupkan dan mematikan lampu senter untuk memastikannya menyala. Pisau tajam juga merupakan alat vital yang harus ada dalam setiap perjalanan. Sebagai anak pantai aku sebenarnya sudah terbiasa dengan petualangan malam. Tetapi dengan persiapan matang, tentunya akan dapat mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan.

         Tiba-tiba hujan datang mengguyur tenda. Padahal sebelumnya langit terlihat cerah. Tetapi aku tidak bisa melihat jelas kelangit disebabkan kanopi daun pinus yang terlalu rapat. Sehingga mataku terhalangi, apakah disana memang ada awan hujan menggantung diatas langit?

Aku gelisah. Seperti petua adat dikampungku. Hujan disaat terang bulan malam hari sama halnya dengan hujan disaat siang hari. Itulah tanda-tanda alam bagi manusia, dan merupakan cara tuhan memberitahukan mahluknya bahwa akan ada kejadian-keadian yang tidak terduga. Rasanya tidak ingin tahu perihal cerita dari para tetua terdahulu, agar aku tidak terbebani dari apa yang mereka ceritakan. Tetapi saat ini, aku tetap berusaha tenang dan terus bersiap untuk perjalanan malam sesuai dengan yang direncanakan.

        Sebelum keluar tenda. Untuk menambah ketenangan hati, aku merapalkan beberapa potongan ayat suci yang kuketahui dengan khusyuk. Doa tidak lupa kupanjatkan untuk keselamatan kami. Sebilah golok juga telah terikat sempurna dipinggangku sebelah kanan, peples tempat air minum yang sudah terisi penuh dengan air putih ada disebelah kiri, sedang senter ada ditangan kananku. Dengan perlengkapan sedemikian rupa, artinya aku telah siap sedia menghadapi situasi apapun nantinya.

Pelangi setelah hujan malam itu tampak sangat menawan. Seakan ingin mengucapkan selamat jalan kepada kami, yang baru saja akan memulai perjalanan malam dengan misi untuk dapat menemukan langsung hewan penyu yang  mendarat untuk bertelur.

         Aku melangkahkan kaki keluar tenda dengan mengucapkan kata  pamungkas"Bismillahirrohmanirrohim" untuk berserah diri kepada sang pencipta agar kami semua dilindungi dari segala halang rintang di depan nanti. Sekali lagi aku meminta ketiga orang tamu dari kota tersebut untuk memakai  sunting.

         "Terimakasih, kami akan berdoa dengan cara kami, Dewa" jawab Fithar sebagai cara ia untuk menolak secara halus permintaanku.

          " Aku berharap kita akan baik-baik saja!" Dewi dengan suara agak datar, menimpali sambil melirikku untuk meyakinkan lagi bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Akupun tidak kuasa untuk memaksakannya. Karena alasan yang secara detilnya juga, aku sendiri bahkan tidak bisa menjelaskannya secara rasional kepada tiga mahasiswa kota tersebut.

Begitulah cara kami menerima pembelajaran kearifan lokal dari para tetua adat, tanpa bertanya apapun alasannya lagi. Kecuali mengikuti pesan dengan penuh keyakinan, bahwa perbuatan itu pasti akan mengandung kebaikan.

        Kulirik jam tanganku menunjukkan pukul 09.30 malam. Perjalanan baru akan segera dimulai persis dari pintu tenda. Kamipun membiarkan lampu badainya dalam kondisi menyala. Perjalanan bergerak menuju kearah utara pulau. Bulan dilangit barat terlihat bulat sempurna. Langit terang benderang tetapi tetap saja indra penglihatan mata masih terbatas. Terutama jika mata digunakan untuk melihat objek secara detil di malam hari . Untuk melihat sesuatu dalam radius dua meter dengan jelas saja, perlu usaha keras agar objek yang akan kita lihat tampak nyata. Tetapi tetap saja, seterang-terangnya sinar rembulan objek yang nampak pada akhirnya juga akan tampak seperti siluet. Artinya panca indra mata kita dalam menangkap bayangan disekeliling kita disaat malam purnama dipastikan terlihat seperti menyatu dan gelap.

Terang bulan saat ini mengundang sejenis burung tarah papan (Cacomantis merulinus) bernyanyi. Alunan suaranya seperti musik pengiring dalam menemani perjalanan malam. Suaranya sangat khas seperti orang yang sedang sibuk melubangi kayu. Berbunyi ritmis seperti hentakan antara palu dan pahat yang beradu secara konstan. Sedang pada sisi kiri kami, deru ombak menghempas pantai menyelingi nyanyian burung bersuara eksotis tersebut. Semuanya terdengar menjadi seperti paduan suara magis. Tarah Papan ini jika dikampungku akan bernyanyi seperti bersahut-sahutan dari daerah hutan yang satu ke daerah hutan yang lain. Kampung yang masih diapit hutan perawan sehingga sangat mudah untuk kita dapat mendengarkannya. Bunyi alunannya meninabobokan seisi penghuni kampung.

Ayahku pernah bercerita tentang burung eksotis yang bunyinya seperti orang yang sedang bertukang tersebut. Dahulu, dikampungku saat hutannya masih lebat, nyanyiannya seperti melingkupi seisi kampung yang terasa berisik tetapi tetap nyaman didengar. Cerita ayahku yang tarah papan adalah sejenis burung yang jarang sekali terbang layaknya burung lainnya. Jika terbangpun hanya berpindah dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah atau hinggap ke tanah. Telur-telurnyanya disimpan diatas tanah yang berumput kering. Burung-burung itu selalu setia berdiri seperti seorang dirigen dan bernyanyi tegak lurus diatas tonggak-tonggak pohon yang masih berdiri. Ia tampak seperti penyanyi opera terkenal dengan penampilan yang sangat megah. Suara ketukannya kadang terdengar melemah dan lirih ditengah hutan yang mulai dirusak oleh tangan-tangan jahil manusia. Apapun itu, tarah papan telah menjalankan tugas tanpa kenal lelah dari penguasa kehidupan untuk menemani malam --malam sepi kami. Tugas yang dimulai, sejak sinar bulan menerangi bumi diawal waktu Isya, untuk kemudian menghilang menjelang pagi sebelum matahari memancarkan sinarnya.

Tenda telah kami tinggalkan. Jejak kaki-kaki kami di pasir pantai kadang terlihat dan tidak karena gelombang menghapusnya seketika itu juga karena seringnya kami berjalan persis dibibir pantai. Tak jarang kami selingi dengan kejar-kejaran bermain gelombang laut ditepian pantai. Dewi , terlihat senang sekali bermain gelombang yang kadang airnya menjulur naik menjangkau dipantai yang lebih tinggi. Berjalan dibawah sinar bulan purnama dengan taburan bintang dilangit memang sangat mengasyikkan. Canda tawa Kemala dan Fithar yang sesekali ditimpali Dewi membuat perjalanan kami berlalu tanpa terasa lelah sedikitpun.

Satu jam perjalanan telah berlalu. Tiba-tiba terlihat dikejauhan dari jarak sekitar 50 meter di depan kami. Terlihat ada seonggok benda hitam bergerak sangat lamban dari pantai menuju darat. Ia seperti membawa beban yang sangat berat dipunggungnya.

"Lihat! ada penyu naik ke pantai!" Seruku bersemangat dan berusaha menunjuk dengan persis keberadaan penyu tersebut debawah sinar bulan yang temaram. Saat kami lebih mendekat, memang terlihat jejak-jejak penyu. Hewan purba itu telah bersusah payah naik ke pantai melawan kelandaian pasir pantai. Terlihat usaha yang tidak mudah untuk mendaki dimana karapas yang harus ditopang kadang mencapai lebih dari satu kuintal.

" Mana?" Fithar menimpali sambil matanya nanar mencari persis objek yang sedang dicari-cari.

         " Lihat ini, jejak penyu naik kedarat" coba kutunjukkan jejak kaki penyu yang sangat jelas diantara pasir pantai yang masih basah. Sedang Dewi dan Kemala tampak terus berusaha memfokuskan perhatiannya didarat mencari penyu yang barusan saja kukatakan  

"Mudah-mudahan penyunya masih disana!" sambil kutunjuk arah daratan dengan perkiraan tempat penyu tersebut menggali lubang,"belum tampak ada jejak penyu yang turun kembali" lanjutku gembira menjelaskan. Itu artinya, penyu tersebut masih ditempat persembunyiannya didarat pantai sana. Kemudian kami semua berkejaran naik kedaratan untuk berupaya keras mencari titik persis keberadaan penyu yang mungkin lagi sedang bertelur.

" Wah...!" Dewi memecah kesunyian dengan setengah berteriak kegirangan, sambil langsung memberi isyarat dari jari telunjuknya yang lentik yang menempel sempurna ke bibir tipisnya untuk tidak berisik lagi.

"Akhirnya kita dapat menyaksikan langsung penyu bertelur," ujar Kemala dengan sukacita sambil memberikan salam dengan memantikkan dua jari tangannya sehingga menimbulkan berbunyi nyaring kepada Dewi, seakan-akan misi mereka telah berhasil dengan gemilang.

Dewi dan Kemala langsung berlari kecil menyusuri jejak alur dimana naiknya kaki penyu kedarat. Meskipun dibawah sinar rembulan malam, jejak penyu tersebut sangat mudah terlihat. Jejak-jejak dipasir yang telah dilalui penyu besar akan meninggalkan jejak nyata akibat adanya dorongan yang besar dan kuat dari empat kakinya yang kokoh dan kuat. Kaki tersebut  jugalah yang berfungsi sebagai dayung saat penyu-penyu berada dibawah samudra.

Tetapi tetaplah diperlukan orang dengan pengalaman dan jam terbang yang tinggi untuk dapat menentukan persis keberadaan penyu-penyu tersebut menyembunyikan telur-telurnya. Tingginya kemampuan kamuflase hewan tersebut tentunya ditujukannya untuk memastikan telur-telurnya aman dari gangguan predator baik manusia atau binatang pemakan telur lainnya. Sepanjang pengalamanku, menemukan jejak lubang telur yang telah ditinggalkan penyu merupakan sesuatu hal yang tidak mudah meskipun kita dapat menelusuri sampai kedaratan melalui jejak-jejak yang ditinggalkannya. Tambahan, kita akan masuk kewilayah dengan vegetasi tanaman khas tepi pantai yang banyak ditumbuhi semak belukar dan rumput-rumputan liar yang kadang ketinggiannya tak jarang melebihi tinggi orang dewasa.

Dalam wilayah radius 10 meter, aku berusaha memastikan lokasi persisnya penyu menempatkan telur-telur disarang pasirnya. Cukup sebuah ranting kayu yang kulancipkan dibagian ujungnya sebagai alat deteksi sederhananya. Kemudian kucoba menancapkan kayu ranting lurus secara berulang ketanah. Disaat kayu yang ditancapkan dapat menghunjam tanah agak dalam diantara dedaunan kering dan ranting yang berserakan, itulah tanda letak telur-telur penyu itu berada.

 Aku berusaha mencari jalur termudah, agar Dewi dan Kemala aman dan nyaman melintasi semak pantai yang banyak juga ditumbuhi daun berduri seperti tumbuhan sejenis pandan-pandanan pantai (Pandanus candelabrum) yang berdaun lebat dan rimbun. Jenis pandan lainnya adalah pandan (Pandanus tectorius), berdaun seperti berkelompok dimana diujung-ujung dahan ada bunga kemerahan sebesar bola sepak takraw.

Setelah menyisir areal target sekitar 15 menit diantara tumbuhan pandan pantai yang berduri yang diantaranya juga tumbuh cemara laut, pohon ketapang (Terminalia Catappa) dengan rumput ilalang disana sini. Kucoba mengedipkan lampu senter beberapa kali. Dengan maksud untuk memberikan tanda dan arah dimana persisnya aku berdiri. Aku berseru dengan semangat

"Kesinii!!... penyunya lagi bertelur!" Teriakku bersemangat sambil terus mengedipkan kembali beberapa kali senter yang ada ditangan kananku.        

         "Oh, tuhan!, begini rupanya penyu yang lagi bertelur" Fithar tanpa berkedip sedikitpun matanya dengan mimik wajah terperanjat. Dewi dan Kemala yang berdiri berdekatan juga seperti terpukau dengan apa yang sedang terjadi didepan matanya. Tanpa ada sepatah katapun keluar dari bibir mereka. Mereka semua seolah tersihir oleh sebuah peristiwa langka yang selama ini dibayangkannya.

Sebelumnya paling mereka hanya mendengar cerita-cerita dari orang-orang yang pernah melihat langsung kejadiannya. Syukurlah misi penting pertama dimalam ini berjalan lancar fikirku dan aku merasa sedikit lega. Lubang sedalam 80 centimeter dan diameter 60 sentimeter tampak menganga lebar kemudian satu persatu telur dikeluarkan dari tubuh besar hewan yang mirip kura-kura tersebut.

          "Penyunya menangis!" Seru Dewi ditengah keheningan, disaat kami sedang fokus memperhatikan penyu menetaskan telurnya yang putih bersih satu persatu dilubangnya. Telunjuk Dewi, mengarah kearah mata penyu yang memang jika dilihat dengan seksama seperti berurai air mata.

         "Biarkan sampai penyunya selesai bertelur!" kumengingatkan mereka agar tetap berhati-hati dan tidak terlalu dekat  karena justru akan menganggu penyu itu.

"Jangan sampai penyunya merasa terganggu," sambungku terus mengingatkan.Karena terlihat Fithar yang sedari tadi berada persis dekat lobang dimana telur tersebut satu persatu diletakkan. Ternyata ia menghitung semua telur-telurnya.

"Totalnya ada 130-an butir dengan lama bertelur 40 menit!" layaknya seorang reporter televisi profesional Fithar memberitakan dengan penuh semangat. Setelah lelah bertelur, perlahan dan pasti penyu yang berdiameter 80 sentimeter dan panjang 100 sentimeter itu segera menutup lubang telur dengan tangkasnya menggunakan 2 tungkai kaki belakangnya. Selayaknya cangkul, lubang yang sebelumnya menganga lebar dan dalam sebelumnya telah tertimbun pasir kembali.

Kuatnya dorongan tungkai kaki-kakinya dalam mengais butiran-butiran pasir itu, sehingga tidak jarang pasir-pasir tersebut menghantam keras badan dan wajah kami. Terakhir kali, laku ritual penyu yaitu setelah menutup lobang telurnya, meskipun terlihat sangat lelah, penyu tersebut seolah-olah menyusun kembali daun serta ranting kering disekitar lubang telur, yang persis sama keadaannya dengan permukaan pasir di persekitarannya. Saat ini semuanya kembali sangat alami seperti tidak ada aktifitas apapun sebelumnya.

"Kerja yang sempurna," sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Kemala seperti terpesona dengan semua apa yang dilihatnya barusan secara langsung.

            Penyu yang kami temui barusan adalah penyu hijau (Chelonia mydas) yang memang banyak mendarat di pulau ini. Sejenis penyu yang bisa bertelur dalam jumlah yang sagat banyak atau rata-rata minimal diatas 100 an butir sekali bertelur. Dalam semalam waktu musim bertelur, tidak jarang belasan ekor penyu hijau naik kedaratan pulau. Dapat dibayangkan jumlah telur yang dihasilkan dalam semalam, artinya akan bisa mencapai ribuan butir.

 Pernah dceritakan oleh ayahku yang sering bermalam dipulau ini saat beliau melaut. Sebenarnya ada jenis-jenis penyu lainnya yang mendarat seperti penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Oleh karena itu pada saat puncak musim bertelur tersebutlah, biasa akan dilaksanakan acara adat perang telur. Agenda yang dimaksudkan sebagai bentuk tanda terima kasih masyarakat kepada tuhan karena penyu-penyu telah secara sukarela mendarat untuk bertelur dipulau indah ini.

"Lihat!, dia mungkin sangat lelah dan air matanya terus menetes," Dewi sepertinya kembali melihat penyu menangis. Segera Kemala memberikan jalan yang lebih leluasa untuk membiarkan penyu tersebut bisa segera menjangkau pantai yang sebelumnya iapun berjalan beberapa meter didepan penyu itu.

          "Jangan dihalangi dan dinaiki penyunya Fithar!" Teriak Dewi sambil tangannya digerak-gerakan untuk memberi aba-aba agar jangan dilakukan. Tampak ia geram melihat kelakuan Fithar yang telah usil terhadap penyu yang ingin kembali ke laut lepas tersebut. Kemudian segera saja Fithar menghentikan kelakuannya tanpa protes. Kemudian ia  kembali mengekor pelan dibelakang penyu yang sebentar lagi akan segera mencapai bibir air dipantai.

         Sesaat kaki kaki penyu itu menjangkau bibir pantai. Penyu terlihat lebih bersemangat dan bergerak lincah. Dorongan gelombang balik dari pantai yang turun kelaut seolah menjadi jalan bebas hambatan bagi penyu untuk menyelinap dan berenang. Kemudian ia menghilang dari pandangan mata karena telah kembali ke rumah samudranya yang maha luas tersebut.

Kami sesaat hening. Pengalaman sesaat melihat penyu bertelur yang sangat mempesona yang tidak akan terlupakan oleh mereka. Aku berharap semua tamuku puas dan menjadikannya sebagai pengalaman yang paling berkesan seumur hidupnya. Mereka telah menjadi saksi sejarah, bagaimana seekor penyu berupaya untuk mempertahankan generasinya.

Dewi terlihat melirikku. Senyumnya dikulum dilemparkannya kepadaku. Matanya menyorotkan arti tanda terimakasih. Meski dibawah cahaya temaram, wajahnya tampak sumringah dan tampak berkilau, karena salah satu misinya telah tunai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun