Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Mati (6. Hewan Purba Bertelur)

29 Januari 2022   22:24 Diperbarui: 29 Januari 2022   22:27 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitulah cara kami menerima pembelajaran kearifan lokal dari para tetua adat, tanpa bertanya apapun alasannya lagi. Kecuali mengikuti pesan dengan penuh keyakinan, bahwa perbuatan itu pasti akan mengandung kebaikan.

        Kulirik jam tanganku menunjukkan pukul 09.30 malam. Perjalanan baru akan segera dimulai persis dari pintu tenda. Kamipun membiarkan lampu badainya dalam kondisi menyala. Perjalanan bergerak menuju kearah utara pulau. Bulan dilangit barat terlihat bulat sempurna. Langit terang benderang tetapi tetap saja indra penglihatan mata masih terbatas. Terutama jika mata digunakan untuk melihat objek secara detil di malam hari . Untuk melihat sesuatu dalam radius dua meter dengan jelas saja, perlu usaha keras agar objek yang akan kita lihat tampak nyata. Tetapi tetap saja, seterang-terangnya sinar rembulan objek yang nampak pada akhirnya juga akan tampak seperti siluet. Artinya panca indra mata kita dalam menangkap bayangan disekeliling kita disaat malam purnama dipastikan terlihat seperti menyatu dan gelap.

Terang bulan saat ini mengundang sejenis burung tarah papan (Cacomantis merulinus) bernyanyi. Alunan suaranya seperti musik pengiring dalam menemani perjalanan malam. Suaranya sangat khas seperti orang yang sedang sibuk melubangi kayu. Berbunyi ritmis seperti hentakan antara palu dan pahat yang beradu secara konstan. Sedang pada sisi kiri kami, deru ombak menghempas pantai menyelingi nyanyian burung bersuara eksotis tersebut. Semuanya terdengar menjadi seperti paduan suara magis. Tarah Papan ini jika dikampungku akan bernyanyi seperti bersahut-sahutan dari daerah hutan yang satu ke daerah hutan yang lain. Kampung yang masih diapit hutan perawan sehingga sangat mudah untuk kita dapat mendengarkannya. Bunyi alunannya meninabobokan seisi penghuni kampung.

Ayahku pernah bercerita tentang burung eksotis yang bunyinya seperti orang yang sedang bertukang tersebut. Dahulu, dikampungku saat hutannya masih lebat, nyanyiannya seperti melingkupi seisi kampung yang terasa berisik tetapi tetap nyaman didengar. Cerita ayahku yang tarah papan adalah sejenis burung yang jarang sekali terbang layaknya burung lainnya. Jika terbangpun hanya berpindah dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah atau hinggap ke tanah. Telur-telurnyanya disimpan diatas tanah yang berumput kering. Burung-burung itu selalu setia berdiri seperti seorang dirigen dan bernyanyi tegak lurus diatas tonggak-tonggak pohon yang masih berdiri. Ia tampak seperti penyanyi opera terkenal dengan penampilan yang sangat megah. Suara ketukannya kadang terdengar melemah dan lirih ditengah hutan yang mulai dirusak oleh tangan-tangan jahil manusia. Apapun itu, tarah papan telah menjalankan tugas tanpa kenal lelah dari penguasa kehidupan untuk menemani malam --malam sepi kami. Tugas yang dimulai, sejak sinar bulan menerangi bumi diawal waktu Isya, untuk kemudian menghilang menjelang pagi sebelum matahari memancarkan sinarnya.

Tenda telah kami tinggalkan. Jejak kaki-kaki kami di pasir pantai kadang terlihat dan tidak karena gelombang menghapusnya seketika itu juga karena seringnya kami berjalan persis dibibir pantai. Tak jarang kami selingi dengan kejar-kejaran bermain gelombang laut ditepian pantai. Dewi , terlihat senang sekali bermain gelombang yang kadang airnya menjulur naik menjangkau dipantai yang lebih tinggi. Berjalan dibawah sinar bulan purnama dengan taburan bintang dilangit memang sangat mengasyikkan. Canda tawa Kemala dan Fithar yang sesekali ditimpali Dewi membuat perjalanan kami berlalu tanpa terasa lelah sedikitpun.

Satu jam perjalanan telah berlalu. Tiba-tiba terlihat dikejauhan dari jarak sekitar 50 meter di depan kami. Terlihat ada seonggok benda hitam bergerak sangat lamban dari pantai menuju darat. Ia seperti membawa beban yang sangat berat dipunggungnya.

"Lihat! ada penyu naik ke pantai!" Seruku bersemangat dan berusaha menunjuk dengan persis keberadaan penyu tersebut debawah sinar bulan yang temaram. Saat kami lebih mendekat, memang terlihat jejak-jejak penyu. Hewan purba itu telah bersusah payah naik ke pantai melawan kelandaian pasir pantai. Terlihat usaha yang tidak mudah untuk mendaki dimana karapas yang harus ditopang kadang mencapai lebih dari satu kuintal.

" Mana?" Fithar menimpali sambil matanya nanar mencari persis objek yang sedang dicari-cari.

         " Lihat ini, jejak penyu naik kedarat" coba kutunjukkan jejak kaki penyu yang sangat jelas diantara pasir pantai yang masih basah. Sedang Dewi dan Kemala tampak terus berusaha memfokuskan perhatiannya didarat mencari penyu yang barusan saja kukatakan  

"Mudah-mudahan penyunya masih disana!" sambil kutunjuk arah daratan dengan perkiraan tempat penyu tersebut menggali lubang,"belum tampak ada jejak penyu yang turun kembali" lanjutku gembira menjelaskan. Itu artinya, penyu tersebut masih ditempat persembunyiannya didarat pantai sana. Kemudian kami semua berkejaran naik kedaratan untuk berupaya keras mencari titik persis keberadaan penyu yang mungkin lagi sedang bertelur.

" Wah...!" Dewi memecah kesunyian dengan setengah berteriak kegirangan, sambil langsung memberi isyarat dari jari telunjuknya yang lentik yang menempel sempurna ke bibir tipisnya untuk tidak berisik lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun