Â
"Bu, mereka cantik-cantik ya, terutama Amarilis Dewi!" kata-kataku mengalir lancar tanpa hambatan seperti air selokan dibukit yang mengalir deras setelah hujan. Aku berupaya mengalihkan perhatiannya. Sebelumnya perkataan tersebut tidak pernah dan berani kuutarakan sama sekali.
Â
"Kau menyenangi gadis-gadis cantik itu, Nak?" kening emak terlihat mengernyit serius. Mukanya seketika seperti pucat pasi. Seharusnya ia gembira. Tiba-tiba saja anak laki-lakinya berani dan tertarik dengan lawan jenis. Sepertinya ia masih penuh selidik akan keseriusan dari apa yang baru saja kukatakan. Sejenak ia tertegun menatap keatas langit-langit rumahku. Kemudian ia kembali tertunduk dan seperti tersenyum terpaksa. Matanya kulihat seperti menerawang jauh kedepan. Aku sendiri tidak bisa menebak. Seakan ada sebuah rahasia besar dalam hidupnya. Dan tidak ada seorang pun yang tahu tentang itu. Atau mungkin naluri keibuannya mulai bekerja sehubungan dengan pernyataanku yang diluar dugaannya, fikirku dalam hati. Aku tidak berani lagi untuk berkata-kata. Dan aku membiarkan keadaan dengan apa yang ada dikepalanya masing-masing.
Â
Emak mendekatiku dan kemudian berbisik pelan tetapi sangat tegas ucapannya
Â
"Anakku!" seorang Junjung Buih yang selama ini kuketahui lembut dan tegas, sekarang terlihat malahan kebalikannya yaitu penuh keragu-raguan dan kekhawatiran.Â
Â
 "Kau hanya boleh berteman saja dengan gadis-gadis rupawan itu!" emak melanjutkan. Suara berbisiknya tegas sembari telunjuknya jelas lurus mengarah kepada tamuku yang masih duduk santai diruang tamu. Ia mengalihkan pandangannya jauh diluar sana. Matanya seolah menerawang jauh melalui satu-satunya jendela yang ada di dapur. Tanggapan emak sangat tidak seperti yang kuharapkan. Seharusnya ia berbunga-bunga dan bergembira senang saat anak laki-lakinya sudah mulai memikirkan pasangan hidupnya sendiri.
Â