"Kalian pergi saja Dewa!" Datuk Emran membiarkan kami untuk pergi. Dikatakannya dengan suara berat dan tangannya memutar-mutar rokok kertas linting yang bau tembakau timbangnya sangat menyengat dan asap mengurung penuh wajahnya. Matanya terlihat bertambah menyipit seperti membayangkan sesuatu yang aneh didepannya. Kenapa sekarang orang-orang menjadi aneh? aku membatin.
Â
"Tiada apa yang perlu kau risaukan...pergilah!," sambungnya setelah beberapa saat hening dan ia kemudian seperti kembali melihat sesuatu yang sangat jelas bermain-main diujung penglihatannya. Dari kerutan dahi dikeningnya tentu sorot mata si pemburu cinta Tanjung Buih ini membayangkan sesuatu kejadian yang sangat mencekam.
Â
"Datuk, inikan masih waktu sedekah laut!," balasku spontan sambil menatap matanya yang sudah semakin menyipit. Bola matanya yang hitam seperti hilang karena ia berusaha keras menerawang sesuatu dari wajahku. Pria tua aneh. Tentu aku beruntung tidak berayahkan orang aneh didepanku ini, fikirku kembali dalam hati.
Â
"Nanti, menginap saja di jermalku, Dewa!," pesannya jelas dan sesuai dengan niat awalku untuk menginap semalam disana dikarenakan sangat dekat dengan Pulau Penyu.
Â
"Baik Tuk," jawabku singkat dan ingin menghakhiri segera percakapan dengannya.
Â
"Segera kembali saja kalian Dewa!" balasnya kembali dengan nada tegas. Tetapi apakah menyuruhku meninggalkannya segera atau kembali melanjutkan rencana kami. Mulutnya masih terlihat komat kamit. Ia tersenyum kecut dengan senyum yang terlihat masam. Kepalanya mengangguk-angguk terlihat sangat puas. Sedang kepalaku masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang sulit kuungkapkan.