Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepak Sayap Rindu dari Zamboanga Del Norte

24 Januari 2022   20:54 Diperbarui: 24 Januari 2022   21:02 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari Canva app

Masih terbayang olehku kejadian 10 tahun yang lalu disaat aku berlari dengan bertelanjang kaki dari rumah tanpa lelah menuju pantai Santo Sebastian.  Kemudian,dulu sewaktu aku kecil ayahku pernah bercerita bahwa penyu-penyu yang mendarat dikampung kami berasal dari negeri antah berantah. 

Kuketahui kemudian bahwa saat itu ayah hanya ingin mengatakan kepadaku bahwa penyu-penyu tersebut dapat berenang bebas kemana saja seperti yang diinginkannya. Untuk alasan itulah aku rasanya ingin berenang sejauh mungkin seperti penyu dari pantai Santo Sebastian yang warna airnya biru tosca.

Tetapi keinginanku itu terhalang oleh orang-orang yang ramai berkunjung dipantai di pagi yang cerah itu. Mereka tidak henti-hentinya  meneriakiku agar tidak terus berjalan jauh kearah laut yang semakin dalam. Sampai akhirnya Fernandez dan putra tertuaku Aquilino mengenggam dan berusaha menarik kedua belah tanganku untuk kembali kepantai berpasir putih yang indah itu.

Malam sebelum kejadian menghebohkan dipantai pagi itu. Terasa dalam tidur malamku, emak yang sangat kurindukan siang dan malam terlihat memandangku dari kejauhan. Tetapi ia tersenyum dengan wajah pucat pasi. Tidak banyak kata-kata yang terucap. Sampai dengan terakhir emak mengatakan.

“Sabar anakku Nirmala,... waktunya akan tiba dan emak akan selalu berdoa untukmu.” lidahku kelu dan hanya rasa bahagia dan haru yang menyelimuti perasaan. Aku hanya bisa menangis karena kerinduan yang teramat sangat. Bahkan disaat itu, aku tidak sempat mencium tangannya serta bersimpuh memohon maaf diujung kakinya.

Fernandez, suamiku yang tidur nyenyak sebelumnya berusaha menenangkanku dengan langsung meraih dan mengenggam dengan hangat tanganku dan kembali tidur. Sedangkan aku tetap gelisah dan  tidak bisa tidur sampai fajar menyingsing. 

Segera guratan sinar matahari mulai menampakkan sedikit sinarnya. Kemudian disaat itu jugalah orang-orang terdekatku masih tertidur pulas, sehingga merupakan kesempatanku untuk dapat berlari menuju pantai Santo Sebastian yang sepertinya telah melambai-lambaikan tangannya.

Asaku untuk bisa segera kembali ke kampung halamanku terasa semakin memuncak seiring semakin besarnya putra sulungku Aquilino yang selalu bertanya tentang aku. Ia mulai sering bertanya dari sebutan namaku Nirmala. 

Sebuah nama yang sangat berbeda yang pernah didengar serta diketahuinya dilingkungan sekitarnya selama ini. Tambahan lagi ia merasa tidak pernah dipertemukan dengan kakek neneknya dari sebelahku, seperti keluarga lain yang pernah dilihatnya.

 Perlahan kisahku tersebut mulai kuceritakan dengan Aquilino dan semuanya bermula ditahun 2000.

Iming-iming bekerja dinegeri tetangga Malaysia yang hanya sepelemparan batu dari tempatku oleh seorang pencari tenaga kerja kampung ternyata telah berhasil membuaiku. Tujuanku tidak lain hanya ingin segera membahagiakan kedua orangtua dan merubah nasib keluargaku yang hidup serba kekurangan. 

Rasa iri bertambah menguat setelah melihat keberhasilan beberapa teman-teman sebayaku yang pergi mendahului merantau dan terlihat sukses karena mereka telah dapat mengirimkan sejumlah uang yang membuat kedua orang tuanya dikampung tersenyum bahagia.

Tidak ada juga yang menghambat kepergianku saat itu. Apalagi kakak perempuanku Leni akan ikut bersamaku. Satu hal yang menghambat kepergian kami hanya restu kedua orangtua terutama emak yang terus berupaya untuk menghalang-halangi kepergian kami. Tetapi tekadku bulat. 

Hingga Sampai saatnya, semua dokumen perjalananku telah selesai dibantu oleh si pembawa kerja dengan kesepakatan akan dipekerjakan disebuah kantin di Sarawak Malaysia.

Hanya berbekal sebuah tas jinjing lusuh yang kutenteng dengan penuh percaya diri. Semangat yang begitu menggebu dari seorang anak gadis lulusan pendidikan menengah pertama di Sambas sebuah kabupaten diujung utara propinsi Kalimantan Barat. Meskipun, sampai hari keberangkatan tiba emak tetap saja masih menyusahkan anak gadis kecilnya yang harus pergi merantau jauh sekali.

“Tidak ada yang perlu dirisaukan, Mak!” ucapku disaat emak seperti tidak mau melepaskan pelukannya dariku dan terus membelai rambutku dan membuatku sangat damai, “ Nirmala janji akan bisa jaga diri dan bekerja rajin, Mak!” sambil aku perlahan melepaskan pelukannya dan meninggalkannya dengan air matanya yang tampak tertumpah tanpa dapat dibendung dikedua belah pipinya yang mulai menua.

***

Petualangan perjalanan pertama terjauhku dimulai. Pengembaraan yang penuh harapan serta terasa berbunga-bunga menuju sebuah negeri tetangga Sarawak Malaysia. Tetapi kenyataannya seperti bumi dan langit. seperti kata pepatah “lidah tidak bertulang”. 

Pekerjaan yang disampaikan dengan janji manis sebelumnya ternyata tidak sesuai dengan perjanjian saat dikampung. Aku dan kakakku Lina kemudian dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di tempat yang berbeda dimana kami saling tidak mengetahui alamat masing-masing.

“Kak Leni, aku takut!”, Itulah kata-kataku yang keluar disaat tiba waktunya kami akan berpisah. Kakakku hanya mengelus-elus punggungku dan menguatkanku agar aku bersabar kemudian ia memelukku erat dan membisikkan sesuatu ditelingaku.

“Kita telah melangkah, tidak mungkin untuk kembali!” ia terus menyemangatiku sambil air matanya menetes dikedua belah pipinya karena tidak tahu apa yang akan terjadi kepada kami berdua dan ia masih sempat mengatakan

 “ Nirmala harus berani dan kuat, Allah dan doa emak bersama kita”, aku kemudian memeluknya sekuat tenaga dan menangis sejadi-jadinya, sampai seseorang yang bertugas mengantar ketempat kerja mulai menarikku dengan paksa.

“Saatnya bekerja!” bentak seseorang kaki tangan agen pencari kerja tersebut dengan nada tinggi dan kasar,”disini air mata tidak menghasilkan ringgit!” segera saja aku mengambil tas jinjing lusuh disudut ruangan dengan menatap lurus kedepan dan tidak ingin lagi melihat wajah kakakku  yang saat itu juga merasa khawatir akan nasib adik perempuan satu-satunya.

Tubuhku terasa merinding saat memasuki rumah majikan pertama kali. Rumah yang berukuran sangat besar dibanding rumahku yang ada dikampung. Semuanya tetap asing bagiku tidak hanya segala isi perabotan rumah tangganya yang hampir semuanya otomatis dan menggunakan listrik. 

Keanehan juga terlihat dengan orang-orang didalamnya. Mereka adalah sebuah keluarga yang terdiri dari 6 orang. Sepasang suami istri paruh baya dengan anak mereka terdiri 2 laki-laki dan 2 perempuan yang beranjak dewasa.

Terasa tas jinjingku saat itu sangat berat dan hatiku mengatakan ingin pulang saja, tetapi teringat kembali wajah emak dan pesan kak Leni sehingga rasanya itu suatu yang mustahil serta tidak ada jalan untuk kembali. Selain itu, aku tidak mengerti jika ingin kembali.

Dunia nyata pekerjaan sebagai seorang pembantu saat itu juga langsung kuhadapi. Hari-hari yang sangat melelahkan dengan setumpuk pekerjaan dengan jam kerja yang sangat panjang dimulai pukul  4 subuh  sampai dengan pukul 12 malam. Pekerjaanku juga diawasi oleh istri pemilik  rumah yang biasa kupanggil dengan Nyonya. 

Pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya dan selalu menumpuk ditambah semua anggota rumah yang semuanya ingin dilayani seperti tuan besar. Fikirku beginilah resiko bekerja di luar negeri. Kita harus memeras keringat dan banting tulang. Karena tujuanku adalah untuk tidak ingin menyusahkan kedua orang tuaku yang saat ini juga masih bersusah payah menyekolahkan 2 adik laki-lakiku yang masih kecil. 

Di saat penat dan kelelahan yang tak tertahankan itulah biasanya aku langsung teringat disaat emak membelai-belai rambutku sambil bersenandung fasih sholawat nabi.Sehingga semuanya menjadi pelipur lara ditengah kepenatan menyelesaikan pekerjaan harian yang selalu bertumpuk tumpuk tanpa kesudahan.  

Tiada hari yang paling menggembirakan dan ditunggu-tunggu bagiku yaitu saat setelah sebulan aku bekerja. Rasanya sudah tidak sabar menunggu gaji pertamaku. 

Perlakuan caci maki yang tidak mengenakkan kubuang jauh-jauh disaat aku terlambat bangun karena kepenatan kerja yang sangat panjang seperti terlambat untuk membukakan pintu depan atau sekadar terlambat mengambilkan air minum untuk setiap penghuni rumah.

Seingatku memasuki minggu kedua aku bekerja,mereka mulai sering membentakku bahkan tidak jarang tendangan kaki tidak segan-segan mereka daratkan ketubuhku dengan alasan pekerjaanku tidak sesuai dengan harapan mereka. Rasanya berat tubuhku juga berkurang separuhnya dari saat kedatangan. 

Banyak luka memar bahkan luka berdarah dibeberapa bagian kepala karena terasa rambutku terasa lengket saat akan disisir. Hal itu diakibatkan karena kepalaku sering dibenturkan ke dinding disaat mereka kesal karena kemauannya tidak dapat cepat kuselesaikan.

Tidak cukup sampai disana, karena seluruh anggota keluarga sudah mulai semakin berani menggunakan alat apa saja yang ada didekat mereka untuk membuatku sakit dan terluka. 

Sering aku tersungkur karena tidak sanggup menahan pukulan,dorongan, atau dijambak.Bahkan diludahi terasa sudah menjadi makanan sehari-hari. Disaat-saat seperti itulah aku kembali mengingat pesan kakakku untuk selalu kuat dan sabar disaat perpisahan terakhir yang keberadaannya di negeri tetangga saat ini juga tidak kuketahui.  

Telah sampai bulan kedua aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri. Aku tetap bersemangat menunggu kedatangan hari-hari untuk menunggu rapel gaji bulan pertama dan kedua. Rencananya uang itu akan segera kukirim kepada emak sebagai tanda aku telah sukses dirantau. Tetapi majikanku seperti tidak mengetahui akan kewajibannya. 

Malahan pekerjaan seperti bertambah banyak ditumpukan kepadaku. Semua pekerjaan harus diselesaikan dalam waktu yang cepat, bersih serta rapi. Tetapi sekali lagi semuanya tidak terpenuhi sempurna dikarenakan kelelahan akut yang mendera tubuh dan jiwaku.

Waktu terus berlalu...

Tetapi karena azamku terlalu kuat untuk membahagiakan orangtuaku sehingga aku masih kuat bertahan sampai bulan keenam untuk bekerja keras tanpa gaji sepeserpun. Badanku sudah terasa sangat ringkih. 

Tidak jarang aku demam menggigil tetapi tetap saja diminta bekerja keras tanpa jeda hingga beberapa kali aku tidak sadarkan diri disaat menyelesaikan pekerjaan. Disaat tergeletak tak sadarkan diri itulah, justru siraman air akan segera membasahi sekujur tubuhku. Ditengah aku kedinginan dan menggigil tersebut terdengar samar ditelingaku mereka masih saja mencerca dan meludahiku.

Terkadang tanpa sadar aku menangis haru disaat tidur. Tetapi aku berjanji dalam hati dan bertekad memastikan diri agar tidak menumpahkan setetes air mata didepan majikan disaat bekerja. Meskipun deraan rasa sakit fisik dan tekanan perasaan yang kuterima kadang rasanya tidak mampu kutanggung demi memperjuangkan hidup keluarga yang lebih baik.

Pada saat terpuruk aku hanya ingin membayangkan wajah emak dan ayah. Itu salah satu caraku untuk bertahan. Ingin rasanya untuk pergi melarikan diri, tetapi semua pintu terkunci rapat dengan pagar sekililing rumah yang sangat tinggi. Tambahan lagi, akan selalu  ada orang yang mengawasi aku bekerja.

Hanya ada satu momen aku dapat keluar rumah yaitu saat aku diminta menemani Nyonya berbelanja sesekali kebutuhan mendesak rumah tangga ditoko serba ada. Tugasku adalah membawakan semua belanjaan yang begitu banyaknya. Terkadang aku merasa tidak kuat membawa beban belanjaan hanya dengan berjalan kaki.

Ada ritual khusus Nyonya sebelum kami berbelanja bersama yaitu ia akan memastikan bahwa aku telah menutupi hampir seluruh tubuhku. Terutama bagian badan yang tampak luka dan lebam. 

Disaat kesempatan Nyonya berbelanja itulah fikiranku kadang melayang untuk melarikan diri. Tetapi akan melarikan diri kemana? karena selain tidak mempunyai uang sepeserpun, kemudian juga aku tidak mengetahui seluk beluk kota negeri jiran yang kutingggali ini. Dalam berbagai kesempatan tersebut secara tidak sengaja aku bertemu dengan seorang pemuda penjaga toko  yang kerap memperhatikanku yang terlihat ganjil olehnya. 

Sebaliknya aku memang telah diwanti-wanti oleh Nyonya untuk tidak berkomunikasi dengan orang asing siapapun itu. Aku diancam akan diberikan pekerjaan yang lebih berat lagi dari biasanya jika berani melanggar aturan itu. Aku sangat takut sekali.

Sehingga pada waktunya, disaat aku menunggu Nyonya yang sedang memilih barang belanjaannya, seorang penjaga toko yang selalu memperhatikanku datang mendekat dan langsung menanyakan keadaanku.

“Saudari lagi ada masalah?” lelaki yang akhirnya kuketahui namanya Dirman itu menyapaku terlebih dahulu sambil matanya tetap memperhatikan majikanku  yang sedang sibuk memilih dan memasukkan barang barang belanjaan didalam keranjang. Aku hanya bisa mengangguk saja untuk menyatakan bahwa dugaannya adalah benar.

Ingin sekali rasanya aku segera dibawa lari meski aku tidak tahu siapa orang itu. Tapi sekali lagi aku memberanikan diri karena sudah beberapa kali bertemu Dirman yang menyapaku itu di beberapa kesempatan sebelumnya. 

Dari pembicaraan sembunyi-sembunyi itu, ternyata kami berasal dari satu daerah kabupaten yang sama.  Karena melihatku seperti menggigil kedinginan, ia segera memberikan aku obat sakit dari sakunya yang mungkin telah dipersiapkannya sebelumnya.

Pada waktu pertemuan berikutnya. Kuniatkan untuk memberanikan diri menyapanya langsung. Ia ternyata iba melihat kondisiku dan sepertinya telah mengetahui bahwa aku dalam tekanan dan masalah besar bekerja dirumah majikanku tersebut. Ia memberikan saran untuk lari pada kesempatan keluar berbelanja bersama berikutnya dan ia siap membantuku.  

Setelah itu aku tidak memikirkan hal lain kecuali hanya bagaimana bisa keluar dari rumah yang membuatku hampir-hampir tidak mengenal diriku lagi. Tetapi sekali lagi mungkin doa kedua orang tuaku siang malam yang selalu berusaha memintakan kesalamatan kepadaku sehingga aku kuat berdiri dan menghadapinya sampai dengan saat ini.

Kesempatan yang kutunggu-tunggu itu akhirnya datang.  Aku berusaha sekuat tenaga untuk bersikap biasa saja dan senormal mungkin. Tidak ada yang kubawa kecuali pakaian yang kukenakan saat itu. Ternyata Dirman telah menunggku dan menyiapkan segalanya. Segera saja Nyonya  masuk toko dan sibuk memilih barang belanjaan yang diinginkannya,  kami segera bergegas keluar toko dan menyetop sebuak taksi yang membawa kami kesuatu tempat. Perjalanan tampak berliku dan mengarah keluar kota lebih kurang satu setengah jam. Segera setelah sampai kerumah penitipan sementara yang merupakan seorang kenalan Dirman dan menjelaskan kondisiku yang sebenarnya, Dirman segera izin pamit kembali.

Ditempat penampungan sementara ini awalnya aku merasa telah terbebas dari semua kesengsaraan. Tetapi perasaanku tetap was-was dan tidak tenang. Aku merasa masih dicari-cari oleh majikanku. Ditambah lagi Saat ini aku tidak beridentitas sama sekali karena sejak hari pertama bekerja dirumah majikanku itu, pasporku langsung ditahan sebagai jaminan.

Malang tidak dapat ditolak. Tujuan tuan rumah memberikan tumpangan sementara ternyata ada maksud lainnya. Ternyata orangtuanya ingin menjodohkan aku kepada salah satu dari 3 anaknya yang masih melajang. Sedang aku tidak merasa jatuh hati barang sedikitpun terhadap anak laki-laki mereka karena sifat yang pemalas dan tidak mau bekerja keras membantu orangtuanya yang hidup pas-pasan tersebut.

Dirumah tersebut jugalah aku berkenalan dengan seorang perempuan bernama Ida kerabat jauh dari istri yang memberikan aku tumpangan hidup sementara. Ida tahu aku dalam kesulitan. Ia merasa iba dan kasihan melihat nasibku. Ida juga berkeinginan membebaskanku dari cengkeraman kawin paksa. 

Kenalan baruku itu mengenalkan seseorang pemuda bernama Fernandez. Ida menceritakan laki-laki yang diperkenalkannya tersebut adalah seorang yang sangat rajin bekerja, tidak pernah terlihat merokok maupun mabuk-mabukan. 

Aku mulai menaruh harapan baru untuk bisa menyelamatkanku dari kawin paksa atau malahan pengusiran karena menolak permintaan untuk dijodohkan. Aku juga berfikir tidak mungkin kembali kekampung halaman dengan kondisiku saat ini yang disebabkan oleh ketiadaan dokumen pasporku serta tidak ada uang sepeserpun yang ada dalam genggaman.

Gayung sepertinya bersambut. Fernandez ternyata mau menyelamatkanku meski dengan resiko aku semakin menjauhi tanah kelahiranku. Saat ini aku tidak dapat mengelak lagi karena sangat takut dengan nasibku yang kapan saja bisa terusir dari rumah tumpangan sementaraku tersebut. 

Aku percaya saja dengan jalan nasibku yang sudah digariskan tuhan. Aku percaya saja dengan semua perkataan Ida yang menyatakan bahwa Fernandez adalah orang baik lagi bertanggungjawab.

Tidak butuh waktu lama bagi Fernandez untuk menguruskan administrasi surat menyuratku untuk berangkat kenegeri kelahirannya  Philipina. Hingga pada hari yang ditentukan aku berangkat bersamanya menuju Zamboanga Del Norte. Laki-laki yang menyelamatkanku itupun langsung menikahiku sesaat sampai dikampung halamannya.

Saat ini Zamboanga Del Norte telah menjadi kampung kelahiran 4 anakku. Perjuangan untuk beradaptasi hidup yang tidak mudah. Aku harus banyak menyesuaikan diri terutama bahasa yang sangat berbeda serta adat dan tata cara hidup yang semua baru bagiku. 

Suamiku membangun rumah kecil sederhana di sekitar bukit Santa Maria untuk keluarga kecil kami sambil aku tetap menunggu kesempatan untuk bisa kembali melihat emak dan ayah yang selalu menungguku dikampung.Ternyata suatu keinginan yang tidak mudah selain jauhnya  jarak sehingga membuatku hanya memelihara angan kerinduan akan kampung halamanku.

Sejak 20 tahun yang lalu aku sampai di Siocon Zamboanga Del Norte.  Zamboanga sebuah propinsi di negeri kepulauan Philipina yang berhawa hangat serta banyak ditemui pohon kelapa melambai dipinggir pantainya. Sebuah negeri yang serupa dengan tanah kelahiranku tetapi tetap berbeda dalam bahasa dan budaya kesehariannya.  Sebuah perjalanan hidup yang tidak bisa kupilih maupun kutolak.

Sering aku masih menyesali diri karena tidak dapat membahagiakan kedua orangtuaku. Bahkan  untuk bertemu sejenak pun aku masih tidak sanggup.

“ Alejandro menangis sejak tadi Nirmala, susuilah dia!” tiba-tiba Fernandez suamiku memegang pundakku dari belakang. Ia mengingatkan aku untuk segerai menemui anak keempat kami  yang dua bulan lalu baru saja kulahirkan. Ia menatapku tenang dan ada gurat kecil senyuman diwajahnya. Angin yang berhembus disiang yang terik itu tetap terasa sejuk diatas bukit tertinggi Santa Maria. Suatu wilayah perbukitan dimana saat ini keluarga kecilku menghabiskan hari-harinya.

Dititik aku berdiri saat ini adalah tempat dimana aku bisa melihat dengan jelas samudra biru dengan burung-burung elang yang terbang tinggi dan bebas kemana saja sesuai kehendaknya. Tanpa disadari terkadang aku mengikuti kepakan sayap burung-burung itu dengan merentangkan kedua belah tangan seolah-olah aku telah menjadi seekor burung elang yang terbang tinggi nun jauh disana.

“Jangan menangis, Nirmala!” Fernandez dengan pelan menyeka air mataku yang terus mengalir deras tanpa aku minta dan bisa kuhentikan. Aku tetap terdiam dengan pandangan tetap ke langit biru mengikuti dimana kelompok burung-burung itu terbang. Tidak ada satu katapun yang terucap dari bibirku. 

Aku hanya kembali berusaha ingin mengepakkan kedua belah tanganku yang saat ini telah berada didalam genggaman tangan Fernandez. Sebuah genggaman yang kuat sekali. Aku berusaha memberontak tetapi tangan-tangan kekar Fernandez selalu lebih kuat.

 “ Emak dan ayah menungguku Fernandez!” kembali aku menyatakan keinginanku. Mungkin juga sudah tak terhitung lagi Fernandez mendengar kata-kata yang sama meluncur dari bibirkuku, terutama disaat aku tidak bisa menahan rindu akan kampung halaman.

“Kita akan segera kesana bersama empat anak kita, Nirmala!” seperti biasa Fernandez kembali berusaha menenangkan emosiku dengan membelai rambutku yang tak henti-hentinya ditiup angin yang sedikit kencang disiang itu. Seorang pria yang telah sangat telaten menghadapi kerinduanku yang tak terkira akan kampung halamanku.

Meskipun aku tahu itu akhirnya adalah kata untuk  menghiburku saja. Aku juga sadar dengan kondisi ekonomi dimana pekerjaanku hanya mengasuh anak dan pekerjaan Fernandez sebagai buruh kebun dan tukang serabutan tentu harapan itu masih terasa sangat jauh. Tetapi asa untuk bertemu dengan kedua orang tuaku tetap menyala. Seperti biasanya kami sesaat berdua duduk termenung memandang kedepan tanpa kata-kata lagi dengan ditemani bunyi jangkrik yang terus berdengung nyaring . Dengan air mata yang terus mengalir aku beranjak pergi untuk segera kembali kerumah mendekap Alejandro yang gelisah kutinggalkan sejak tadi. Seingatku kejadian dibukit Santa Maria adalah bukan kejadian pertama. Seperti biasa tidak sulit bagi suamiku untuk mencariku kemana aku menghilang karena ia terbiasa dengan lingkungan tanah kelahirannya.

“Aku...ingin terbang, Fernandez!” ucapku tiba-tiba sambil terus sesenggukan menangis tanpa suara. Hanya tubuhku saja yang terasa terguncang karena harus menahan emosi dan tangis yang tidak tertahankan.  Aku merasa kalah. Sebuah nasib menahan rindu kepada emak dan ayah di kampung kelahiranku nun jauh disana.

Jan Bestari

Sambas, 25 April 2021

(Serpihan catatan dari kisah perjuangan seorang perempuan yang pernah bekerja di negeri jiran Malaysia dan saat ini masih memendam asa rindu pulang ketanah air. Beberapa tahun yang lalu emak yang sangat dirindukannya telah pergi untuk selamanya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun