Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepak Sayap Rindu dari Zamboanga Del Norte

24 Januari 2022   20:54 Diperbarui: 24 Januari 2022   21:02 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari Canva app

 “ Nirmala harus berani dan kuat, Allah dan doa emak bersama kita”, aku kemudian memeluknya sekuat tenaga dan menangis sejadi-jadinya, sampai seseorang yang bertugas mengantar ketempat kerja mulai menarikku dengan paksa.

“Saatnya bekerja!” bentak seseorang kaki tangan agen pencari kerja tersebut dengan nada tinggi dan kasar,”disini air mata tidak menghasilkan ringgit!” segera saja aku mengambil tas jinjing lusuh disudut ruangan dengan menatap lurus kedepan dan tidak ingin lagi melihat wajah kakakku  yang saat itu juga merasa khawatir akan nasib adik perempuan satu-satunya.

Tubuhku terasa merinding saat memasuki rumah majikan pertama kali. Rumah yang berukuran sangat besar dibanding rumahku yang ada dikampung. Semuanya tetap asing bagiku tidak hanya segala isi perabotan rumah tangganya yang hampir semuanya otomatis dan menggunakan listrik. 

Keanehan juga terlihat dengan orang-orang didalamnya. Mereka adalah sebuah keluarga yang terdiri dari 6 orang. Sepasang suami istri paruh baya dengan anak mereka terdiri 2 laki-laki dan 2 perempuan yang beranjak dewasa.

Terasa tas jinjingku saat itu sangat berat dan hatiku mengatakan ingin pulang saja, tetapi teringat kembali wajah emak dan pesan kak Leni sehingga rasanya itu suatu yang mustahil serta tidak ada jalan untuk kembali. Selain itu, aku tidak mengerti jika ingin kembali.

Dunia nyata pekerjaan sebagai seorang pembantu saat itu juga langsung kuhadapi. Hari-hari yang sangat melelahkan dengan setumpuk pekerjaan dengan jam kerja yang sangat panjang dimulai pukul  4 subuh  sampai dengan pukul 12 malam. Pekerjaanku juga diawasi oleh istri pemilik  rumah yang biasa kupanggil dengan Nyonya. 

Pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya dan selalu menumpuk ditambah semua anggota rumah yang semuanya ingin dilayani seperti tuan besar. Fikirku beginilah resiko bekerja di luar negeri. Kita harus memeras keringat dan banting tulang. Karena tujuanku adalah untuk tidak ingin menyusahkan kedua orang tuaku yang saat ini juga masih bersusah payah menyekolahkan 2 adik laki-lakiku yang masih kecil. 

Di saat penat dan kelelahan yang tak tertahankan itulah biasanya aku langsung teringat disaat emak membelai-belai rambutku sambil bersenandung fasih sholawat nabi.Sehingga semuanya menjadi pelipur lara ditengah kepenatan menyelesaikan pekerjaan harian yang selalu bertumpuk tumpuk tanpa kesudahan.  

Tiada hari yang paling menggembirakan dan ditunggu-tunggu bagiku yaitu saat setelah sebulan aku bekerja. Rasanya sudah tidak sabar menunggu gaji pertamaku. 

Perlakuan caci maki yang tidak mengenakkan kubuang jauh-jauh disaat aku terlambat bangun karena kepenatan kerja yang sangat panjang seperti terlambat untuk membukakan pintu depan atau sekadar terlambat mengambilkan air minum untuk setiap penghuni rumah.

Seingatku memasuki minggu kedua aku bekerja,mereka mulai sering membentakku bahkan tidak jarang tendangan kaki tidak segan-segan mereka daratkan ketubuhku dengan alasan pekerjaanku tidak sesuai dengan harapan mereka. Rasanya berat tubuhku juga berkurang separuhnya dari saat kedatangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun