Mohon tunggu...
eddy lana
eddy lana Mohon Tunggu... Freelancer - Eddylana

Belajar menjadi tukang pada bidang yg dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jodohmu Memang Bukan Aku

20 Juni 2021   21:49 Diperbarui: 20 Juni 2021   22:12 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Resti merapihkan rambutnya dan menyapukan selapis tipis warna rouge terakhir di tulang pipinya. Sekian menit lagi beres, tak usah terlalu banyak memoles ( Resti  memang selalu begitu). Sebab beberapa waktu lagi dia sudah harus berada di club Gym nya. 

Sudah sebulan ini dia khusus melatih otot perutnya dengan beragam eksersis. Nurida, seorang kawan wanita satu club gym telah menumbuhkan sebuah obsesi pada dirinya. Resti ingin punya six-pack di bagian perutnya seperti yang dipunyai Nurida. 

Sejenak wanita itu menghela nafasnya panjang, lalu menghembuskannya dengan sebuah sentakkan pendek. Matanya mendongak tajam keatas bagai hendak menembus langit-langit kamar. 

Sudah sekitar tujuh bulan ini, atas anjuran seorang sobat setianya, Resti mendaftar dan ikut menjadi salah satu anggota club disebuah Gym yang cukup representatif. Walau sebelumnya dia menyangsikan apabila suaminya mengijinkan. 

" Itu peribahasa tua, tetapi ujarannya tentang ditubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.Kurasa tepat untuk situasimu saat ini Resti " Ujar Widi sobat akrabnya yang tak pernah melepaskan perkawanan mereka sampai saat kini. 

Dan juga, cuma pada Widi-lah  Resti berani berkeluh-kesah dan memaparkan kegelisahan-kegelisahannya. Boleh dibilang Widi seolah buku harian yang selalu dipenuhi catatan-catatan tulisan Resti. 

Sebenarnya, kesibukan Resti sebagai seorang eksekutif disebuah perusahaan besar sudah membuatnya cukup sibuk. Tetapi ada sebuah alasan mendesak dibalik semua itu. 

Alam bawah sadarnya menyadari ada sesuatu ancaman pada kelangsungan perkawinannya. Empat tahun tanpa sedikitpun tanda-tanda kehamilan sangat mengkhawatirkan dirinya. 

Tak perlu disebutkan satu persatu, hal aneh yang dilakukan Wildan. Nyaris setiap minggu Wildan kerap mengumpulkan keponakan-keponakannya di rumah mereka. 

Atau sesekali mengundang anak para tetangga untuk meramaikan rumah mereka dengan teriakan kegembiraan dalam permainan. 

Sebenarnya, hati Resti amat terpukul sekali. Apalagi semakin berjalannya waktu, Wildan kian bersikap hambar pada Resti. 

Resti ingat, ketika dia pertama kali mengutarakan maksud pada Wildan suaminya, untuk mendaftar diclub Gymnasium. Aneh? sang suami ternyata tak bereaksi sedikitpun. 

Padahal, sebelumnya Resti sudah menduga bahwa suaminya akan marah atau bisa saja akan menertawainya atas permintaan nya yang tidak-tidak itu. 

Dia pun tak akan kecewa, bila ternyata Wildan tak mengijinkan niatnya itu. Dan bila itu yang terjadi, berarti suaminya masih memberi perhatiannya padanya. 

Terbalik dari dugaannya semula, ternyata sangkaannya meleset. Tak ubahnya seorang pelaku pantomim. Suaminya cuma mengangkat kedua bahu sambil menggerakkan kepala dan mengangkat alis seperti tak acuh. 

Malah mulutnya tak sepatahpun mengeluarkan komentar ataupun mungkin sebuah pertanyaan, mengapa isterinya mau berlelah-lelah dan bersibuk diri di sebuah Gym. 

" Kau over aja rekeningnya ke tagihanku. " akhirnya cuma sepenggal kalimat itu saja yang lolos dari kedua bibirnya. Matanya pun tak beralih dari layar Hape digenggamannya. 

Resti menelan ludahnya, dia tak mengharapkan jawaban itu.  Rasa kecewanya meluap tanpa tertahan. Harusnya Wildan tahu bukan jawaban seperti itu yang di-inginkannya. 

Sebab Wildan juga pasti tahu berapa besar deposito isterinya yang tersimpan di Bank langganannya. Imbalannya sebagai seorang eksekutif tak bisa dibilang enteng. 

Saat itu Resti cuma mampu terhenyak, membiarkan nalurinya bergentayang kian-kemari, dan kembali menangkap kecurigaan baru dibalik sikap tak acuh suaminya. 

Menambah kecurigaan lama yang belakangan ini sudah mengendap sedikit demi sedikit didada nya. 

Sejak empat bulan sebelum Widi mendesaknya masuk ke Gym. Resti memang menemui hal-hal yang menurutnya patut untuk diwaspadai. Sebab akan menyangkut keutuhan rumah-tangganya dengan Wildan suaminya. 

Hal tersebut sungguh mengganggu disetiap detik kehidupannya. Sehingga, walau tak terlalu antusias dia menerima ajakan Widi , seorang sobat akrabnya semasa masa kuliah dulu untuk ikut masuk Club Gymnya. 

Naluri wanitanya menangkap sebuah situasi yang tak biasa didalam rumah yang ditinggali mereka berdua. Misalnya penciumannya yang pernah merasai aroma wangi sejenis parfum yang tak begitu familiar ditengah mereka. 

Beberapa kali semerbak wewangian dengan aroma yang sama, menyelusup keliang penciumannya. Dan hal itu lebih terasa dikamar Wildan saat dia sedang membersihkannya. 

Resti memang tak pernah mengijinkan pembantunya untuk membereskan ruang kamar tidur mereka. Terlalu privasi, ujarnya saat itu pada dirinya sendiri. 

Bahkan ketika Wildan menyatakan ingin memakai kamar lain sebagai ruang tidurnya, dia tetap tak mengijinkan pembantunya untuk menata kamar Wildan. Rumah mereka memang punya empat kamar termasuk kamar tidur mereka selama ini. 

" Aku pindah kekamar didekat ruang tengah itu. Biar kau lebih leluasa berguling kekiri-kekanan. Kamar ini semakin terasa sempit sekarang. "  tukas suaminya melempar alasan sambil mengumbar tawa, ketika Resti bertanya, mengapa dia pindah kamar. 

Suatu hari, sekonyong-konyong tanpa alasan yang jelas, suaminya belakangan ini selalu mengunci kamar setiap dia pergi. Kuncinya pun selalu dibawanya. 

Dan semua menjadi terang benderang, seterang matahari siang yang cerah tanpa awan menghalang. Dompet yang tertinggal membuka sesuatu yang selama ini mengganggu di kehidupannya. 

Saat itu Resti langsung membalikan arah mobilnya kembali menuju rumah. Dia harus membayar cemilan, parkir, beli bensin, dan mungkin keperluan lainnya. Tanpa dompet beserta isi kartu-kartu didalamnya, tak mungkin dia meneruskan perjalanannya. 

Kening Resti berkerut saat tiba didepan rumahnya.  Ternyata mobil Wildan sudah terparkir dihalaman rumah mereka. Padahal seharusnya Wildan masih berada dikantor. 

Bergegas langkahnya menapak dihalaman rumah mereka yang cukup luas itu. Asisten rumah-tangganya yang membukakan pintu agak sedikit terlihat gugup. Tetapi, lewat siratan wajahnya Resti seperti menangkap sesuatu yang tak beres. 

Setepat dirinya menapak di ruang tamu, sekonyong terdengar suara renyah tawa dari dalam kamar Wildan yang tertutup. Dari nadanya, jelas sekali jika pemilik suaranya adalah seorang wanita. 

Resti terhenyak sejenak, dadanya sekonyong bagai hendak meledak. Wanita yang empat tahun menikah dan belum dikarunia keturunan itu, menarik nafasnya panjang. 

Hatinya begitu syak dan yakin, bahwa apa yang kemarin cuma berupa bayang-bayang yang masih kelabu. Kini, bakal terpentang lebar didepan matanya. 

Kendalikan dirimu Resti, kau bukanlah perempuan murahan. Kau seorang wanita berpendidikan tinggi yang pastinya faham akan etika. Hadapilah semuanya dengan dingin, sedingin batu es didalam freezer. 

Benaknya menghitung dalam diam disetiap tarikan dan hembusan nafasnya, satu-dua-tiga-empat-lima..  Sembari  memberi sugesti  pada dirinya sendiri, bahwa sebuah kantong plastik berisi serpihan batu es itu kini telah berhasil mendinginkan hati dan kepalanya. 

Resti memanggil ART nya dengan sebuah gerakan tangan. ART yang sejak tadi tak beranjak dari pintu masuk segera menghampiri, wajahnya terlihat tegang bagai ada sesuatu yang berkecamuk dipikirannya. 

Lalu, agak tersentak-sentak langkahnya tertatih menuju pintu kamar dimana tawa renyah wanita tadi keluar. Walau hatinya cemas, tetapi ART itu harus melakukan perintah Resti untuk mengetuk pintu kamar Wildan. 

Pintu terbuka sedikit, terdengar dua-tiga patah kalimat antara si ART dan Wildan. Lalu, terdengar suara pintu kembali tertutup dan si ART menghilang kearah belakang, mungkin ke ruang dapur. 

Ada rasa nyeri didada Resti, saat melihat pintu kamar tertutup kembali. Dia tak melihat wajah Wildan yang terhalang dinding kamar. Yang pasti, suaminya saat ini pasti tengah mengenakan pakaian. Oh Tuhan..

Kini, panggung drama nyata telah terbuka. Wildan keluar kamar melangkah pelahan ke arah sofa dimana Resti tersandar. Wajahnya terlihat kusut, sekusut rambut yang mungkin terlupa dirapihkannya. 

Cuma ada rasa heran dan salah tingkah pada Wildan melihat betapa tenangnya sikap Resti. Walau begitu, lelaki itu mencoba untuk menghadirkan sebuah senyum pada isterinya itu, walau terasa hambar. 

Sepertinya keduanya tahu, bahwa sandiwara ini telah berada diposisi the-end. Tak heran, jika kalimat yang dikeluarkan tak bertele-tele dan to the-point. 

" Maaf, jika aku tak memberitahu kalau aku sudah nikah siri. " jelas Wildan sambil menundukan kepalanya. 

" Aku tak mempersoalkan hal itu. Aku tahu kelemahan dan kekuranganku sebagai pendampingmu, yaitu tak mampu memberimu keturunan. " 

Dan setelah itu, tak banyak lagi dialog yang terlontar antara mereka berdua. Tampaknya, Masing-masing sudah tahu, apa yang harus dilakukan setelah panggung ini terbuka lebar. 

Wildan sangat hafal sifat Resti isterinya, hatinya sekeras batu pada sesuatu yang diyakininya benar. Dan dia akan menerimanya sebagai sebuah risiko. 

Atau sebenarnya Wildan sudah menduga bahkan mengharap bahwa kejadian ini memang akan terungkap. Mungkin itulah sebabnya, lelaki itu membiarkan Resti memasukkan sejumlah pakaiannya kedalam koper. 

" Aku akan pergi dari rumah ini. Cuma, aku minta kau segera mengurus perceraian kita. Persoalan selanjutnya akan kuserahkan pada adikku untuk mengurusnya. Cuma ada sesuatu yang ingin kujelaskan... " sejenak Resti memutus kalimatnya. Dan kemudian meneruskan nya sambil memandang wajah Wildan. 

" Selama ini kita tak pernah memeriksakan diri, apakah tubuh kita memang mampu menghasilkan keturunan. Seminggu yang lalu, aku memeriksakan diriku di sebuah Rumah Sakit. Nah ini fotocopy dari hasilnya. " Resti langsung mengangkat kakinya setelah meletakkan lembaran kertas dari laboratorium itu keatas meja. 

Wildan tersentak, dia menyambar hasil pemeriksaan Laboratorium diatas meja. Matanya terbeliak saat melihat isi dari hasil pemeriksaan isterinya. 

Wildan termanggu, ternyata isterinya adalah wanita yang subur. Pertanyaannya adalah, apakah malah dia sendiri yang infertilitas alias tidak bisa menghasilkan anak? 

Wildan nyaris tersedak, selama ini dia tak pernah tertarik untuk memeriksakan dirinya. Pernikahan sirinya dengan wanita didalam kamar itu telah berlangsung hampir setahun. Dan isteri barunya belum juga memberikan tanda kehamilan didirinya. 

Rasanya semua mendadak jadi lega. Resti mengemudikan mobilnya santai kerumah orangtuanya. Keluarganya cukup Demokratis, bisa menghargai keputusan yang dianggap benar. 

Sepotong wajah yang kerap ditemui di Gym, mendadak muncul dikepalanya. Seorang pria mapan yang terkadang membawa seorang bocah perempuan ke Gym. Anak itu ditinggal ibunya akibat kecelakaan mobil saat berdua dengan pria selingkuhannya. 

Resti cukup surprise tatkala menjumpai pria itu di Gym yang sama. Belum lepas dari ingatan Resti, bahwa pria itu sempat mencoba mendekatinya saat masa kuliah dulu. Widi sobatnya juga mengenal pria itu dengan baik. 

Sayangnya Wildan lebih menonjol dan aktif dalam pedekate nya. Yah mungkin saat itu memang bukan jodohnya. 

Mereka bertiga, Widi, dirinya, serta pria itu senantiasa bergaul dan berkomunikasi saat di Gym. Cuma ada sesuatu yang dijaga Resti yaitu dia adalah wanita yang bersuami.

Baru diingatnya sekarang, pria itu baru ber main di Gym yang sama dua minggu setelah dirinya mencatat keanggotaan barunya. 

Jangan-jangan skenario ini, Widi yang mengaturnya. Apalagi belum lama ini Widi mengakui bahwa pria itu sebenarnya masih sepupunya. 

Resti menggaruk kepalanya yang tak gatal, baru saja dia mengajukan sebuah permintaan bercerai,. Dan sekarang malah membayang sesosok calon yang sudah setahun ini berjuang untuk mendapatkanmendapatkannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun