Setepat dirinya menapak di ruang tamu, sekonyong terdengar suara renyah tawa dari dalam kamar Wildan yang tertutup. Dari nadanya, jelas sekali jika pemilik suaranya adalah seorang wanita.Â
Resti terhenyak sejenak, dadanya sekonyong bagai hendak meledak. Wanita yang empat tahun menikah dan belum dikarunia keturunan itu, menarik nafasnya panjang.Â
Hatinya begitu syak dan yakin, bahwa apa yang kemarin cuma berupa bayang-bayang yang masih kelabu. Kini, bakal terpentang lebar didepan matanya.Â
Kendalikan dirimu Resti, kau bukanlah perempuan murahan. Kau seorang wanita berpendidikan tinggi yang pastinya faham akan etika. Hadapilah semuanya dengan dingin, sedingin batu es didalam freezer.Â
Benaknya menghitung dalam diam disetiap tarikan dan hembusan nafasnya, satu-dua-tiga-empat-lima..  Sembari  memberi sugesti  pada dirinya sendiri, bahwa sebuah kantong plastik berisi serpihan batu es itu kini telah berhasil mendinginkan hati dan kepalanya.Â
Resti memanggil ART nya dengan sebuah gerakan tangan. ART yang sejak tadi tak beranjak dari pintu masuk segera menghampiri, wajahnya terlihat tegang bagai ada sesuatu yang berkecamuk dipikirannya.Â
Lalu, agak tersentak-sentak langkahnya tertatih menuju pintu kamar dimana tawa renyah wanita tadi keluar. Walau hatinya cemas, tetapi ART itu harus melakukan perintah Resti untuk mengetuk pintu kamar Wildan.Â
Pintu terbuka sedikit, terdengar dua-tiga patah kalimat antara si ART dan Wildan. Lalu, terdengar suara pintu kembali tertutup dan si ART menghilang kearah belakang, mungkin ke ruang dapur.Â
Ada rasa nyeri didada Resti, saat melihat pintu kamar tertutup kembali. Dia tak melihat wajah Wildan yang terhalang dinding kamar. Yang pasti, suaminya saat ini pasti tengah mengenakan pakaian. Oh Tuhan..
Kini, panggung drama nyata telah terbuka. Wildan keluar kamar melangkah pelahan ke arah sofa dimana Resti tersandar. Wajahnya terlihat kusut, sekusut rambut yang mungkin terlupa dirapihkannya.Â
Cuma ada rasa heran dan salah tingkah pada Wildan melihat betapa tenangnya sikap Resti. Walau begitu, lelaki itu mencoba untuk menghadirkan sebuah senyum pada isterinya itu, walau terasa hambar.Â