Mohon tunggu...
Eddi Kurnianto
Eddi Kurnianto Mohon Tunggu... Jurnalis - orang kecil dengan mimpi besar.

orang kecil dengan mimpi besar.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kematian untuk Sepak Bola Kami

25 September 2018   19:13 Diperbarui: 26 September 2018   12:59 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal dari saling ejek diluar stadion antara Ultras (supporter fanatik Juventus) dan para Hooligans (supporter garis keras Liverpool). Ketegangan tersebut berlanjut di dalam stadion, supporter Liverpool yang marah mendorong pagar besi pembatas di antara supporter. Pagar itu rusak, dan sebagian hooligans menyerbu tifosi Juventus. Karena kalah jumlah, para tifosi itu mundur mendesak dinding stadion yang sudah tua. Tak kuat menahan dorongan dan beban, tembok itupun runtuh.

Total 39 orang meninggal dunia dalam tragedi ini. Selain tertimpa material tembok, banyak pula korban karena terinjak-injak.  Kepolisian Inggris langsung menyelidiki lebih lanjut dari berbagai sumber. Hanya 27 orang yang ditahan dengan tuduhan penganiayaan dan pembunuhan. 14 orang pendukung Liverpool akhirnya dipidana atas dakwaan tersebut.

Dunia sepakbola berduka.

Tanggal 30 Mei 1985, UEFA melalui penyidik resminya, Gunter Schneider, menyatakan bahwa kesalahan sepenuhnya ada di pihak Liverpool. Alih alih membela diri, tanggal Perdana Menteri Inggris saat itu, Margareth Thatcher, malah mendesak untuk menghukum klub klub Inggris. Di awal Juni hukuman pun ditentukan.

UEFA secara resmi memutuskan dengan melarang semua kesebelasan Inggris mengikuti pertandingan di seluruh Eropa. Bahkan pada tanggal 6 Juni, putusan diubah menjadi pelarangan klub klub bertanding di seluruh dunia selama 5 tahun. Khusus untuk Liverpool hukumannya adalah 8 tahun, walau kemudian dikurangi dua tahun.

Karena kelakuan suporternya, Liverpool yang sebelumnya adalah raja Eropa, langsung dilarang main di luar Inggris. Hukuman tak bermain di kejuaraan Eropa itu membuat, sebagai klub, Liverpool fc tak lagi menarik bagi pemain pemain kualitas Eropa. Selain itu keuntungannya juga merosot tajam. Akibatnya Liverpool terus menurun keperkasaannya, bahkan sejak kompetisi liga utama di Inggris berubah format menjadi Liga premiere, tahun 1992, klub ini belum lagi juara.

Dan siapa yang paling menderita? Tentunya Suporter klub berjuluk the reds ini. Selama 20 tahun klub yang sempat menjadi salah satu klub dominan di Eropa ini terseok seok di kompetisi lokal.

Mungkinkah dalam skala lokal hukuman sejenis dijalankan di Indonesia? Tentunya mungkin asal ada koordinasi dan konsistensi di semua pihak yang bertanggungjawab. Penghargaan terhadap organisasi sepakbola regional juga harus dijaga. Kejadian seperti bentrok antar supporter  harus ditanggapi serius, agar tidak ada pesimisme terhadap sepakbola nasional.

Tak bisa dipungkiri pesimisme merebak setelah terjadi kematian Haringga. Bisa kita tengok di social media. Tak kurang Bambang Pamungkas sendiri, memberi komentar pesimis dalam cuitannya:

Cuitan itu sebenarnya menjawab cuitan dari Andie Peci, sesepuh Suporter Persebaya. Dalam cuitannya Andi menulis :

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun