Mohon tunggu...
Eddi Kurnianto
Eddi Kurnianto Mohon Tunggu... Jurnalis - orang kecil dengan mimpi besar.

orang kecil dengan mimpi besar.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kematian untuk Sepak Bola Kami

25 September 2018   19:13 Diperbarui: 26 September 2018   12:59 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jon-Paul Gilhooley kecil tampak sumringah berjalan menuju Leppings Lane Area. Di tampak tangannya selembar tiket Semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest. Pertandingan diadakan di Hillsborough, kandang kesebelasan Sheffield United. Cukup jauh dari Merseyside, tapi toh ada lebih dari 5 ribu supporter datang dari wilayah itu.

Walaupun hanya tiket 'teras, tapi untuk anak berusia 10 tahun itu, tiket itu luar biasa berharga. Baru tadi pagi ibunya, Jackie Gilhooley berhasil mendapatkan tiket itu dengan susah payah. Sang ibu tahu, Jon-Paul adalah fans berat klub sepakbola Liverpool, dan kesempatan menonton klub pujaannya itu berarti lebih dari apapun baginya.

Jam menunjukkan 14.35 waktu setempat, kick off jam 15.00, masih cukup banyak waktu piker Jon-Paul. Sambil tersenyum membayangkan cemburunya sang sepupu, Stephen Gerrard, yang tak berhasil mendapat tiket, Jon-Paul menggandeng tangan Rodney Jolly dan Glen Flatley sambil menuju pintu gerbang yang tampak padat. Keduanya adalah teman teman keluarga yang sudah dewasa. 

Jon-Paul dititipkan pada mereka karena kedua pamannya, Brian dan John, yang juga ikut menonton, mendapatkan tiket di Hillsborough's seated area yang pintu masuknya tidak melalui Leppings Lane Area. Buat Jon-Paul, Rodney Jolly dan kelompok supporter Liverpool itu, pertandingan klub nya adalah "the greatest entertainment on earth", terbukti bahwa yang dating bukan hanya pria dewasa, anak anak seperti Jon-Paul dan bahkan wanita juga berbondong-bondong mendatangi pertandingan klub favoritnya.

Seharusnya sepakbola memang begitu, hiburan untuk semua. 

Kenyataannya, hari itu 15 April 1989, akan dikenal sebagai salah satu sejarah terburuk dalam sepakbola Inggris dan dunia.

Sebenarnya sejak awal sudah terlihat bakal kekacauan. Mulai dari dipusatkannya pintu masuk dari Leppings Lane, padahal ada jalan masuk yang lebih besar menuju Podium utara dan barat yang menjadi lokasi bagi penonton Liverpool fc. Saat Jon-Paul, Rodney dan Glen menuju pintu putar besi, antrian sudah memenuhi Leppings Lane. Ribuan fans Liverpool saling desak berusaha melewati rolling door besi yang akan mengarahkan mereka ke Hillsborough.

Walau jumlah fans Liverpool jauh lebih besar dari fans Notingham Forrest, pintu masuk yang disediakan justru lebih kecil. Dengan hanya 23 rolling door baja. Pendekatan Polisi saat itu adalah keamanan, karena saat itu, sebagian fans Liverpool memang dikenal brutal, hooligans. Sayangnya, pihak keamanan justru lupa memastikan keselamatan para penonton yang hanya ingin melihat "the greatest entertainment on earth".

Karena melihat desakan yang makin brutal, pihak keamanan memutuskan membuka gerbang C yang biasanya digunakan untuk pintu keluar. Rodney dan Glen, serta Jon-Paul, ikut hanyut dengan para fans yang berusaha masuk secepatnya, karena dari dalam sudah terdengar nama nama para pemain disebutkan. Ritual yang berarti para pemain sudah memasuki lapangan hijau. 

Celakanya pintu C tersebut tidak langsung masuk ke arena, tapi menyatu dengan jalan masuk  lewat rolling door baja tersebut. Belum lagi untuk masuk ke stand penonton ada jalan kecil yang dibatasi kawat baja. 

Karena khawatir ketinggalan sebagian besar langsung masuk ke stand yang terdekat, yang sudah terlalu penuh dan akibatnya menutup jalan ke stand lain. Seorang komentator sepakbola BBC, John Motson, sudah melihat bahayanya keadaan itu saat sedang menyiapkan laporannya. Ia bahkan menyampaikan agar kamerawan yang bertugas melihat itu.

Kontan saja terjadi saling berdesakan yang hebat. Orang orang yang di belakang tak tahu bahwa yang di bagian depan sudah tak bisa lagi maju. Pertandingan sudah dimulai, mereka ingin menonton. 5 ribuan penonton terus mendorong dari belakang, dan saat itu tak terlihat pihak keamanan mengatur antrean. Hanya dalam hitungan detik chaos terjadi. 

Tiang besi penyangga podium atas patah dan menjebak fans yang belum bisa masuk ke stand. Bagi orang orang yang berada ditengah dan ujung antrian, dorongan itu terbukti fatal.

Glen Flatley melukiskan keadaan yang mengerikan saat itu, bagaimana dia merasakan sangat sulit mengambil nafas, dan yakin bahwa dia akan mati. Menurutnya tekanan itu seperti terjepit diantara dua lapisan beton tebal. Tak ada kemungkinan menarik nafas. "saya terus mencoba menarik udara lewat mulut, tapi tak bisa. Dada dan paru-paru saya tak bisa mengembang".

Sementara itu Jolly terus berteriak teriak bahwa mereka membawa anak kecil, meminta orang di belakangnya berhenti mendorong. "Dorongan itu terus terjadi," kenang Jolly, "kami tak bisa bernafas..., sangat sulit bahkan untuk menarik nafas."

Mereka tertekan, melihat orang orang di depan mereka terjatuh lemas dan terus tergencet. Bahkan orang orang dewasa bertubuh besar terpaksa menyerah. Tak  ada kesempatan untuk Jon-Paul yang bertinggi badan 145 cm. Tubuh mungilnya baru bisa diselamatkan dari tumpukan puluhan jenazah lain, saat chaos sudah selesai.

Dalam peristiwa Hillsborough itu total 96 fans Liverpool tewas. Itupun belum termasuk beberapa korban Hillsborough yang terus mengalami tekanan jiwa dan membunuh diri. Jumlah korban meninggal tersebut tercatat sebagai jumlah tertinggi dalam kecelakaan di stadium dalam sejarah Britania Raya.

730 orang terluka di dalam stadiun serta 36 terluka di luar stadion. Ratusan orang mangalami trauma karena peristiwa tersebut.

Tim tamu yang mengalami korban jiwa, Liverpool FC, justru mendapat hukuman. Polisi saat itu menyatakan bahwa penyebab kejadian adalah sekelompok Hooligans, berita di Harian The Sun ikut mengkonfirmasi. 

Walaupun kemudian, 28 tahun kemudian, terbuka kejadian sebenarnya bahwa penyebabnya adalah ketidaksiapan panitia pertandingan dan pengamanan polisi, toh Liverpool FC sudah terlanjur dihukum oleh dunia. 

Fans mereka mendapat cap sebagai pengacau dimana mana. Presiden UEFA saat itu, Jacques George, bahkan secara berterang menyebut supporter Liverpool sebagai mahluk buas (beasts). Padahal kalau melihat orang orang yang tewas, sulit rasanya membayangkan mereka semua hooligans. 7 (tujuh) orang diantara korban adalah perempuan dan 13 diantaranya berusia di bawah 19 tahun.

Rivalitas Seharga Nyawa

Mengidolakan sebuah klub sepakbola mati-matian memang bukan monopoli masyarakat Amerika Latin dan Eropa yang punya prestasi mengkilat. Di berbagai pelosok, banyak orang yang jatuh cinta pada sepakbola, dan nyaris menjadikan permainan ini seperti agama. Kecintaan mereka pada klub seakan berubah jadi pemujaan sekaligus identitas diri,  yang bahkan terkadang sampai dihargai dengan nyawa.

29 tahun kemudian, di sebuah negara yang tak  punya nama cemerlang di dunia sepakbola, sesosok nyawa juga terenggut. Pertandingan yang digelar antara Persib dan Persija di stadion GBLA, Bandung, Minggu (23/09/2018) berlangsung keras. Terbukti, 44 pelanggaran dan 10 kartu kuning dibagikan wasit. Sayangnya bahkan sebelum pertandingan itu, telah terjadi pengeroyokan terhadap seorang fans Persija hingga tewas.

Haringga Sirla, seorang anggota The Jakmania --sebutan untuk suporter Persija-- meninggal akibat pengeroyokan sejumlah oknum suporter tuan rumah. Haringga yang kelahiran Indramayu, sudah 10 tahun tinggal di Cengkareng, Jakarta Barat. Kematiannya tentu disesali, enam orang oknum yang memukulinya pun sudah ditangkap.

Tentunya, kematian akibat sebuah hiburan seperti Sepakbola tetap disayangkan. Apalagi kematian Haringga bukanlah kematian pertama akibat perseteruan supporter dari dua kesebelasan ini. Dengan kematian Haringga, tercatat sudah tujuh kematian yang dapat dikaitkan langsung dengan pertandingan antara kedua kesebelasan ini.

Rangga Cipta Nugraha (22), Lazuardi (29), dan Dani Maulana (17) seorang Bobotoh --fans Persib Bandung- tewas ditusuk tahun 2012 dalam pertandingan di kandang Persija. (2012). Gilang (24), Harun Al Rasyid Lestaluhu alias Ambon (30) juga tewas dalam perjalanan pulang usai Persija vs Persib digelar di Stadion, Manahan, Solo Jawa Tengah.

Terakhir yang tewas sebelum Haringga adalah Ricko Andrean. Ricko yang Bobotoh, justru tewas dikeroyok oknum Bobotoh karena salah paham. Dia tewas tahun lalu, 22/07/2017, saat Persib menjamu Persija di Stadion Gelora Bandung Lautan Api.

Perseteruan yang terus mengambil korban jiwa ini tentunya tak boleh dibiarkan berpanjang panjang. Harus diselesaikan dari akarnya. Tentunya bukan sekedar menangkap pelaku, tapi juga menangani perseteruan berbalut darah dari kedua Kesebelasan itu.

Keseriusan semua pihak yang terlibat harus jelas terlihat. Investigasi Hillsborough yang berlangsung panjang, nyaris 30 tahun, hanya untuk mengetahui apa yang salah dan mencegahnya terulang. Bandingkan dengan investigasi di Indonesia. Kepada reporter CNN Indonesia, keluarga Ricko --yang tahun lalu menjadi korban-- mengaku tak pernah lagi dihubungi polisi. Tidak ada pergerakan dalam kasus itu, bahkan saat mereka menanyakan ke petugas berwenang.

Sangat disayangkan, padahal kehilangan nyawa dalam pertandingan sepakbola itu sesuatu yang serius. Sepakbola harusnya adalah seperti yang diungkapkan supporter Liverpool, "the greatest entertainment on earth".  Faktor hiburannya tentu akan menurun drastis jika ada nyawa yang harus dikorbankan dalam pelaksanaannya. 

Saya tidak bilang rivalitas supporter harus dihilagkan, tidak tentunya, justru itu salah satu bumbu dalam pertandingan sepakbola. Tapi rasanya tak perlu mencabut nyawa untuk menunjukkan kecintaan pada klub kesayangan.

Hukuman Klub, Derita Suporter

Pertanyaannya kemudian, bagaimana pihak berwenang merespon kejadian seperti di atas? Apakah penangkapan terhadap pelaku pembunuhan tidak cukup?

Jawabannya tentunya tidak sederhana. Jelas penangkapan terhadap yang bertanggungjawab harus dilakukan. Diproses hukum dan jangan berhenti prosesnya. Pengeroyokan, bahkan pembunuhan, harus mendapat konsekuensi yang jelas untuk menguatkan penegakan hokum di masa depan. Sayangnya dalam kasus rivalitas supporter tim sepakbola, hanya menangkap pelaku sepertinya tidak cukup.

Permusuhan berdarah ini tampaknya diturunkan dari generasi ke generasi. Saat generasi yang lebih tua sudah cukup moderat dan siap menerima perbedaan antar supporter, muncul generasi supporter yang lebih muda. Lebih galak dan brutal, karena mendapatkan warisan permusuhan itu. Mereka tak takut (atau tepatnya terlalu muda untuk berpikir) resikonya melawan hukum.

Kalau mau fair, sebenarnya banyak juga upaya preventif yang dilakukan aparat kepolisian. Di pertandingan yang punya catatan rivalitas panjang, kepolisian seringkali menghimbau agar tim tamu tak perlu hadir. Apalagi sejak beberapa hari sebelum pertandingan sudah ada tanda tanda buruk, misalnya sweeping plat nomer mobil atau KTP oleh supporter lokal. Sayangnya seringkali, atau malah setiap kali, himbauan itu tak dianggap.

Buat para penggemar itu klub sepak bola mereka, adalah identitas sekaligus pujaan.  Kalau sudah begitu, larangan tidak menonton justru bisa terdengar sebagai tantangan menunjukkan kecintaan pada tim favorit. 

Mereka tak ragu melawan hukum, dan bertaruh nyawa, demi membela klub favoritnya. Kalau karena kenekatannya mereka harus masuk sel polisi, begitu keluar justru nama mereka akan naik. Sebagai supporter fanatik yang rela ditangkap demi klub favoritnya. Lalu bagaimana memberi efek jera pada suprter model begini?  Saya jadi ingat kata kata seorang teman, Kalau ingin menghukum, maka hukumlah dengan apa yang paling mereka cintai.  Apa yang paling dicintai suporter? Klub tentu saja

Salah satu yang layak dipertimbangkan adalah menghukum klub jika supporternya melakukan tindakan melawan hukum. Bukan hanya denda besar atau pengurangan poin, tapi juga larangan bertanding. Rasanya ini sudah jamak di Negara Negara Eropa.

Tapi apakah klub boleh dianggap bertanggungjawab atas perbuatan penggemarnya? Untuk pertanyaan ini, sekali lagi saya harus mengambil contoh dari Liverpool FC. Salah satu klub terbesar Inggris ini juga terlibat dalam salah satu kerusuhan terburuk dalam sepakbola Eropa. Tragedi Heysel.

Tanggal 29 Mei 1985, di Stadion Heysel, Brussel, Belgia digelar pertandingan final Piala Champions antara Liverpool melawan Juventus. Awalnya pertandingan ini menawarkan tontonan menarik, lantaran kondisi kedua klub sedang berada di puncak performa.

Juventus pada 1984 baru saja memenangi kejuaraan Winner's Cup dan penyerang mereka, Michel Platini, tiga kali meraih penghargaan Ballon d'Or atau pemain terbaik di Eropa tahun 1983 hingga 1985. Beberapa pemain nasional Italia pemenang Piala Dunia 1982 juga menjadi punggawa I Bianconeri.

Liverpool juga tidak kalah hebat. Mereka adalah Raja Eropa saat itu. The Reds yang sempat empat musim menjadi juara Piala Champion bertekad mempertahankan gelar itu. Sayangnya harapan pertndingan hebat itu pupus digantikan tragedi.

Berawal dari saling ejek diluar stadion antara Ultras (supporter fanatik Juventus) dan para Hooligans (supporter garis keras Liverpool). Ketegangan tersebut berlanjut di dalam stadion, supporter Liverpool yang marah mendorong pagar besi pembatas di antara supporter. Pagar itu rusak, dan sebagian hooligans menyerbu tifosi Juventus. Karena kalah jumlah, para tifosi itu mundur mendesak dinding stadion yang sudah tua. Tak kuat menahan dorongan dan beban, tembok itupun runtuh.

Total 39 orang meninggal dunia dalam tragedi ini. Selain tertimpa material tembok, banyak pula korban karena terinjak-injak.  Kepolisian Inggris langsung menyelidiki lebih lanjut dari berbagai sumber. Hanya 27 orang yang ditahan dengan tuduhan penganiayaan dan pembunuhan. 14 orang pendukung Liverpool akhirnya dipidana atas dakwaan tersebut.

Dunia sepakbola berduka.

Tanggal 30 Mei 1985, UEFA melalui penyidik resminya, Gunter Schneider, menyatakan bahwa kesalahan sepenuhnya ada di pihak Liverpool. Alih alih membela diri, tanggal Perdana Menteri Inggris saat itu, Margareth Thatcher, malah mendesak untuk menghukum klub klub Inggris. Di awal Juni hukuman pun ditentukan.

UEFA secara resmi memutuskan dengan melarang semua kesebelasan Inggris mengikuti pertandingan di seluruh Eropa. Bahkan pada tanggal 6 Juni, putusan diubah menjadi pelarangan klub klub bertanding di seluruh dunia selama 5 tahun. Khusus untuk Liverpool hukumannya adalah 8 tahun, walau kemudian dikurangi dua tahun.

Karena kelakuan suporternya, Liverpool yang sebelumnya adalah raja Eropa, langsung dilarang main di luar Inggris. Hukuman tak bermain di kejuaraan Eropa itu membuat, sebagai klub, Liverpool fc tak lagi menarik bagi pemain pemain kualitas Eropa. Selain itu keuntungannya juga merosot tajam. Akibatnya Liverpool terus menurun keperkasaannya, bahkan sejak kompetisi liga utama di Inggris berubah format menjadi Liga premiere, tahun 1992, klub ini belum lagi juara.

Dan siapa yang paling menderita? Tentunya Suporter klub berjuluk the reds ini. Selama 20 tahun klub yang sempat menjadi salah satu klub dominan di Eropa ini terseok seok di kompetisi lokal.

Mungkinkah dalam skala lokal hukuman sejenis dijalankan di Indonesia? Tentunya mungkin asal ada koordinasi dan konsistensi di semua pihak yang bertanggungjawab. Penghargaan terhadap organisasi sepakbola regional juga harus dijaga. Kejadian seperti bentrok antar supporter  harus ditanggapi serius, agar tidak ada pesimisme terhadap sepakbola nasional.

Tak bisa dipungkiri pesimisme merebak setelah terjadi kematian Haringga. Bisa kita tengok di social media. Tak kurang Bambang Pamungkas sendiri, memberi komentar pesimis dalam cuitannya:

Cuitan itu sebenarnya menjawab cuitan dari Andie Peci, sesepuh Suporter Persebaya. Dalam cuitannya Andi menulis :

Tentunya sebagai pencinta sepakbola, kita tak ingin kompetisinya dihapus dari negeri tercinta ini.  Satu satunya cara adalah mulai menangani setiap kasus kekerasan dan kematian dalam sepakbola dengan lebih serius. Aparat yang memiliki kekuasaan, organisasi sepakbola yang berwenang, pengurus klub, pemain dan supporter harus bersama sama melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Walau contoh yang saya berikan, Heysel dan Hillsborough, memiliki jumlah korban yang jauh lebih besar, tapi gejala kematian dalam sepakbola Indonesia ini tetap harus ditangani serius. Tak perlu menunggu korbannya menjadi belasan orang. Kematian satu nyawa supporter adalah hal besar, bukan sekedar statistik.

Mungkin kata kata yang diucapkan Jackie dan Ronnie Gilhooley, saat pemakaman anak mereka, Jon-Paul Gillhooley, bisa menggambarkan besarnya nilai kematian seorang supporter, "untuk seluruh dunia, dia hanyalah seorang supporter sepakbola. Tapi untuk kami, dia adalah seluruh dunia kami,"

Bogor, 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun