Orang seperti ini, idealnya, dikeluarkan dari kantor oleh pimpinan setempat. Sifat dan perilakunya bisa merusak suasana dan kondisi kerja. Lalu, bagaimana kalau kebijakan mengeluarkannya tidak dilakukan oleh pimpinan?
Salah satu jalan terbaik adalah mengurangi bergaul atau berkomunikasi dengan orang yang suka ngerecoki seperti ini. Agar tidak sama sekali putus komunikasi, sekadar say hello saja sudah cukup. Selanjutkan kurangi bergaul dengannya dan kembali menekuni tugas.
Keempat, konflik antarpribadi.
Dalam pergaulan di kantor terkadang terjadi konflik antarpribadi. Ada karyawan yang berkonflik dengan karyawan lainnya. Tidak hanya sekali kejadiannya, bahkan bisa beberapa kali.
Sebuah konflik bisa berkelanjutan dan menjadi kian memanas karena di antara mereka yang berkonflik belum menyelesaikan masalah mereka sampai tuntas. Mereka belum akur kembali dan belum saling memaafkan secara tulus, melainkan masih ada luka di hati.
Ketika kemudian terjadi lagi permasalahan, akan dengan mudah tersulut menjadi konflik dengan segala macam bentuknya, mulai dari pertengkaran hingga bentrok fisik. Hal seperti ini akan merusak tatanan dan harmonisasi di dalam kantor.
Seharusnya konflik bisa dihindari atau dikurangi dengan saling membuka diri yang dimediasi oleh pimpinan dan mereka yang bertugas di bidang kepegawaian atau human resources. Dengan mediasi tersebut, diharapkan konfilk bisa diselesaikan dengan baik.
Jika tidak bisa diselesaikan, maka salah satu atau kedua-duanya seyogianya dikeluarkan dari kantor. Keputusan oleh pimpinan perusahaan mesti diambil kendati terasa pahit.
Kelima, tidak ada tantangan.
Tantangan merupakan bagian penting dalam menyemangati orang dalam bekerja. Bekerja tanpa tantangan berarti bekerja tanpa motivasi. Itulah sebabnya, tantangan demi tantangan sangat diperlukan.
Dengan tantangan itu, orang akan terdorong untuk bekerja dengan lebih baik. Terdorong untuk mengeluarkan segala kemampuan diri untuk menjawab tantangan. Dan, tantangan memacu gairah untuk lebih giat lagi dalam bekerja.