Mulailah saya mengisi kerangka tadi dengan daging, dengan otot, dengan kulit, sehingga menjadi tubuh karangan yang utuh. Sulitkah? Ya, lumayan sulit.
Pada tahapan ini diperlukan pengetahuan yang memadai dalam mengembangkan setiap butir kalimat dari kerangka tulisan. Setiap pitutur warisan leluhur tersebut mesti  saya jelaskan secara gamblang.
Dibutuhkan referensi yang cukup. Dibutuhkan kemampuan berbahasa yang memadai, terutama yang berkenaan dengan perbendaharaan kata dan istilah.
Kearifan lokal yang asli tentu saja berbahasa Bali. Memahami bahasa Bali, terutama penulisannya, saya lagi-lagi harus banyak belajar. Maklum, dalam bahasa lisan, ada banyak kata yang terletak di akhir kalimat dalam bahasa lisan berbunyi "e" padahal dalam penulisannya memakai huruf "a".
Hal ini terkadang membuat saya ragu dalam menuliskannya. Jadi, memang mesti ektra hati-hati untuk menghindari kesalahan. Ya, tanya sana, tanya sini. Maklum, kamus bahasa Bali tidak saya miliki.
Editing Sangat Penting!
Riset pustaka, diskusi dengan sahabat, dan penyusunan kerangka karangan membutuhkan waktu 7 hari lamanya.
Selanjutnya, dalam penulisannya saya memerlukan waktu 3 hari. Ya, dalam waktu tiga hari, tahap penulisan karangan secara lengkap sudah selesai. Panjang naskah 13 halaman, dengan  Daftar Pustaka dan Riwayat Hidup sebanyak 2 halaman.
Apalagi yang belum? Editing! Benar, editing atau penyuntingan harus saya lakukan secara perlahan-lahan. Usai menulis draft pertama lalu  saya lanjutkan dengan pengeditan.
Mengedit naskah adalah bagian terpenting yang menentukan kualitas naskah pada akhirnya. Oleh karena itu, saya mesti mencermati isi, tata-tulis, dan ejaan pada naskah dengan baik dari awal hingga akhir naskah, berulang-ulang. Sampai bosan!
Begitu yang saya lakoni selama 4 hari berturut-turut di sela-sela kesibukan utama utama untuk mengupayakan hasil yang lebih baik.