1. Akal manusia berperan dalam proses pembentukan hulum Islam, khususnya dalam
konteks dinamika sosial yang terus berubah
Akal manusia dalam Islam tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk memahami
wahyu, tetapi juga sebagai sarana untuk menghasilkan keputusan hukum yang relevan
dengan perkembangan zaman. Pemahaman ini sejalan dengan prinsip bahwa Al-Qur'an
dan Hadis tidak mencakup seluruh aspek kehidupan secara rinci. Oleh karena itu, akal menjadi penting dalam menggali hukum dari teks-teks tersebut, terutama dalam konteks
masalah yang tidak ditemukan jawaban langsung dalam teks agama.7
Proses pembentukan hukum Islam yang melibatkan akal berfokus pada penerapan
prinsip-prinsip dasar syariat, seperti keadilan, kemaslahatan, dan tujuan syariat (maqasid
al-shariah), dalam setiap dinamika sosial yang ada. Akal berfungsi untuk memahami dan
menyesuaikan hukum dengan perubahan sosial, budaya, dan teknologi yang terus
berkembang.
Dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat global dewasa ini mencakup
berbagai perubahan yang pesat, seperti globalisasi, kemajuan teknologi, serta perubahan
nilai dan norma sosial. Fenomena seperti ekonomi digital, hak asasi manusia, dan
kesetaraan gender menghadirkan tantangan bagi penerapan hukum Islam yang tradisional.
Di sisi lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menghadirkan masalah baru yang
tidak diatur langsung dalam teks-teks klasik hukum Islam, seperti permasalahan bioetika,
perubahan struktur keluarga, atau teknologi medis.8
Sebagai contoh, isu-isu seperti pernikahan sejenis atau penggunaan teknologi dalam
reproduksi (seperti kloning atau fertilisasi in vitro) tidak dijelaskan secara langsung dalam
Al-Qur'an dan Hadis. Maka, di sinilah peran akal melalui ijtihad sangat diperlukan untuk
memberikan solusi hukum yang relevan dengan perkembangan zaman, tanpa mengabaikan
prinsip-prinsip dasar dalam agama.
Ijtihad, sebagai proses pemikiran yang mengandalkan akal, adalah instrumen utama
dalam pembentukan hukum Islam yang kontekstual. Ijtihad memungkinkan para ulama
dan cendekiawan Muslim untuk menyusun hukum Islam berdasarkan prinsip-prinsip dasar
syariat dengan mempertimbangkan situasi sosial, budaya, dan kebutuhan umat. Melalui
ijtihad, para ulama dapat memberikan fatwa atau keputusan hukum yang sesuai dengan
realitas zaman.
Dalam membentuk hukum Islam, akal berperan penting dalam menafsirkan teks-teks
suci dan menerapkan prinsip-prinsip syariat dalam konteks kehidupan yang dinamis.
Beberapa prinsip akal yang diterapkan dalam proses ijtihad adalah sebagai berikut:
a. Qiyas (Analogi): Akal digunakan untuk membandingkan masalah baru dengan masalah
lama yang telah diatur dalam hukum Islam. Misalnya, jika teknologi baru muncul yang tidak diatur dalam Al-Qur'an, maka hukum terkait teknologi tersebut dapat
dianalogikan dengan hukum yang sudah ada untuk masalah yang serupa.
b. Istihsan (Pertimbangan Hukum yang Lebih Mengutamakan Kemaslahatan): Akal
digunakan untuk mempertimbangkan solusi yang lebih mengutamakan kemaslahatan
umat, meskipun tidak selalu tercermin dalam teks-teks klasik. Misalnya, dalam isu
perempuan dan hak waris, ulama menggunakan prinsip istihsan untuk memberikan
ruang bagi interpretasi yang lebih adil dan sesuai dengan konteks sosial.
c. Maqasid al-Shariah (Tujuan Syariat): Akal berfungsi untuk memahami tujuan utama
dari syariat Islam, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam
menghadapi permasalahan sosial baru, akal digunakan untuk memastikan bahwa
hukum yang diterapkan tidak melanggar tujuan-tujuan syariat ini.
Salah satu tantangan terbesar dalam penggunaan akal dalam pembentukan hukum
Islam adalah menjaga keseimbangan antara prinsip-prinsip tradisional yang ada dalam
teks-teks suci dengan kebutuhan sosial yang berkembang. Meskipun akal digunakan
untuk merumuskan hukum Islam secara kontekstual, tetap ada batasan dalam hal-hal
yang berkaitan dengan ajaran pokok agama yang sudah jelas tertulis dalam wahyu.9
Sebagai contoh, meskipun ijtihad dapat digunakan untuk merumuskan hukum
mengenai masalah-masalah seperti hak perempuan, poligami, atau teknologi baru, halhal yang berkaitan dengan pokok ajaran agama, seperti kewajiban ibadah (sholat, zakat,
puasa), tetap tidak dapat diubah oleh akal semata. Oleh karena itu, diperlukan kehatihatian dalam menggunakan akal agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar
Islam.10
2. Tantangan dan implikasi sosiologis dari penggunaan akal dalam pembentukan
hukum Islam dalam masyarakat modern
Hukum Islam, sebagai sistem hukum yang berlandaskan pada wahyu Tuhan
(Al-Qur'an dan Hadis), telah diterapkan di berbagai belahan dunia selama berabadabad. Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan baru muncul, terutama terkait
dengan dinamisnya perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat modern. Salah satu
aspek penting dalam proses pembentukan hukum Islam adalah peran akal manusia, yang digunakan untuk menafsirkan dan menginterpretasi teks-teks suci dalam konteks
zaman dan kondisi sosial yang berbeda.11
Namun, penggunaan akal dalam pembentukan hukum Islam di masyarakat
modern tidak bebas dari tantangan. Dinamika sosial, perkembangan teknologi, serta
perubahan nilai dan norma di masyarakat menuntut adanya respons hukum yang sesuai
dengan kebutuhan zaman. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas tantangan yang
dihadapi dalam penggunaan akal untuk pembentukan hukum Islam, serta implikasi
sosiologisnya bagi masyarakat modern.
Akal dalam Islam tidak hanya berfungsi untuk memahami wahyu, tetapi juga
untuk memberikan solusi hukum bagi permasalahan yang muncul dalam kehidupan
sosial yang terus berubah. Dalam konteks ini, ijtihad (upaya penafsiran dan pemahaman
hukum) menjadi kunci utama dalam merespons tantangan sosial yang dihadapi umat
Muslim di zaman modern. Melalui ijtihad, akal manusia diharapkan dapat
menghasilkan keputusan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, tetapi
juga mempertimbangkan konteks sosial yang ada.12
Salah satu prinsip utama dalam penggunaan akal dalam hukum Islam adalah
maqasid al-shariah, yaitu tujuan-tujuan syariat yang bertujuan untuk menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam hal ini, akal digunakan untuk menjamin bahwa
setiap interpretasi hukum yang dibuat tidak hanya sesuai dengan teks-teks suci, tetapi
juga relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.13
Penggunaan akal dalam pembentukan hukum Islam dalam masyarakat modern
menghadirkan tantangan yang kompleks, terutama dalam konteks perbedaan antara
tradisi dan modernitas. Meskipun demikian, akal memainkan peran yang sangat penting
dalam memastikan bahwa hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Dengan adanya ijtihad, hukum Islam dapat disesuaikan dengan perubahan sosial,
ekonomi, dan budaya yang terjadi, sambil tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip
syariat yang menjaga kemaslahatan um
Namun, tantangan yang muncul dari penggunaan akal ini memerlukanÂ
pendekatan yang bijak dan hati-hati, agar tidak terjadi konflik antara nilai-nilai agamaÂ
dengan kebutuhan sosial yang berkembang. Dalam hal ini, penerapan akal dalamÂ
pembentukan hukum Islam harus didasarkan pada pemahaman yang mendalamÂ
mengenai konteks sosial dan budaya yang ada, serta kesadaran akan keberagaman danÂ
pluralitas yang ada dalam masyarakat modern.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H