Pertama, Pada Pemilu tahun 1999 tersebut, kita tidak memilih Calon Presiden, Wakil Presiden dan anggota Legislatif dari unsur apapun, melainkan hanya mencoblos salah satu Partai yang dianggap bisa mewakili aspirasi kita dari 48 Partai yang ada.
Partai yang mendapat perolehan suara terbanyak setelah Pemilu berhak menunjuk dan menentukan siapa yang akan jadi presiden dan wakil presiden.
Kedua, Pencoblosan yang kita lakukan tidak (harus) di bilik pada Tempat Pemungutan Suara (TPS), melainkan melalui surat yang kita terima dari KBRI Tokyo dalam amplop besar dan di dalamnya ada satu lembar kertas lebar berisi simbol dari ke 48 Partai yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Indonesia (KPU RI).
Ketiga, Setelah kita mencoblos satu partai sesuai dengan pilihan hati dan pikiran kita, kertas lebar tersebut kita masukan lagi ke dalam amplop lain yang sudah ada perangkonya untuk dikirim kembali ke Kedutaan Besar Republik Indonesia, Tokyo.
Mengapa mencoblos melalui surat?
Begini, setiap kota di Jepang yang ada kampus atau pabriknya, pastilah ada mahasiswa atau para pekerja yang berada di sana.Â
Hanya saja, jumlah mahasiswa Indonesia di Nagasaki pada tahun 1999 itu kurang lebih ada 10 orang dengan berbagai program studi. Jadi, tidak memungkin bila membentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Baca Juga: Nagasaki, Kota yang Seharusnya Tidak Dijatuhi Bom Atom
Beda dengan kota-kota besar seperti Hiroshima, Osaka, Kyoto, Hakodate, Kobe atau Fukuoka yang banyak dengan jumlah orang Indonesianya.Â
Di kota tersebut, memang ada Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan lokasi yang ditentukan dan mudah diakses oleh orang Indonesia yang tinggal di sana dengan berstatus pekerja atau mahasiswa yang punya hak pilih.
Para petugas KPPS terdiri dari unsur staf KBRI Tokyo, Mahasiswa dan Pekerja yang ada di kota tersebut. Akan, tetapi, untuk kota-kota yang dekat dengan kota Tokyo, para pemilih diminta untuk bisa hadir dan datang langsung di TPS yang ada di KBRI pada saat pencoblosan demi mendukung suksesnya Pemilihan Umum.