Bapak dalam keluarga ini merupakan seseorang yang bisa membuat mereka merasa lengkap dan bahagia, sangat menyayangi anak-anaknya serta bertanggung jawab penuh atas keluarganya. Namun, bapak memiliki keburukan yang sulit dihilangkan, seperti sering kali jajan (main perempuan), bermain judi, dan bahkan minum-minum di rumah. Ibu dalam keluarga ini memiliki riwayat TBC, dan mati-matian menahan rasa sakit dihatinya melihat perilaku bapak yang sebenarnya tanpa sepengetahuan anak-anak.
    Semenjak ibu meninggal , perilaku bapak berubah drastis. Ia menjadi sosok yang egois, tidak mau kalah, dan selalu merasa bahwa anak-anaknya selalu salah. Bapak sering tidak pulang ke rumah, anak-anak pun hanya tinggal bersama Simbah. Bapak akan pulang ke rumah ketika emosinya sedang meluap-luap, dan menumpahkan semuanya pada anak-anak yang bahkan sama sekali tidak pantas untuk dijadikan samsak tinju.
    Untungnya, masih ada kakek yang sangat sabar dan selalu memberikan semangat serta arahan kepada cucu-cucunya. Meskipun perilaku bapak sangat keterlaluan, anak-anaknya selalu mengingat pesan terakhir yang ibu berikan untuk tidak membenci bapak dalam keadaan apapun.
    Suatu hari, terjadi gempa bumi yang cukup kuat. Bapak yang biasanya tidak pernah cemas menjadi khawatir dengan keadaan anak-anak di rumah. Bapak pulang ke rumah hanya untuk memastikan keadaan anak-anak. Namun, karena ketakutan anak-anak terhadap bapak yang sering memarahi mereka, lagi-lagi bapak gagal mengendalikan dirinya dan meninggalkan rumah dengan cepat.
    Setelah kejadian itu, bapak merenungi ucapan-ucapan anak-anaknya. Karena, bapak kedapatan bersama wanita lain di warung tempatnya biasa nongkrong, dan ia mendapatkan hukuman dari sahabatnya atas perbuatannya. Setelah mendapatkan dorongan dari sahabatnya, malam itu bapak memutuskan untuk pulang ke rumah dan meminta maaf kepada anak-anaknya. Rumah kembali menjadi hangat semenjak kepulangan bapak.
    (Banyuwangi, 1994) Namun, ketika Bapak pulang dari pasar dengan membeli 7 harum manis (kembang gula) untuk anak-anaknya, terjadi gempa bumi yang cukup kuat. Gempa ini menyebabkan kepanikan di sekitar mereka. Mereka berlarian keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Setelah gempa mereda, mereka kembali ke rumah dan melanjutkan doa bersama.
    Kondisi sudah membaik setelah 15 menit, mereka duduk di teras rumah sambil memandangi langit malam penuh bintang. Namun, tiba-tiba terjadi guncangan dahsyat dan suara dentuman keras. Tanah berguncang dengan dahsyatnya, meruntuhkan apa saja yang ada di sekitar mereka. Air laut mulai naik, dan mereka berlarian untuk menyelamatkan diri.
    Setelah tsunami menyapu seluruh kota, hanya bapak, Khalid dan Dewangga yang selamat. Mereka mencari jasad Apta yang belum ditemukan hingga dua hari setelah kejadian. Mereka merasa sangat sedih kehilangan banyak anggota keluarga, terutama karena jasad Apta yang belum ditemukan. Mereka pergi ke tepian pantai dan melihat air laut yang masih bergemuruh sangat berisik. Khalid merasa terpukul dan berharap laut mengembalikan Apta. Bapak mencoba menenangkan anak-anaknya dan memeluk mereka.
    Kisah ini menggambarkan perjuangan keluarga dalam menghadapi tragedi dan kehilangan yang mendalam, yaitu menghadapi perubahan dalam dinamika keluarga mereka sendiri. Meskipun mengalami banyak kesulitan, keluarga ini tetap bersatu dan mencoba untuk bangkit dari keterpurukan. Mereka belajar untuk saling memaafkan dan menguatkan satu sama lain dalam menghadapi cobaan hidup. Melalui cerita ini, pembaca akan diajak untuk merenungkan tentang pentingnya hubungan keluarga, bagaimana cinta dan dukungan dari orang terdekat dapat membantu mengatasi kesulitan, dan bagaimana menghadapi masa-masa sulit dalam kehidupan.
    Sinopsis ini memberikan gambaran tentang perjalanan emosional dan pertumbuhan karakter dalam menghadapi cobaan yang tak terduga. Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang nilai-nilai keluarga, kesabaran, cinta, dan harapan di tengah kehidupan yang penuh dengan tantangan.
UNSUR INTRINSIK