Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan kasus yang ia sebut sebagai 'perangkap cinta' ini sudah menjadi persoalan global.
Mulai marak ketika pandemi Covid-19. Ketika masyarakat terpaksa terisolasi di dalam rumah, orang-orang terjebak pada kesendirian dan akhirnya memilih mempertontonkan diri di dunia maya.
"Kita masuk ke kondisi yang paradoks, kesepian dalam keramaian," ujar Devie kepada BBC News Indonesia, Kamis (25/05).
"Bising karena informasi yang diterima sangat banyak. Menurut studi, satu orang minimal menerima tiga ribu pesan. Tapi sebenarnya kita berada dalam kesendirian karena tidak ada hubungan yang betul-betul nyata dibangun," sambungnya.
Situasi tersebut lantas dimanfaatkan para penipu untuk mencari keuntungan pribadi. Modusnya dengan bujuk rayu sehingga membuat korbannya jatuh cinta.
"Dengan modal database yang terbuka, para pelaku menggunakan taktik komunikasi yang mencari kesamaan dengan korban.
"Kalau sudah jatuh cinta, korban akan berusaha bekerja menyenangkan orang yang membuatnya jatuh cinta. Ketika dipinjam uang akan dituruti, atau diajak pergi akan ikut."
Bagimana mencegahnya?
Devie Rahmawati menyebut ketika kehidupan sehari-hari masyarakat berpindah ke dunia maya, mereka tidak dibekali dengan 'bimbingan hidup' di ruang digital. Begitu pula dengan modus kejahatan di media sosial.
Sedangkan usia anak dan remaja, kata Devie, tidak memiliki perhitungan logis yang baik.
"Perkembangan akal anak dan remaja baru mulai usia 20 atau 24 tahun. Sementara perkembangan emosi mereka lebih unggul dari kognisi itu."