Ish, kok nggak dipanggil, tho.
Menoleh kembali pada wanita renta penjual buah. “Sepuluh ribu, Bu.” Saking pegalnya, penjual itu melambaikan tangannya. Wanita yang dipanggil Umik mendengus melihat gestur mengusir itu.
Saat menyusuri lorong, Umik merasa kresek digenggamannya bergemerisik, seperti ada yang mengendusnya. Umik menoleh. Mendapati kucing kecil berwarna putih dengan banyak bercak rusuh, kotor, rembes, bau comberan. Ugh. Ia tak tau kucing jelek itu milik siapa. Yang ia tau, ia menendang kucing kurus itu untuk melampiaskan perasaan dongkolnya pada penjual buah tadi.
Kucing berbulu putih itu mencicit. Dari sudut pandang si kucing, dunia ini hanya abu-abu. Seperti menonton TV dengan tampilan hitam-putih. Untuk mencari makan saja kucing itu harus memaksa empat kaki kurusnya berjalan. Maka tendangan pada kepala kecil barusan membuat pandangan si kucing bau gelap seketika.
Hewan berkaki empat itu kaget. Ia mencoba berlarian, mencari cahaya. Barangkali dapat mengembalikan pandangan abu miliknya.
Namun nihil. Kepala kecil itu malah membentur tembok rendah berlapis keramik, sol para pedagang.
“NGEOOONG!” Jeritan yang pilu dari si hewan malang.
Satu minggu. Pandangan kelabu si kucing kembali, tapi kali ini seperti menonton TV hitam-putih dengan kualitas paling buruk, buram. Jadi hewan malang itu mengandalkan hidungnya untuk membawa kemana ia harus mencari makan.
Indra si kucing mencium sesuatu. Mengikuti bau pindang goreng dengan pandangan kabur. Tidak bisa menghindar, seseorang dengan tumpukan kotak telur memenuhi kedua tangan tidak sengaja menendang tubuh kecilnya.
“Ngeong….” Aduh….
Setelah memulihkan diri, si kucing mempercepat larinya–Hei, perutnya sudah kosong sejak seminggu karena syok dengan pandangannya yang selalu menampilkan warna hitam–tanpa sadar ia sekarang sedang menyebrangi jalan besar depan pasar. Satu dua mobil berseliweran.