Sebuah pasar kumuh ramai orang berlalu-lalang. Kepala-kepala menengok mengamati los-los penjual satu persatu. Sesekali tangan lancang ikut menyentuh daging, sayur, membolak-balik untuk memastikannya tetap segar.
“Pindang berapaan, Mas Bejo?”
“Sepuluh ribuan, Mik.”
“Lha kok cek mahalnya. Tujuh ribuan lah. Di Mbak Nik malah cuma enam ribu, Mas”
Ya beli saja di Mbak Nik, Mik… kok susah. Batin Mas Bejo sebelum menjawab, “Yaudah, Mik, delapan ribu.” Wanita paruh baya yang dipanggil Umik pun tersenyum. Membayar sesuai harga yang disebut Mas Bejo. Lalu kembali berjalan mengitari pasar.
Kok pingin buah ya?
Keinginannya membuat langkah wanita tersebut berhenti tepat di depan sol penjual buah. Penjualnya perempuan yang seharusnya sudah menghabiskan masa tuanya, bukan malah berjualan di pasar kumuh ini.
“Ini berapaan, Bu?” Sambil menunjuk pepaya.
“Enam belas.” Bicara Ibu renta sudah putus-putus.
“Enam belas ribu yang itu, Bu.” menepuk pepaya paling besar. “Kalo ini_” telunjuknya kembali ke pepaya pertama. “_ya, sepuluh ribu lah, Bu.” Si penjual menghela nafas lelah. Menggeleng. Padahal pergelangan tangan dan jari wanita di hadapannya penuh perhiasan berkilau, tapi kalau nawar tidak masuk akal. Dia sudah pasang harga sesuai, kok.
“Sepuluh ribu, Bu.” Wanita itu ngotot. Tetap memaksa. Si penjual tetap menggeleng. Membuat pembelinya memutuskan berbalik, pura-pura pergi tapi berharap dipanggil untuk pepaya enak sepuluh ribuan.